Bai’at dalam timbangan syariat Islam – Hukumnya

Bai’at dalam timbangan syariat Islam – Hukumnya

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Masalah bai’at cukup ramai dalam dunia dakwah, simpang siur pendapat dalam masalah ini cukup membuat bingung para penganut jama’ah dakwah bahkan para aktivisnya. Namun sangat disayangkan kebanyakan mereka tatkala membahas masalah yang satu ini tidak merujuk kepada penjelasan para ulama Ahlussunnah.

Bahkan mereka mengambil hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini, lalu mereka memahaminya dengan akal pikiran mereka sendiri. Lebih parah jika kemudian disesuaikan dengan kepentingan pribadinya, kelompoknya atau pahamnya, sehingga bai’at menjadi jaring atau tali pengikat para pengikut jama’ah dakwah untuk tidak lepas darinya. Kalau tetap saja lepas maka… Tak sedikit orang dianggap kafir dan diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir di dunia dan akhirat karena tidak berbai’at.

Nah kami mengajak anda para pembaca untuk mengetahui sejauhmana sesungguhnya ajaran Islam tentang bai’at ini. Oleh karenanya mohon tulisan sederhana ini dibaca dengan seksama, tanpa curiga sampai tuntas pada akhirnya kemudian kita koreksi amal kita dengan penuh kejujuran dan keadilan. Sehingga kita tidak menjadikan bai’at sebagai sarana kepentingan pribadi maupun kelompok bahkan semata-mata melakukan agama Allah yang mulia. Semoga Allah memberikan kepada kita petunjuk kepada jalan yang lurus dan Ia ridhoi.

Definisi bai’at
Shiddiq Hasan Khan (wafat:1307 H) dalam bukunya ‘Iklil al karamah’ hal:26 mengatakan: Ketahuilah bahwa bai’at adalah berjanji untuk taat, seolah-olah seorang yang berbai’at berjanji kepada pimpinannya untuk menyerahkan kepadanya urusan dirinya dan urusan kaum muslimin untuk tidak menentangnya pada masalah apapun dalam urusan itu serta mentaatinya pada apa yang ia bebankan kepadanya dari perintahnya baik dalam keadaan suka atau duka.

Dulu jika mereka berbaiat kepada pimpinan dan mengikat janjinya mereka meletakkan tangan di atas tangan pimpinannya untuk menekankan janji itu, sehingga dengan itu mereka menyerupai perbuatan penjual bersama pembelinya maka dinamailah Bai’at. Bentuk mashdar dari kata ( ÈÇÚ ) -yang berarti menjual- sehingga jadilah kata bai’at berarti berjabat tangan.

Hukum bai’at
Tidak diragukan lagi tentang disyariatkanya berbaia’at hal itu karena banyaknya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan tentang bai’at ini, demikian pula menunjukan bahwa beliau membai’at para sahabatnya dalam beberapa kesempatan. Diantaranya :
Úä ãÌÇÔÚ Èä ãÓÚæÏ ÇáÓáãí ÞÇá : ÌÆÊ ÈÃÎí ÃÈí ãÚÈÏ Åáì ÑÓæá Çááå Õáì Çááå Úáíå æÓáã ÈÚÏ ÇáÝÊÍ ÝÞáÊ íÇ ÑÓæá Çááå ÈÇíÚå Úáì ÇáåÌÑÉ ÞÇá ÞÏ ãÖÊ ÇáåÌÑÉ ÈÃåáåÇ ÞáÊ ÝÈÃí ÔíÁ ÊÈÇíÚå ÞÇá Úáì ÇáÅÓáÇã æÇáÌåÇÏ æÇáÎíÑ
Dari Mujasyi’ bin Mas’ud as Sulami saya berkata Aku datang bersama saudaraku Abu ma’bad kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setalah fathu makkah (pembukaan kota Makkah) maka saya katakan: Wahai Rasulullah: Bai’atlah dia untuk berhijrah. Beliau mengatakan: Sesungguhnya hijrah telah berlalu bersama orang-orang yang melakukannya. Saya katakan: Lalu diatas apa engkau membai’atnya? Ia berkata: Di atas Islam, jihad dan kebaikan. {shahih, HR Muslim no:4804 cet, Darul Ma’rifah]

Úä ÚÈÏ Çááå Èä ÚãÑ íÞæá : ßäÇ äÈÇíÚ ÑÓæá Çááå Õáì Çááå Úáíå æÓáã Úáì ÇáÓãÚ æ ÇáØÇÚÉ íÞæá áäÇ ÝíãÇ ÇÓÊØÚÊ
Dari Abdullah Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: Dulu kita berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk patuh dan taat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Pada apa yang aku mampu” [Shahih, HR Muslim no: 4813 cet, Darul Ma’rifah] Yakni katakan: “Pada apa yang aku mampu” – demikian jelas an Nawawi.

