Manhaj Ahlusunnah dalam mentahdzir – Muqoddimah 2

Manhaj Ahlusunnah dalam mentahdzir – Muqoddimah 2

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Saya sajikan kepada para pembaca pendapat dari Syaikh kami yang lain, pendapat Syaikh Abdul Aziz Al Muhammad As Salman, perkataan Dr. Shalih Al Fauzan (salah seorang anggota dewan ulama besar). Keduanya menguatkan tema buku tersebut dan menyepakatinya.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ketika ditanya sebagai berikut :
Berhubungan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam mengkritik Ahlul Bidah dan kitab-kitab mereka, apakah wajib (orang yang mengkritik tersebut) menyebutkan semua kebaikan dan kejelekan mereka atau hanya menyebutkan kejelekannya saja?

Maka beliau menjawab:
“Tujuan dari pendapat para ulama mengenai kritikan terhadap orang yang berbuat jelek adalah sebagai tahdzir (peringatan agar waspada), menjelaskan kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan agar mereka tidak melakukannya lagi. Adapun perbuatan yang baik adalah hal yang ma’ruf dan diterima. Akan tetapi tujuannya adalah sebagai tahdzir terhadap kesalahan-kesalahan mereka seperti jahmiyah … mu’tazilah … rafidhah … dan sebagainya.

Jika dibutuhkan penjelasan mengenai kebenaran yang ada pada mereka maka hendaknya dijelaskan. Jika ada yang bertanya, apa saja kebenaran yang ada pada mereka (yang sesuai dengan Ahlus Sunnah)? Pertanyaan tersebut harus dijawab. Akan tetapi maksud yang paling penting adalah penjelasan mengenai kebatilan mereka, memperingatkan kepada si penanya agar tidak memihak kepada mereka.”

Beliau ditanya lagi :
Benarkah pendapat sebagian orang ada yang mewajibkan muwazanah (penilaian seimbang) dalam mengkritik yakni jika Anda mengkritik seorang ahli bid’ah karena bid’ah yang dilakukannya agar manusia waspada terhadapnya maka wajib bagi Anda untuk menyebutkan pula kebaikannya sehingga Anda tidak menzhaliminya?

Beliau menjawab :
“Tidak, hal itu bukanlah suatu keharusan. Mengenai hal ini jika Anda membaca kitab-kitab Ahlus Sunnah maka Anda menemukan tujuan tahdzir tersebut. Silahkan Anda baca kitab-kitab karya Bukhari Khuluq Af’alil ‘Ibad dalam kitab adab yang terdapat dalam Shahih, Kitab As Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, Kitab At Tauhid karya Ibnu Khuzaimah, Kitab Rad Utsman bin Said Ad Darimi ‘Ala Ahlil Bid’ah … dan lain-lain.

Mereka mengkritik yang tujuannya memperingatkan manusia agar waspada terhadap perbuatan batil yang mereka lakukan dan tujuan menyebutkan kebaikan mereka adalah memperingatkan manusia agar waspada terhadap kebatilan mereka sedangkan kebaikan mereka tidak ada artinya bagi mereka yang kafir. Jika bid’ah yang ia lakukan menjadikannya sebagai orang kafir maka kebaikannya gugur semua dan jika bid’ahnya tidak membuat pelakunya menjadi kafir maka ia dalam bahaya. Jadi tujuan tahdzir adalah menjelaskan segala kesalahan dan penyimpangan yang wajib diwaspadai.”

Dari sebuah kaset yang direkam pada salah satu pidato Syaikh Ibnu Baz yang beliau sampaikan pada musim panas tahun 1413 H di Tha’if setelah shalat Fajar (Subuh).
Kaset 855 dari Silsilah Al Huda wan Nuur karya Syaikh Ahli Hadits Nashiruddin Al Albani mengenai manhaj muwazanah (penilaian yang seimbang), berikut adalah teks pertanyaan dan jawabannya :

Pertanyaan :
Wahai Syaikh, sebenarnya saudara-saudara kami yaitu para pemuda telah mengumpulkan berbagai macam (pendapat). Di antaranya mereka mengatakan suatu keharusan bagi yang ingin mengkritik seorang ahli bid’ah yang telah jelas kebid’ahannya dan permusuhannya terhadap Sunnah atau bukan seorang ahli bid’ah namun ia telah melakukan kesalahan yang berhubungan dengan manhaj yang tidak sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka yang mereka namakan dengan nama kaidah (prinsip) muwazanah antara sisi positif dan sisi negatif. Banyak buku mengenai hal tersebut serta berbagai tulisan dari para penulis yang berpendapat demikian yakni hal tersebut (muwazanah) adalah suatu keharusan? Manhaj para pengkritik pertama harus menyebutkan kebaikan dan kejelekannya. Apakah kaidah ini benar-benar mutlak atau ada suatu hal dimana manhaj ini tidak bisa dinilai mutlak? Kami berharap Anda menjelaskan kepada kami secara terperinci, semoga Allah memberkati Anda.

Jawaban :
“Ini merupakan manhaj yang biasa dilakukan oleh ahli bid’ah ketika seorang alim mengkritik hadits dari seorang perawi yang shalih, alim dan fakih (ahli fikih). Seorang yang mengkritik tersebut berkata, orang itu hafalannya jelek, apakah ia mengatakan bahwa ia adalah Muslim? Padahal yang dikritik adalah seorang yang shalih dan fakih serta ia berfatwa mengenai hukum syariat.

