Perang Khaibar III

Perang Khaibar III

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Makkah Menanti Berita

Ibnul Qayyim mengisahkan, dari Musa bin ‘Uqbah bahwa Quraisy mengadakan pertaruhan besar ketika mendengar keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Khaibar. Di antara mereka ada yang mengatakan: “Muhammad  dan para sahabatnya akan menang.” Ada pula yang mengatakan: “Dua sekutu dan Yahudi Khaibar akan menang.”

Waktu itu, Hajjaj bin ‘Ilath As-Sulami sudah masuk Islam dan ikut dalam penaklukan Khaibar. Isterinya adalah Ummu Syaibah, saudari Bani ‘Abdid Dar bin Qushay. Hajjaj adalah seorang hartawan besar. Dia mempunyai simpanan kekayaan di tanah Bani Sulaim. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan Khaibar, Hajjaj mengatakan: “Sesungguhnya saya mempunyai emas pada isteriku. Kalau dia dan keluarganya tahu keislamanku, niscaya habis hartaku. Maka izinkanlah aku (mengambilnya). Saya akan mempercepat perjalanan mendahului berita ini. Dan pasti saya kabarkan sesuatu bila aku tiba, untuk menyelamatkan harta dan jiwaku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya. Setibanya di Makkah, dia berkata kepada isterinya: “Sembunyikan saya dan kumpulkan semua hartaku. Karena saya ingin membeli ghanimah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Mereka telah dikalahkan, harta mereka telah dirampas. Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditawan, dan para sahabatnya telah meninggalkan dia. Orang-orang Yahudi bersumpah akan membawa dia ke Makkah kemudian membunuhnya sebagai balasan atas pembunuhan yang dilakukannya di Madinah.”

Akhirnya berita itu tersebar di seantero Makkah. Mendengar berita ini, kaum muslimin semakin tertekan dan berduka cita. Sementara musyrikin menampakkan sukacita dan kebahagiaan mereka.

Sampailah berita ini kepada ‘Abbas paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diapun ingin berdiri dan keluar, tapi punggungnya terasa lemah, tidak mampu berdiri. Dia memanggil puteranya Qutsam, yang mirip dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah dia bersenandung dengan suara keras agar tidak dilecehkan oleh musuh-musuh Allah:

Buah hatiku Qutsam, buah hatiku Qutsam 

            Mirip si pemilik hidung tinggi (mancung)

Nabi Rabbku Pemilik kenikmatan

            Meski tidak disenangi mereka yang tak senang

Lalu berkumpullah beberapa orang di depan rumahnya, baik yang muslim maupun musyrik. Ada yang menampakkan kegembiraan, mengejek dan ada yang seperti mati karena kesedihan dan petaka.

Ketika kaum muslimin mendengar senandung ‘Abbas dan ketabahannya, tenanglah jiwa mereka. Sedangkan musyrikin mengira ada berita lain yang sampai kepadanya. Kemudian ‘Abbas mengutus pelayannya kepada Hajjaj, dan berkata: “Temui dia, dan katakan kepadanya: ‘Celaka kamu, berita apa yang kau bawa, dan apa yang kau ucapkan ini. Yang Allah janjikan itu lebih baik dari beritamu ini’.”

Setelah bujang itu bicara dengannya, Hajjaj berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Abul Fadhl, dan katakan kepadanya: ‘Hendaknya dia temui aku di sebagian rumahnya hingga aku mendatanginya. Karena ada berita yang menyenangkannya’.”

Begitu tiba di pintu rumah, bujang itu berkata: “Gembiralah, wahai Abul Fadhl.” Seketika ‘Abbas melompat gembira seolah-olah dia belum pernah terkena musibah sama sekali, lalu dia mencium kening bujangnya. Lalu bujang itu menyampaikan perkataan Hajjaj. Mendengar ini, ‘Abbas langsung membebaskan bujang itu, lalu berkata: “Ceritakan apa katanya.”

Bujang itu berkata: “Hajjaj mengatakan: ‘Temui dia di sebagian rumahmu sampai dia datang siang nanti’.”