Al Qurthubi (Wafat.671 H) dalam tafsirnya (1:272 cet. Darus Sya’b) mengatakan: Dan jika kepemimpinan telah terwujud…maka wajib bagi rakyat seluruhnya untuk membai’atnya untuk patuh dan ta’at untuk menegakkan kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka barangsiapa yang tidak berbai’at karena udzur dia diberi udzur/maaf dan barangsiapa yang tanpa udzur maka dia dipaksa (untuk berbai’at), agar kesatuan kaum muslimin tidak terpecah.

Demikianlah syar’inya bai’at, lantas apa hukuman bagi mereka yang tidak berbaiat?
Tentu ia telah meninggalkan sesuatu yang disyariatkan.
Apa hukumannya kafir atau berdosakah dia?
Kalau berdosa, tentu namun untuk dikatakan kafir apa dalilnya?

Barangkali ada orang mengatakan dalilnya adalah Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ãóäú ãóÇÊó æóáóíúÓó Ýöí ÚõäõÞöåö ÈóíúÚóÉñ ãóÇÊó ãöíúÊóÉð ÌóÇåöáöíøóÉð
Barangsiapa yang meninggal dan pada lehernya tidak terdapat baiat (tidak berbai’at) maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyyah. [Shahih, HR Muslim no:4770 cet:darul ma’rifah]
dimana Nabi mengatakan mati jahiliyyah, berarti kafir.

Menjawab pernyataan itu kami katakan bahwa perlu dipahami hal-hal berikut:
1. Secara umum kata jahiliyyah itu sendiri tidak menunjukan kufur karena makna Jahiliyyah terambil dari kata (ÇáÌóåúá ) jahl yang berarti bodoh. Jaman jahiliyyah adalah jaman kebodohan, yang dimaksud dalam istilah syariat kita adalah keadaan yang ada padanya orang-orang arab sebelum Islam dari kebodohan terhadap Allah, para Rasul-Nya dan syariat-Nya.
Kebodohan yang dimaksud mencakup beberapa hal:
1. Tidak tahu yang haq.
2. Meyakini lawan dari al haq.
3. Mengatakan sesuatu yang tidak benar apakah dia tahu kebenaran atau tidak.
4. Semua yang menyelisihi apa yang dibawa Rasul termasuk yahudi dan nasrani.
[lihat: Iqtidho’ Shiraatil mustaqim:1/256-259 dan Kitabut Tauhid karya Shalih al Fauzan:21-22]

Oleh karenanya sebagian dosa disebut jahiliyyah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi tidak bararti bahwa dosa itu kekafiran sama sekali. Contohnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ÃóÑúÈóÚñ Ýöí ÃõãøóÊöí ãöäú ÃóãúÑö ÇáúÌóÇåöáöíøóÉö áÇó íóÊúÑõßõæäóåõäøó ÇáÝðÎúÑõ Ýöí ÇáÃóÍúÓóÇÈö æö ÇáØøóÚúäõ Ýöí ÇáÃóäúÓóÇÈö æó ÇáÅöÓúÊöÓúÞÇóÁõ ÈöÇáäøõÌõæúãö æó ÇáäøöíóÇÍóÉõ
Ada empat perkata pada umatku termasuk karakter jahiliyyah mereka tidak akan meninggalkannya: berbangga dengan kebanggaan nasab, mencela nasab, minta hujan dengan bintang dan meratapi mayat [Shahih, Hadits Riwayat Muslim dari Abu Malik al Asy’ari]
Sehingga kalau hadits diatas ditafsiri kufur hanya karena kata jahiliyyah maka tidak benar.

