Perang Tabuk bagian-1

Perang Tabuk bagian-1

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

 Oleh  Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

 

Bulan Rajab tahun ke sembilan hijrah. Panas menyengat kota Madinah. Pasir dan batu bagaikan bara api. Tetapi pada saat itu buah-buahan sedang ranum-ranumnya untuk dipetik. Sehingga betul-betul menggoda hati untuk tidak beranjak menikmati teduhnya naungan, menanti panen.

Sebab-sebab Peperangan

Setelah jatuhnya Makkah ke pangkuan Islam. Sirna pula keraguan terhadap risalah yang diemban Manusia Agung, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdul Muththalib Shallallahu ‘alaihi wasallam. Manusiapun memeluk Islam berbondong-bondong. Kaum musliminpun mulai tenang mempelajari syariat Islam di negeri-negeri mereka.

Tetapi, nun jauh di utara, di luar bumi Hijaz. Satu kekuatan besar mengancam perkembangan agama yang baru bersemi ini. Kekuatan Imperium Romawi.

Sebuah kekuatan imperium yang menguasai belahan bumi bagian barat. Negara yang sudah memiliki strata peradaban yang maju untuk ukuran dewasa itu. Jauh melampaui negara-negara Arab yang ada. Bahkan kekuatan kabilah Arab yang ada seperti Quraisy, tidak ada artinya di hadapan kekuatan imperium Romawi.

Setelah terbunuhnya utusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Al-Harits bin ‘Umair Al-Azdi di tangan Syurahbil bin ‘Amr Al-Ghassani, beliaupun mengirim pasukan Zaid bin Haritsah hingga terjadi pertempuran sengit di Mu’tah dengan gugurnya para panglima pasukan muslimin; Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin Rawahah .

Akan tetapi peristiwa ini tidak diperhitungkan oleh Heraklius, raja Romawi ketika itu. Sehingga dia tidak merasa perlu melakukan perjanjian damai dengan kaum muslimin untuk menjaga keamanan wilayah kekuasaannya.

Bagi kabilah Arab lainnya yang menjadi jajahan Romawi, peristiwa Mu`tah telah memberi pengaruh begitu dalam. Satu demi satu mereka melepaskan diri dari kekuasaan Romawi.

Setelah melihat kondisi inilah Heraklius baru menyadari betapa perlunya menyiapkan pasukan untuk menumpas gerakan kaum muslimin agar tidak mengganggu kekuasaan Romawi. Maka Heraklius pun segera memobilisasi rakyatnya.

Sampailah berita ke kota Madinah tentang persiapan tentara Romawi untuk menyerang kaum muslimin. Berita ini cukup menggoncangkan para sahabat di Madinah. Kegoncangan ini tampak dari dialog antara ‘Umar bin Al-Khaththab dan seorang sahabat Anshar.

Pada saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang memboikot isteri-isterinya selama satu bulan dan menyendiri di sebuah loteng (tingkat atas) rumah beliau.

Waktu itu, ‘Umar bin Al-Khaththab dan sahabat Anshar itu saling bergantian hadir di majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Suatu ketika sahabat Anshar itu datang mengetuk pintu ‘Umar dengan kerasnya. ‘Umar langsung membuka pintu dengan bergegas dan berkata: “Ada apa? Apakah pasukan Ghassan (Romawi) sudah menyerang?”

“Bukan. Ada yang lebih dahsyat dari itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikan isteri-isteri beliau,” kata sahabat tersebut.

Inilah salah satu yang menunjukkan gentingnya keadaan saat itu.

Masjid Dhirar

Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, ada seorang tokoh dari Khazraj digelari Abu ‘Amir Ar-Rahib (Si Pendeta). Di masa jahiliyah, dia memeluk agama Kristen dan membaca ilmu ahli kitab. Dia rajin beribadah ketika itu dan mempunyai kedudukan mulia di kalangan orang-orang Khazraj.

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tiba sebagai muhajir di Madinah, dan kaum muslimin bersatu mendukung beliau, lalu Islam memiliki kemuliaan dan Allah menangkan mereka dalam perang Badr, Abu ‘Amir merasa menelan kepahitan hingga diapun menampakkan permusuhan dan lari bergabung dengan orang-orang kafir Makkah, menghasut mereka agar memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia juga yang menggali lubang jebakan dalam peperangan hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamn jatuh di salah satu lubang jebakan tersebut.

Suatu ketika Abu ‘Amir mencoba membujuk orang-orang Anshar agar mendukung dan membelanya. Tetapi dia justeru menerima cercaan dari orang-orang Anshar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah mengajaknya kepada Islam dan membacakan Al-Qur’an kepadanya, namun dia menolak dan menentang. Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakannya mati sebatang kara terusir dari tanah airnya.

Hal itu menjadi kenyataan. Ketika dia melihat kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semakin menjulang, dia lari ke Syam bergabung dengan Heraklius, meminta bantuan kepadanya memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Heraklius menjanjikan dan mengizinkannya tinggal di negerinya. Kemudian Abu ‘Amir menulis surat kepada beberapa orang yang masih mendukungnya dari kalangan Anshar yang munafik. Dia menjanjikan bahwa akan ada bantuan untuk memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam serta mengembalikan kedudukannya di tengah-tengah kaumnya.

Untuk memuluskan rencananya, Abu ‘Amir memerintahkan pendukungnya untuk membuat satu markas mengamati keadaan kaum muslimin jika bantuan itu datang. Akhirnya merekapun segera membangun sebuah masjid yang berdekatan dengan Masjid Quba. Masjid itu selesai sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat menuju Tabuk.

Merekapun datang meminta agar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mau shalat di masjid tersebut sebagai bukti bahwa beliau telah merestui. Mereka memberi alasan bahwa masjid itu dibangun untuk menampung kalau ada yang sakit dan kesulitan di malam musim dingin serta orang-orang yang lemah.

