You are currently viewing Perang Hunain  BAGIAN – 3

Perang Hunain BAGIAN – 3

  • Post author:
  • Post category:Kisah

 Oleh  Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

 Kaum Anshar dan Ghanimah

Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu anhu , beliau berkata:

لَمَّا أَعْطَى رَسُولُ اللهِ   مَا أَعْطَى مِنْ تِلْكَ الْعَطَايَا فِي قُرَيْشٍ وَقَبَائِلِ الْعَرَبِ وَلَمْ يَكُنْ فِي الْأَنْصَارِ مِنْهَا شَيْءٌ وَجَدَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ الْأَنْصَارِ فِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى كَثُرَتْ فِيهِمُ الْقَالَةُ حَتَّى قَالَ قَائِلُهُمْ: لَقِيَ رَسُولُ اللهِ  قَوْمَهُ. فَدَخَلَ عَلَيْهِ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ هَذَا الْحَيَّ قَدْ وَجَدُوا عَلَيْكَ فِي أَنْفُسِهِمْ لِمَا صَنَعْتَ فِي هَذَا الْفَيْءِ الَّذِي أَصَبْتَ قَسَمْتَ فِي قَوْمِكَ وَأَعْطَيْتَ عَطَايَا عِظَامًا فِي قَبَائِلِ الْعَرَبِ وَلَمْ يَكُنْ فِي هَذَا الْحَيِّ مِنَ الْأَنْصَارِ شَيْءٌ. قَالَ: فَأَيْنَ أَنْتَ مِنْ ذَلِكَ، يَا سَعْدُ؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا أَنَا إِلاَّ امْرُؤٌ مِنْ قَوْمِي وَمَا أَنَا؟؟؟ قَالَ: فَاجْمَعْ لِي قَوْمَكَ فِي هَذِهِ الْحَظِيرَةِ. قَالَ: فَخَرَجَ سَعْدٌ فَجَمَعَ النَّاسَ فِي تِلْكَ الْحَظِيرَةِ، قَالَ: فَجَاءَ رِجَالٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ فَتَرَكَهُمْ فَدَخَلُوا وَجَاءَ آخَرُونَ فَرَدَّهُمْ فَلَمَّا اجْتَمَعُوا أَتَاهُ سَعْدٌ فَقَالَ: قَدِ اجْتَمَعَ لَكَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ الْأَنْصَارِ. قَالَ: فَأَتَاهُمْ رَسُولُ اللهِ  فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ بِالَّذِي هُوَ لَهُ أَهْلٌ ثُمَّ قَالَ: يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ، مَا قَالَةٌ بَلَغَتْنِي عَنْكُمْ وَجِدَةٌ وَجَدْتُمُوهَا فِي أَنْفُسِكُمْ، أَلَمْ آتِكُمْ ضُلاَّلاً فَهَدَاكُمُ اللهُ، وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمُ اللهُ وَأَعْدَاءً فَأَلَّفَ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ؟ قَالُوا: بَلِ اللهُ وَرَسُولُهُ أَمَنُّ وَأَفْضَلُ. قَالَ: أَلاَ تُجِيبُونَنِي يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ؟ قَالُوا: وَبِمَاذَا نُجِيبُكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ وَلِلهِ وَلِرَسُولِهِ الْمَنُّ وَالْفَضْلُ. قَالَ: أَمَا وَاللهِ لَوْ شِئْتُمْ لَقُلْتُمْ فَلَصَدَقْتُمْ وَصُدِّقْتُمْ، أَتَيْتَنَا مُكَذَّبًا فَصَدَّقْنَاكَ وَمَخْذُولاً فَنَصَرْنَاكَ وَطَرِيدًا فَآوَيْنَاكَ وَعَائِلاً فَأَغْنَيْنَاكَ، أَوَجَدْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ، فِي لُعَاعَةٍ مِنَ الدُّنْيَا تَأَلَّفْتُ بِهَا قَوْمًا لِيُسْلِمُوا وَوَكَلْتُكُمْ إِلَى إِسْلاَمِكُمْ، أَفَلاَ تَرْضَوْنَ يَا مَعْشَرَ اْلأَنْصَارِ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ وَتَرْجِعُونَ بِرَسُولِ اللهِ  فِي رِحَالِكُمْ؟ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْلاَ الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنَ الْأَنْصَارِ، وَلَوْ سَلَكَ النَّاسُ شِعْبًا وَسَلَكَتِ الْأَنْصَارُ شِعْبًا لَسَلَكْتُ شِعْبَ الْأَنْصَارِ، اللهُمَّ ارْحَمِ الْأَنْصَارَ وَأَبْنَاءَ الْأَنْصَارِ وَأَبْنَاءَ أَبْنَاءِ الْأَنْصَارِ. قَالَ: فَبَكَى الْقَوْمُ حَتَّى أَخْضَلُوا لِحَاهُمْ وَقَالُوا: رَضِينَا بِرَسُولِ اللهِ قِسْمًا وَحَظًّا. ثُمَّ انْصَرَفَ رَسُولُ اللهِ  وَتَفَرَّقْنَا