2. Bahwa kata miitah (ãöíúÊóÉð ) dengan mengkasrohkan mim seperti dikatakan Imam an Nawawi (wafat: 676 H) dalam syarah Muslim (juz :12 hal: 441) Isim ini dalam ilmu nahwu menunjukkan Hai’ah, maksudnya adalah menunjukan keadaan. Jadi artinya:…mati seperti keadaan jahiliyyah. Nah, kesamaan dengan jahiliyyah disini dalam hal apanya? Karena kita tahu bahwa keadaan jahiliyyah itu mencakup banyak hal, kalau dikatakan semua keadaannya sama, tentu tidak benar. Kalau dikatakan sebagian keadaannya, maka pada keadaan yang mana? Untuk mengetahuinya kita perlu kembali kepada penjelasan para Ulama bukan dengan menafsiri hadits semau kita demi kepentingan kita baik secara pribadi atau jama’ah. Untuk itu saya akan nukilkan ucapan para ulama dalam menafsirkan hadits itu.

Imam Nawawi mengatakan maksud hadits itu: Maksudnya seperti keadaan matinya orang jahiliyyah dari sisi mereka itu kacau tidak punya imam [syarh Shahih Muslim:12/441]

Ibnu Hajar (wafat:852 H) mengatakan: Yang dimaksud (mati dalam keaadaan jahiliyyah) adalah keadaan matinya seperti matinya orang jahiliyyah yakni diatas kesesatan tidak punya imam yang ditaati karena mereka dulu tidak tahu yang demikian. Bukan yang dimaksud ia mati kafir, bahkan (maksudnya) mati dalam keadaan maksiat…[fathul bari syarah Shahih Bukhari:13/7]

As Suyuthi (wafat: 911 H) mengatakan: Yakni seperti matinya orang-orang jahiliyyah diatas kesesatan dan perpecahan [Zahrurruba, syarah Nasa’I juz:7-8/139]

As Sindi (wafat:1138 H) mengatakan: Yang dimaksud seperti matinya orang-orang jahiliyyah diatas kesesatan bukan yang dimaksud kekafiran [hasyiah/catatan kaki pada Nasa’I juz:7-8/139]

Jadi, dari penjelasan para ulama pada Syarah Bukhari, Muslim dan Nasa’i kita tahu bahwa tidak satupun dari mereka manafsiri kata jahiliyah itu dengan makna kafir, oleh karenanya ambillah keterangan dari mereka.

Barangkali juga ada orang berdalil dengan hadits berikut, untuk mengatakan bahwa orang yang keluar dari jama’ah dan tidak berbai’at kafir, yaitu hadits:
ãä ÝÇÑÞ ÇáÌãÇÚÉ ÔÈÑÇ ÝÞÏ ÎáÚ ÑÈÞÉ ÇáÅÓáÇã ãä ÚäÞå
Barangsiapa yang memisahkan dari jama’ah sejengkal, maka ia telah melepas kalung Islam dari lehernya [Shahih, HR Abu Dawud dengan lafadz ini dan dishahihkan oleh syekh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud:4758 dari sahabat Abu Dzar]
Apa sesungguhnya makna ‘ia melepas kalung Islam dari lehernya’ apakah artinya kafir?

Secara ringkas kita katakan: Tidak, karena kita melihat ancaman/vonis yang sama dengannya dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ãä Êæáì ÛíÑ ãæÇáíå ÝÞÏ ÎáÚ ÑÈÞÉ ÇáÅíãÇä ãä ÚäÞå
Barangsiapa (budak) yang berwali kepada selain tuan yang membebaskannya maka Ia telah melepas kalung keimanan dari lehernya
[Shahih, HR ahmad dalam musnadnya:3/332 dan dishahihkan oleh syekh al Albani dalam Silsilah ash Shahihah no:2329 dan dalam Shahih Jami’ as Shaghir no: 6181 dengan lafadz : ÑÈÞÉ ÇáÅ ÓáÇã ‘kalung keislaman’ ]

Al Imam an Nawawi menerangkan hadits yang semakna dengannya dalam syarah shahih muslim katanya: Di dalamnya terdapat larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seorang budak yang dibebaskan untuk berwali kepada selain yang membebaskan dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknatinya …dan ini haram karena ia menelantarkan hak orang yang memberikan nikmat padanya [syarah Shahih Muslim :10/388, cet Darul ma’rifah]

Demikian pula ancaman yang sama ada dalam ucapan Abdullah Ibnu Abbas seperti yang diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dari sufyan ats Tsauri dari Ibrahim Ibnul Muhajir dari Mujahid dari Ibnu Abbas bahwa ia menawarkan kepada budaknya kebutuhan pernikahan dan beliau mengatakan: Siapakah diantara kalian yang mau kebutuhan nikah? sesungguhnya tidaklah seorang pelaku zina melakukan zina kecuali Allah akan cabut darinya kalung Islam maka jika Allah ingin mengambalikannya Allah akan kembalikan dan jika Allah tidak ingin mengembalikannya maka tidak Allah kembalikan. [Riwayat Abdurrazzaq dalam al Mushonnaf :7/417]