Allah l menjaga beliau agar tidak shalat di sana, kata beliau: “Kami sedang dalam perjalanan. Kalau kami sudah kembali Insya Allah (kami akan shalat di sana).”

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan kembali dari Tabuk, tinggal sehari atau dua hari lagi sebelum masuk ke Madinah, turunlah Jibril  menerangkan keadaan masjid dhirar tersebut. Bahwasanya mereka mendirikan masjid tersebut di atas kekafiran, memecah belah kaum mukminin di masjid mereka. Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim beberapa orang untuk meruntuhkan masjid itu menjelang kedatangan beliau di Madinah.

Allah Subhanahuwata’ala berfirman menerangkan keadaan masjid ini:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (At-Taubah: 107)

Dalam ayat ini Allah Subhanahuwata’ala menerangkan bahwa ada empat perkara yang mendorong mereka mendirikan masjid tersebut, yaitu:

  1. Upaya menimbulkan mudarat bagi orang lain
  2. Kekafiran kepada Allah dan membanggakan diri terhadap kaum muslimin
  3. Memecah belah kaum mukminin
  4. Memata-matai untuk mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, sebagai bantuan buat musuh-musuh Allah.

Allah Subhanahuwata’ala menggagalkan usaha mereka dan membuat tipu daya mereka sia-sia dengan memerintahkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam agar meruntuhkan serta memusnahkan masjid tersebut.

Allah Subhanahuwata’ala juga melarang Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum mukminin shalat di masjid tersebut dengan larangan yang sangat keras. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

“Janganlah kamu menegakkan shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 108)

Adapun sumpah yang mereka ucapkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahuwata’ala tersebut:

وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ

Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.”

Justeru celaan terhadap mereka atas angan-angan keji dan kedustaan mereka. Maka sebab itulah Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

“Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta.”

Dengan hancurnya masjid dhirar, semakin sempitlah ruang gerak kaum munafik. Jati diri mereka pun semakin jelas bagi kaum muslimin.

Persiapan Menuju Tabuk

Tabuk adalah daerah di pinggiran wilayah Syam ke arah kiblat (selatan), dari Madinah sekitar 12 marhalah(???). Menurut Yaqut Al-Hamawi daerah ini terletak antara Wadil Qura dan negeri Syam. Daerah ini termasuk jajahan Bizantium (Romawi) ketika itu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertekad untuk memerangi Romawi, padahal ketika itu musim panas begitu hebat. Keadaan perekonomian sedang mengalami masa-masa sulit. Beliau sengaja menampakkan kepada kaum muslimin keinginan tersebut. Bahkan beliau mengajak kabilah-kabilah Arab dan orang-orang badui di sekitar beliau agar berangkat bersama beliau. Maka terkumpullah pasukan cukup besar, yaitu sekitar 30.000 orang. Namun masih ada beberapa orang yang tertinggal tanpa alasan, di antaranya Ka’b bin Malik, Murarah bin Ar-Rabi’ dan Hilal bin Umayyah  yang akan diceritakan pada bagian lain Insya Allah.

Walaupun keadaan serba sulit, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mendorong kum muslimin bersiap-siap untuk berperang. Padahal biasanya, apabila hendak berangkat berperang, beliau selalu menampakkan seolah-olah bukan untuk berperang. Beliau membangkitkan semangat orang-orang yang berharta agar berinfak di jalan Allah. Maka berlomba-lombalah para hartawan mengeluarkan hartanya untuk membiayai Jaisyul ‘Usrah (Pasukan yang kesulitan) tersebut.

Az-Zuhri dan ulama lainnya menceritakan:

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya kalau ingin berangkat berperang, melakukan serangkaian taktik. Misalnya dengan membuat kiasan atau kata-kata sandi. Tetapi dalam perang Tabuk ini, beliau justeru menyampaikan terang-terangan tujuan dan sasarannya agar kaum muslimin bersiap-siap. Beliau sampaikan bahwa yang dituju adalah Romawi.

Pada suatu hari dalam situasi persiapan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Jadd bin Qais, salah satu keluarga kabilah Bani Salimah: “Hai Jadd, apakah tahun ini engkau ada keinginan kepada kulit-kulit Banil Ashfar (orang bule)?”

Jadd menukas: “Ya Rasulullah, izinkanlah saya (tidak ikut berperang). Jangan anda jerumuskan saya dalam fitnah. Demi Allah, kaumku semua tahu bahwa tidak ada laki-laki yang paling besar kekagumannya kepada wanita daripada aku. Saya khawatir kalau saya melihat wanita bule itu, saya tidak dapat bersabar.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun meninggalkannya sambil berkata: “Saya beri izin untukmu.”

Tentang Jadd inilah turun firman Allah Subhanahuwata’ala[1]:

وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ ائْذَن لِّي وَلَا تَفْتِنِّي ۚ أَلَا فِي الْفِتْنَةِ سَقَطُوا ۗ وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيطَةٌ بِالْكَافِرِينَ

“Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah”. Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” (At-Taubah: 49)

Ada pula dari kalangan kaum munafikin yang mengatakan: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Mereka merasa tidak membutuhkan jihad serta meragukan kebenaran dan menimbulkan kegoncangan pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Allah Subhanahuwata’ala menurunkan firman-Nya:

فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَن يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنفِرُوا فِي الْحَرِّ ۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا ۚ لَّوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ

“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini”. Katakanlah: “Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas (nya)”, jikalau mereka mengetahui.” (At-Taubah: 81)

(Insya Allah bersambung)

 


[1] Lihat Zaadul Ma’aad Ibnul Qayyim rahimahullahu (3/527).