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mulai membagi-bagikan ghanimah kepada beberapa tokoh Quraisy dan kabilah ‘Arab; sama sekali tidak ada dari mereka satu pun yang dari Anshar. Hal ini menimbulkan kejengkelan dalam hati orang-orang Anshar hingga berkembanglah pembicaraan di antara mereka, sampai ada yang mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamsudah bertemu dengan kaumnya kembali.”

Kemudian masuklah Sa’d bin ‘Ubadah menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, katanya: “Wahai Rasulullah. Orang-orang Anshar ini merasa tidak enak terhadap anda melihat apa yang anda lakukan dengan harta rampasan yang anda peroleh dan anda bagikan kepada kaummu. Engkau bagikan kepada kabilah ‘Arab dan tidak ada satu pun Anshar yang menerima bagian.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Engkau sendiri di barisan mana, wahai Sa’d?”

Katanya: “Saya hanyalah bagian dari mereka.”

Kata Rasulullah n: “Kumpulkan kaummu di tembok ini.”

Lalu datang beberapa orang Muhajirin tapi beliau biarkan mereka, dan mereka pun masuk. Datang pula yang lain, tapi beliau menolak mereka. Setelah mereka berkumpul, Sa’d pun datang, katanya: “Orang-orang Anshar sudah berkumpul untuk anda.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menemui mereka, lalu beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan pujian yang layak bagi-Nya. Kemudian beliau bersabda: “Wahai sekalian orang Anshar, apa pembicaraanmu yang sampai kepadaku? Apa perasaan tidak enak yang kalian rasakan dalam hati kalian? Bukankah aku datang kepada kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi hidayah kepada kamu melalui aku? Bukankah kamu miskin lalu Allah kayakan kamu denganku? Bukankah kamu dahulu bermusuhan lalu Allah satukan hati kamu?”

Kata mereka: “Bahkan Allah dan Rasul-Nya lebih banyak memberi kebaikan dan keutamaan.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menukas: “Mengapa kamu tidak membantahku, wahai kaum Anshar?”

“Dengan apa kami membantahmu, wahai Rasulullah? Padahal kepunyaan Allah dan Rasul-Nya semua kebaikan serta keutamaan,” jawab orang-orang Anshar.

Kata Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Demi Allah, kalau kamu mau, kamu dapat mengatakan dan pasti kamu benar dan dibenarkan: ‘Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami yang membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan terhina, kamilah yang membelamu. Engkau datang dalam keadaan terusir, kamilah yang memberimu tempat. Engkau datang dalam keadaan miskin, kamilah yang mencukupimu. Apakah kalian dapati dalam hati kamu, hai kaum Anshar keinginan terhadap sampah dunia, yang dengan itu aku melunakkan hati suatu kaum agar mereka menerima Islam, dan aku serahkan kamu kepada keislaman kamu. Tidakkah kamu ridha, hai orang-orang Anshar, manusia pergi dengan kambing dan unta mereka, sedangkan kamu pulang ke kampung halamanmu membawa Rasulullah n? Demi yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentulah aku termasuk salah seorang dari Anshar. Seandainya manusia menempuh satu lembah, dan orang-orang Anshar melewati lembah lain, pastilah aku ikut melewati lembah yang dilalui orang-orang Anshar. Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak kaum Anshar, dan cucu-cucu kaum Anshar.”

Mendengar ini, menangislah orang-orang Anshar hingga membasahi janggut-janggut mereka, sambil berkata: “Kami ridha bagian kami adalah Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Kemudian Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam pergi, dan kami pun bubar.

Perang Thaif

Sebagian besar pasukan Hawazin dan Tsaqif yang melarikan diri akhirnya masuk ke benteng Thaif bersama panglima mereka, Malik bin ‘Auf An-Nadhari. Maka Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bergerak mengejar mereka setelah mengumpulkan ghanimah di Ji’ranah bulan itu juga.

