Serial Sirah Tabiin: AS-HAMAH AN-NAJASYI YANG BERIMAN (Bag ke-3)

Serial Sirah Tabiin: AS-HAMAH AN-NAJASYI YANG BERIMAN (Bag ke-3)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ditulis Oleh Al ustadz Abu Utsman Kharisman

Pelajaran Berharga dari Kisah Hijrah Para Sahabat Nabi ke Habasyah dan Interaksi dengan Ash-hamah anNajasyi

Kisah tersebut mengandung banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik. Di antaranya adalah:

Pertama: Hidayah itu hanya di Tangan Allah semata. Seseorang yang asalnya kafir, berubah menjadi muslim dengan hidayah Allah. anNajasyi sebelumnya Nashrani, berubah menjadi muslim. ‘Amr bin al-Ash nantinya juga menjadi muslim. Tapi tidak semua pihak yang menangis ketika dibacakan al-Quran, tergerak hatinya untuk beriman. Allah hanya memberi hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya. Maka semestinya hanya kepadaNyalah kita memohon hidayah kepada Islam dan kekokohan di dalam Islam di atas sunnah.

Kedua: Di balik musibah, terdapat hikmah yang besar. Musibah penindasan kaum muslimin di Makkah membuat mereka hijrah ke Habasyah. Meninggalkan tanah kelahiran dan negeri yang mereka cintai. Ternyata, dengan peristiwa hijrah itu ada banyak kebaikan yang didapatkan, di antaranya menjadi sebab masuk Islamnya seorang pemimpin di negeri seberang.

Ketiga: Keutamaan Ash-hamah anNajasyi. Beliau memiliki benih-benih kebaikan yang diketahui oleh Allah Ta’ala. Beliau tidak ingin mendzhalimi siapapun. Beliau tidak mau menyerahkan kaum muslimin sebelum mendapatkan penjelasan dari mereka. Beliau tidak ingin mengambil keputusan sepihak tanpa mengetahui argumen dari satu pihak yang lain. Hingga Allah bukakan pintu hidayah untuk mendukung kebenaran. Beliau tidak mau menerima suap berupa hadiah, yang akan berakibat terdzhaliminya satu pihak. Ash-hamah anNajasyi menjadi pelindung kaum muslimin di negeri Habasyah. Bahkan memfasilitasi mereka dengan memberi bantuan makanan dan pakaian.

Keempat: Ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya akan berbuah manis. Para Sahabat yang diwakili Ja’far bin Abi Tholib memilih untuk jujur berkata apa adanya, menyampaikan ajaran Nabi tanpa ditambah dan dikurangi. Mereka juga tidak mau sujud kepada raja. Padahal, dalam perhitungan manusia, itu justru akan membuat raja marah dan mengambil keputusan yang merugikan mereka. Namun, kekokohan memegang prinsip dengan penyampaian yang santun dan beradab, membuat mereka mendapat pertolongan Allah Ta’ala. Hal ini juga menunjukkan bahwa jika seseorang mencari keridhaan Allah, meski awalnya akan membuat manusia marah kepadanya, Allah akan ridha kepadanya dan membuat nantinya manusia ridha kepadanya.

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاس

Barangsiapa yang mencari keridhaan Allah dengan mendapatkan kemarahan manusia, maka Allah Ta’ala akan ridha kepadanya dan menjadikan manusia ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang mencari keridhaan manusia dengan mendapat kemurkaan Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan akan menjadikan manusia murka kepadanya (H.R Ibnu Hibban dalam shahihnya dari Aisyah)

Kelima: Sebaik apapun rencana disusun, jika Allah tidak menghendaki terjadinya, tidak akan terjadi. Delegasi Quraisy telah menyiapkan segala sesuatu untuk mendukung rencananya. Termasuk mengkondisikan para pejabat Habasyah agar mendukung rencananya. Mereka juga memberikan hadiah untuk para pejabat itu dan juga raja Habasyah. Namun, Allah Ta’ala berkehendak lain. Semua rencana dan makar yang disusun rapi, menemui kegagalan.

Keenam: Pokok ajaran para Nabi semuanya sama, karena semuanya berasal dari Allah Ta’ala. Meskipun dari sisi rincian syariat berbeda-beda, namun pokok ajarannya sama. Ajaran Nabi Isa adalah mentauhidkan Allah Ta’ala tidak menyekutukanNya dengan suatu apapun, seperti ajaran Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Bahkan Nabi Isa memberikan kabar gembira akan diutusnya Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Seseorang yang benar-benar beriman kepada Taurat dan Injil, saat diutusnya Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam seharusnya beriman kepada beliau dan mengikuti syariat dari Nabi terakhir tersebut.