Pada dua riwayat diatas terdapat vonis ‘ia telah melepas kalung Islam dari lehernya’ bagi dua pelaku dosa yaitu seorang budak yang tidak berwali kepada yang membebaskannya dan seorang yang melakukan perbuatan zina. Sedangkan kita ketahui bersama dalam pandangan ahlussunnah wal jama’ah bahwa dua perbuatan itu adalah dosa yang tidak mencapai derajat kekafiran dan pelakunya tidak dikafirkan (dipertegas dengan hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang lain bahwa beliau bersabda yang artinya: “Barangsiapa yang mengatakan Lailaha illallah lalu mati diatas kalimat itu maka ia akan masuk surga.” Abu Dzar mengatakan, “walaupun berzina dan mencuri ?” Nabi mengatakan “walaupun berzina dan mencuri . Abu Dzar mengatakan,”walaupun berzina dan mencuri ?” nabi mengatakan, “walaupun berzina dan mencuri.” sampai ia katakan tiga kali dan yang keempat kalinya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan: “walaupun abu Dzar tidak suka.” kemudian Abu Dzar keluar dan mengatakan, “walaupun Abu Dzar tidak suka”. [HR Muslim no:269 cet Darul Ma’rifah] – pen). Sehingga vonis diatas tidak menunjukkan kekafiran.

Demikian pula ketika vonis itu diberikan kepada orang yang tidak berbai’at maka sama saja maknanya yakni tidak keluar dari Islam menuju kekafiran, namun jatuh dalam pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah, sebagaimana kita akan lihat penjelasan ulama pada kata ÎáÚ ÑÈÞÉ ÇáÅÓáÇã ãä ÚäÞå ‘ia telah melepas kalung Islam dari lehernya’:

Mari kita melihat keterangan para ulama:
Nu’aim bin Hammad mengatakan kepada Sufyan bin ‘Uyainah: apa pendapatmu tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Barangsiapa yang meninggalkan jama’ah maka ia telah menanggalkan kalung Islam dari lehernya’ maka Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: Barangsiapa yang meningalkan jama’ah ia telah menanggalkan ketaatan kepada Allah dan tidak berserah diri kepada perintah-Nya, kepada Rasul dan kepada pimpinan dan saya tidak mengetahui seseorang diberi hukuman lebih dari hukuman mereka ……Ini pada orang-orang Islam [at Tamhid karya Ibnu Abdil bar 21:283]

Al Khattabi (wafat:388 H) mengatakan:
Ribqoh artinya sesuatu yang dikalungkan di leher binatang..(Maksudnya) dia telah tersesat dan binasa dan menjadi seperti binatang jika dilepaskan dari kalungnya yang terikat padanya maka binatang tersebut tidak aman dari binasaan dan hilang [Aunul ma’bud syarh sunan Abu Dawud:13/72-73]
Al Mubarakfuri mengatakan: Ribqoh…maksudnya apa yang diikatkan oleh seorang muslim pada dirinya dari ikatan Islam yakni batasan-batasannya, hukum-hukumnya, perintah-perintah dan larangannya. Sebagian mengatakan: ia telah membuang perjanian Allah, membatalkan tangung jawabnya yang melekat pada leher-leher hamba. [ tuhfatul Ahwadzi syarah sunan at Tirmidzi :8/131]
Al Munawi mengatakan: (Maksudnya) menyepelekan aturan-aturan Allah, perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya serta meninggalkannya secara keseluruhan [faidhul Qodir:6/11]
As Suyuthi mengatakan: Maksudnya apa yang diikatkan oleh seorang muslim pada dirinya dari ikatan Islam yakni batasan-batasannya, hukum-hukumnya, perintah-perintah dan larangannya. [Syarh Suyuthi pada sunan an Nasa’i:8/65]

Demikian kata para ulama, tidak terdapat dari mereka tafsir bahwa maksudnya kafir dan keluar dari Islam.

(Bersambung ke Ba’iat dalam timbangan Syariat Islam – Kepada Siapa dan Tata Cara Bai’at)

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Qomar Su’aidi, Lc, judul asli “Bai’at”, yang diberikan via disket oleh al Akh Abu Muhammad Syu’bah)