Khalid bin Al-Walid bersama seribu prajurit mendahului di barisan pelopor. Kemudin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyusul ke Thaif. Dalam perjalanan itu pasukan muslimin diperintah menghancurkan benteng Malik bin ‘Auf yang ada di Liyyah. Setelah tiba di Thaif, mereka mengepung benteng tersebut hingga beberapa hari. Ada yang mengatakan empat puluh hari, tapi ahli sejarah menyebutkan sekitar dua puluh hari.

Dalam pengepungan ini terjadi saling lempar batu dan panah. Pada awal pengepungan itu, kaum muslimin diserang dari dalam benteng bertubi-tubi sehingga menyebabkan beberapa orang terluka dan sekitar dua belas orang gugur. Akhirnya mereka pindah ke tempat yang sekarang dibangun masjid Thaif dan bermarkas di sana.

Kemudian Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk melemparkan manjaniq (peluru besi berapi) hingga melubangi dinding benteng. Beberapa pasukan berusaha menerobos masuk dari bawah gerobak, tetapi disambut dengan ranjau-ranjau besi yang membara. Akhirnya kaum muslimin keluar, dan mereka diserang lagi dengan panah sehingga beberapa orang muslimin gugur.

Melihat ini Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar menebang dan membakar ladang-ladang anggur mereka. Hal ini membuat cemas orang-orang Tsaqif, lalu mereka meminta kepada beliau   Shallallahu ‘alaihi wasallam demi Allah dan kasih sayang, agar beliau membiarkan tanaman tersebut. Beliau pun membiarkannya.

Setelah itu, Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar diserukan bahwasanya siapa saja budak yang keluar dari benteng dan datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam maka dia merdeka. Mendengar ini, keluar 23 orang budak termasuk Abu Bakrah. Dia memanjat dinding benteng dan turun dengan timba bulat yang dipakai untuk mengambil air minum lalu menemui Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia pun diberi kuniah Abu Bakrah. Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam membebaskan mereka dan menyerahkan masing-masing mereka kepada seorang muslim untuk diberi santunan. Hal ini semakin menyusahkan penghuni benteng.

Semakin lama pengepungan semakin berat dan menyusahkan pasukan muslimin. Terlebih lagi para penghuni benteng telah menyiapkan bekal untuk bertahan selama setahun. Akhirnya Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk meninggalkan benteng tersebut.

Naufal bin Mu’awiyah Ad-Daili menyarankan kepada beliau: “Mereka itu seperti pelanduk di liangnya. Kalau anda tetap mengepungnya niscaya anda dapat menangkapnya. Tapi kalau anda membiarkannya, maka dia tidak akan merugikan anda.”

Saat itulah Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam bertekad meninggalkan benteng. Beliau memerintahkan ‘Umar bin Al-Khaththab bahwa mereka akan pulang besok, Insya Allah. Tetapi ada sebagian sahabat yang tidak menerima dan merasa keberatan, kata mereka: “Kita pergi dari sini padahal kita belum menaklukkan mereka?”

Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menukas: “Kita berangkat untuk perang.” Maka keesokan paginya mereka berangkat untuk menyerang, tetapi mereka malah mendapat serangan hebat hingga jatuh korban. Akhirnya Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata pula: “Kita bersiap untuk pulang besok, Insya Allah.” Tentu saja hal ini menyenangkan para sahabat. Mereka pun tunduk menerima dan mulai bertolak untuk pulang, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa.

Ada yang mengatakan kepada Rasulullah n: “Ya Rasulullah, doakanlah kejelekan terhadap Tsaqif.”

Kata Rasulullah n: “Ya Allah, berilah hidayah kepada Tsaqif dan datangkanlah mereka.”

Akhirnya Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali ke Ji’ranah menunggu beberapa hari sebelum membagi-bagikan ghanimah dengan harapan Hawazin akan datang dalam keadaan taubat dan menerima Islam, lalu beliau akan menyerahkan kepada mereka harta dan keluarga mereka. Akan tetapi tidak ada seorang pun dari mereka yang datang menemui beliau hingga beliau pun membagi-bagikan ghanimah tersebut.

 

Utusan Hawazin

Setelah membagi-bagikan ghanimah, tak berapa lama datanglah utusan Hawazin. Mereka ada 14 orang dipimpin oleh Zuhair bin Shurad termasuk Abu Burqan, paman susuan Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka masuk Islam dan berbai’at lalu berkata: “Wahai Rasulullah. Sesungguhnya di antara yang jadi tawanan anda ini adalah ibumu dan saudara perempuanmu, ‘ammah (bibi dari pihak ayah) dan khalah (bibi dari pihak ibu, yakni dari susuan).”

Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada mereka: “Yang bersamaku adalah seperti yang kamu lihat. Yang paling aku sukai adalah perkataan yang paling jujur. Anak istri kalian yang lebih kalian sukai untuk dikembalikan ataukah harta kalian?”

Kata mereka: “Kami tidak akan menukar anak-anak dan istri-istri kami dengan harta sedikitpun.”

Beliau pun berkata: “Seusai shalat zhuhur datanglah dan katakan: ‘Kami mencari syafaat kepada Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi kaum muslimin dan mengharap syafaat kepada kaum muslimin menghadapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengembalikan kepada kami tawanan yang ada’.”

Selesai shalat zhuhur, mereka berdiri dan mengucapkan hal itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata: “Adapun yang di tanganku dan Bani ‘Abdil Muththalib maka itu dikembalikan kepada kalian. Aku akan mintakan hak kalian kepada kaum muslimin.”

Mendengar perkataan beliau, kaum Muhajirin dan Anshar berkata: “Apa yang ada di tangan kami maka itu untuk Rasulullah n.”

Al-Aqra’ bin Habis berkata: “Adapun saya dan Bani Tamim, tidak akan menyerahkan tawanan kami.”

‘Uyainah bin Hishn juga menukas: “Apa yang di tangan saya dan Bani Fazarah tidak akan kami serahkan.”

Al-‘Abbas bin Mirdas juga berucap: “Yang di tanganku dan Bani Sulaim tidak akan kami serahkan.” Tetapi Bani Sulaim justru mengatakan: “Apa yang di tangan kami maka itu milik Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Mendengar ini, Al-‘Abbas bin Mirdas berkata kecewa: “Kalian mempermalukanku.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata: “Sesungguhnya mereka ini datang dalam keadaan muslim. Aku sudah menjauhkan tawanan mereka dan memberi mereka pilihan. Tapi mereka tidak akan menukar anak istri mereka dengan apapun. Maka siapa yang masih menahan tawanan dan senang hatinya serta mau mengembalikan, itu adalah haknya. Dan siapa yang mau menahan haknya hendaklah dia mengembalikannya juga kepada mereka dan akan diganti haknya itu setiap bagiannya dengan enam kali lipat dari fai’ yang pertama Allah anugerahkan kepada kami.”

Akhirnya kaum muslimin pun berkata: “Kami senang menyerahkannya kepada Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Kata beliau: “Kami tidak tahu siapa di antara kamu yang rela dan yang tidak. Kembalilah hingga cerdik pandai di kalangan kamu menyerahkan urusannya kepada kami.”

Akhirnya, mereka pun mengembalikan anak-anak dan istri-istri orang-orang Hawazin tersebut. Tidak ada yang tertinggal kecuali ‘Uyainah bin Hishn yang akhirnya menyerahkan juga seorang wanita tua yang jadi tawanannya. Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberi pakaian kepada setiap tawanan.

Setelah selesai membagi dan mengembalikan tawanan, Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju Ji’ranah dan bersiap ‘umrah lalu kembali pulang ke Madinah. Beliau tugaskan ‘Attab bin Usaid mengatur urusan kaum muslimin di Makkah.

Di bulan Dzul Qa’dah tahun ke-8 hijriah, rombongan kaum muslimin mulai bertolak kembali ke Madinah.

Utusan Tsaqif

Sebelum tiba di Madinah, salah seorang pemuka Tsaqif yaitu ‘Urwah bin Mas’ud datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah usai perang Thaif, di bulan Dzul Qa’dah. Dia masuk Islam lalu kembali kepada kaumnya untuk mengajak mereka masuk Islam. Karena kedudukannya sebagai pemuka yang ditaati di tengah-tengah kaumnya, ‘Urwah mengira mereka akan mengikuti pula jejaknya masuk Islam.

Tetapi, setelah dia mengajak mereka, ternyata mereka menembakinya dengan panah dari segala penjuru sampai akhirnya dia tewas.

Penduduk Tsaqif kembali seperti biasa selama beberapa bulan. Kemudian mereka bermusyawarah melihat kenyataan bahwa mereka tidak mungkin sanggup melawan kabilah ‘Arab di sekitar mereka yang sudah masuk Islam dan berbai’at. Akhirnya mereka ingin mengutus ‘Abd Ya Lail bin ‘Amr.

Tapi ‘Abd Ya Lail menolak. Dia khawatir kejadian yang menimpa ‘Urwah akan dialaminya juga, dia pun berkata: “Aku tidak mau kecuali kalian utus juga beberapa orang bersamaku.”

Mereka pun mengutus beberapa orang termasuk ‘Utsman bin Abil ‘Ash yang paling muda di antara mereka.