Allahu Akbar, sebenarnya manhaj tersebut sangat penting dan mencakup banyak permasalahan parsial terutama pada saat ini.
Dari mana mereka mendapatkan bahwa jika seseorang ingin menjelaskan kesalahan seorang Muslim dilihat dulu apakah ia seorang da’i atau bukan seorang da’i? Ia seharusnya mengadakan muhadharah (ceramah) yang di dalamnya menyebutkan kebaikannya dari awal sampai akhir. Ini adalah hal yang aneh, demi Allah ini adalah hal yang aneh –lalu Syaikh tertawa keheranan–.”

Pertanyaan :
Pada sebagian poin yang mereka jadikan dalil misalnya perkataan Adz Dzahabi dalam Kitab Siyar min A’lam An Nubala’ atau di kitab yang lain. Syaikh kami berpendapat sebagaimana pendapat orang lain yaitu pendapat yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin misalnya hadits?

Jawaban :
Ini adalah adab (etika) bukan perkara mengingkari kemungkaran atau amar ma’ruf. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia mencegahnya ….”
Apakah kamu termasuk mengingkari kemungkaran ini sementara kamu menceritakan segala kebaikannya?

Pertanyaan :
Pada saat beliau berkata :
“Sejelek-jelek khatib adalah kamu tetapi kamu telah berbuat (baik).”
Akan tetapi hadits ini dijawab oleh mereka, ketika Allah melarang kita meminum khamer, Dia menyebutkan beberapa manfaatnya?

Jawaban :
Allahu Akbar, mereka itu mengikuti sesuatu yang syubhat (hal yang samar) dengan tujuan untuk menimbulkan fitnah dan menyimpangkan makna dari ayat tersebut. Saya memandang banyak hal yang terdapat pada mereka apa yang tidak terdapat pada kami.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan ketika ditanya sebagai berikut –setelah beliau ditanya mengenai berbagai macam seputar jamaah-jamaah– :
Baiklah Syaikh! Apakah Anda akan mentahdzir (mengultimatum) mereka tanpa menyebutkan kebaikan yang ada pada mereka? Atau Anda menyebutkan kebaikan dan kejelekan mereka?

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab :
“Jika Anda sebutkan kebaikan mereka maka artinya Anda mendukung mereka. Tidak, jangan Anda hanya sebutkan kebaikan mereka. Hendaknya Anda menyebutkan kesalahan yang mereka lakukan saja sebab hal itu bukan tugas Anda yaitu Anda mempelajari posisi mereka lalu Anda yang akan melaksanakan …. tugas Anda adalah memberikan keterangan tentang kesalahan mereka agar mereka memperhatikan hal tersebut dan agar orang lain waspada terhadap mereka. Karena jika Anda menyebutkan kebaikan mereka, mereka akan berkata, semoga Allah memberimu kebaikan. Dan inilah yang kami inginkan ….”
Kemudian dalam sebuah kaset yang direkam pada pertemuan ketiga dan pelajaran-pelajaran Kitab At Tauhid yang dipandu oleh beliau pada musim panas tahun 1413 H di Tha’if.

Syaikh Abdul Aziz Al Muhammad As Salman ditanya sebagai berikut:
Apakah dalam mengkritik ahli bid’ah disyaratkan bersikap muwazanah dengan menyebutkan kebaikan dan kejelekannya menurut manhaj Salaf?

Syaikh Abdul Aziz Al Muhammad As Salman menjawab :
“Ketahuilah, semoga Allah memberikan taufik kepada kami dan Anda serta seluruh kaum Muslimin bahwasanya tidak ada atsar (ucapan shahabat) dari para Salafush Shalih, shahabat dan orang yang mengikuti mereka dengan baik menghormati salah sorang ahli bid’ah atau mendukung mereka serta berdiskusi bersama para pendukung mereka. Sebab ahli bid’ah itu hatinya terkena penyakit, dikhawatirkan siapa yang berdiskusi bersama mereka atau berhubungan dengan mereka akan tertular penyakit yang berbahaya ini? Sebab bukankah orang sakit itu akan menulari orang yang sehat dan bukan sebaliknya?

Maka waspadalah terhadap semua ahli bid’ah dan ahli bid’ah yang wajib dijauhi dan dikucilkan seperti jahmiyah, rafidhah, mu’tazilah, mathuridiyah, khawarij, tasawwuf serta siapa saja yang mengikuti manhaj mereka dari golongan-golongan yang menyimpang dari manhaj Salaf.

Hendaknya seorang Muslim berhati-hati dan waspada terhadap mereka. Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Muhammad, keluarga dan para shahabatnya.”

(Dikutip dari terjemahan buku Manhaj Ahlusunnah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath thwaif, karya Syaikh Rabi’ Bin Hadi Umair Al Madkhali, edisi Indonesia “Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mengkritik Tokoh, Kitab dan Aliran”. Judul Bab Mukaddimah Cetakan Kedua. Sumber Maktabah As Sunnah http://www.sunnah.or.id)