Ketika mereka menemui Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau sediakan kemah buat mereka di sudut masjid agar mereka mendengar Al-Qur’an dan melihat kaum muslimin mengerjakan shalat.

Akhirnya, mereka tinggal di sana silih berganti menemui Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam yang selalu mengajak mereka kepada Islam. Hingga suatu ketika, pemimpin rombongan itu meminta agar Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam membuat kesepakatan antara beliau dengan Tsaqif. Mereka minta agar beliau mengizinkan mereka berzina, minum khamr, memakan riba, dan membiarkan Al-Latta tetap jadi sesembahan mereka serta tidak mengerjakan shalat. Mereka juga minta agar berhala mereka tidak dihancurkan oleh tangan mereka sendiri.

Tapi, semua keinginan mereka itu ditolak oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Melihat ini, utusan Tsaqif kehabisan akal dan melihat tidak ada jalan lain kecuali mereka harus menerima dan tunduk kepada Islam. Akhirnya mereka masuk Islam dan minta kepada Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam agar menugaskan orang lain menghancurkan Al-Latta.

Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabulkan keinginan mereka dan mengangkat ‘Utsman bin Abil ‘Ash sebagai pemimpin mereka. Hal itu karena utusan tersebut setiap pagi datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan meninggalkan ‘Utsman. Apabila mereka kembali dan tidur siang, maka ‘Utsman datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam minta dibacakan Al-Qur’an dan bertanya tentang Islam. Kalau dia dapati Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang tidur, dia datang menemui Abu Bakr dengan maksud yang sama, belajar tentang Islam.

Di kemudian hari, ‘Utsman menjadi orang yang paling besar mendatangkan keberkahan kepada kaumnya terlebih di zaman riddah (murtadnya beberapa kabilah). Ketika penduduk Tsaqif juga ikut-ikutan ingin murtad, dia berkata kepada mereka: “Wahai penduduk Tsaqif. Kalian adalah orang yang paling akhir masuk Islam, maka janganlah kalian menjadi orang yang pertama murtad.” Akhirnya mereka pun menyadari, dan tetap di atas Islam. Semoga Allah l meridhainya.

Para utusan itu kembali tetapi menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. Mereka menakut-nakuti penduduk lain bahwa mereka akan diserang dan dibunuh. Mereka nampakkan kesedihan dan kepedihan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta mereka meninggalkan zina, khamr, riba dan sebagainya, kalau tidak dia akan memerangi mereka.

Hal itu mendorong bangkitnya sentimen jahiliah penduduk Tsaqif, maka mereka menolak hal itu. Mereka tenang selama dua atau tiga hari bersiap untuk perang. Kemudian Allah Subhanahuwata’ala masukkan ke dalam hati mereka rasa takut. Mereka pun menemui para utusan itu dan berkata: “Kembalilah kepadanya (Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam) dan berikan apa yang dimintanya.”

Saat itu juga para utusan itu memaparkan yang sebenarnya. Mereka menunjukkan kesepakatan yang telah ditetapkan antara Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mereka. Akhirnya, penduduk Tsaqif masuk Islam.

Allah Yang Maha pemurah, lagi Maha penyayang mengabulkan doa kekasih-Nya Muhammad   Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tak lama, Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim beberapa orang untuk menghancurkan Al-Latta. Beliau mengangkat Khalid bin Al-Walid sebagai pemimpin rombongan.

Sesampai di sana, Al-Mughirah bin Syu’bah memukulkan palu yang ditangannya, kemudian dia terjatuh. Ini membuat penduduk Thaif ribut, dan berkata: “Semoga Allah jauhkan Al-Mughirah, semoga dia dibunuh dewi itu (Al-Latta).”

Al-Mughirah melompat dan berkata: “Semoga Allah memburukkan kamu. Dia hanyalah benda hina, sebongkah batu dan bulu.”

Dia pun menghancurkan pintu dan naik ke tembok tempat pemujaan. Lalu naik pula beberapa orang dan meruntuhkan bangunan itu serta meratakannya dengan tanah sampai mencabut pondasinya. Mereka keluarkan kain dan perhiasan pemujaan itu. Sementara orang-orang Tsaqif terdiam, melihat pujaan mereka tidak berdaya apa-apa.

Setelah itu, rombongan Khalid kembali dan menyerahkan perhiasan tempat pemujaan itu dan dibagi-bagikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hari itu juga sambil memuji Allah Subhanahuwata’ala atas pertolongan-Nya kepada Nabi-Nya dan agama-Nya.

(Insya Allah bersambung)