Setelah Hajjaj datang dan berduaan dengannya, dia minta agar beritanya dirahasiakan untuk sementara. ‘Abbas setuju. Lalu kata Hajjaj: “Aku datang setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menaklukkan Khaibar, merampas harta benda mereka dan berlaku pada mereka pembagian Allah. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memilih Shafiyyah bintu Huyai untuk pribadi beliau dan menikahinya. Tapi aku kemari untuk mengambil hartaku. Aku ingin mengumpulkan dan membawanya pergi. Dan aku sudah minta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan apa yang telah aku sebarkan, lalu beliau izinkan. Maka rahasiakan selama tiga hari, kemudian sebarkanlah apa yang kau mau.”

Isteri Hajjaj selesai mengumpulkan harta bendanya kemudian dia bersiap untuk kembali ke Madinah. Setelah lewat tiga hari, ‘Abbas menemui isteri Hajjaj dan berkata: “Apa yang dilakukan suamimu?”

Wanita itu berkata: “Sudah pergi.” Dia melanjutkan: “Semoga Allah tidak membuatmu berduka cita, wahai Abul Fadhl. Sungguh menyusahkan kami juga apa yang menimpamu.”

‘Abbas segera menimpali: “Betul. Allah tidak akan membuatku berduka. Dan tidak terjadi –segala puji bagi Allah– kecuali apa yang aku sukai. Allah telah memberi kemenangan kepada Rasul-Nya terhadap Khaibar. Dan telah terjadi pembagian Allah atas mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih Shafiyyah untuk dirinya. Kalau engkau ada keperluan dengan suamimu, susullah dia.”

Wanita itu menukas: “Saya kira, demi Allah, anda jujur.”

Kata ‘Abbas: “Demi Allah, aku jujur. Kenyataannya sebagaimana yang aku utarakan.”

Dia bertanya lagi: “Siapa yang menyampaikan berita ini kepadamu?”

“Yang menyampaikan kepadamu apa yang aku sampaikan kepadamu.”

Kemudian ‘Abbas pergi dan mendatangi majelis pemuka Quraisy. Begitu mereka melihat ‘Abbas, mereka berkata: “Demi Allah, ini betul-betul ketabahan, wahai Abul Fadhl. Tidaklah menimpamu melainkan kebaikan.”

Kata ‘Abbas: “Betul, segala puji bagi Allah. Tidak ada yang menimpaku kecuali kebaikan. Hajjaj telah menceritakan kepadaku demikian, demikian. Dia minta aku menyembunyikan berita ini selama tiga hari karena satu keperluan.”

Akhirnya Allah kembalikan kesedihan dan kesusahan yang dialami kaum muslimin kepada orang musyrikin. Lalu keluarlah kaum muslimin dari rumah-rumah mereka menemui ‘Abbas. Setelah mereka mendengar berita ‘Abbas, wajah merekapun berseri-seri.[1]

Membagi Rampasan Khaibar

Setelah usai peperangan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi Khaibar menjadi 36 saham masing-masing terdiri dari 100 saham sehingga semuanya berjumlah 3600 saham. Untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin separuhnya. Adapun separuhnya untuk semua kepentingan kaum muslimin.

Kata Al-Baihaqi: “Hal ini karena Khaibar dibebaskan tidak seluruhnya dengan kekerasan. Ada sebagiannya yang diperoleh dengan perdamaian.”

Tetapi Ibnul Qayyim merajihkan bahwa Khaibar seluruhnya dibebaskan dengan kekerasan. Seandainya ada sebagian yang diperoleh dengan perdamaian, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengusir orang-orang Yahudi itu dari Khaibar. Tatkala beliau bertekad mengusir mereka, orang-orang Yahudi itu berkata: “Kami lebih tahu tentang tanah Khaibar daripada kalian. Biarkan kami mengelolanya, separuh hasilnya untuk kalian.”

Ini merupakan bukti kuat bahwa Khaibar ditaklukkan dengan kekerasan.

Kedatangan Ja’far dari Habasyah 

Dalam peristiwa ini, datanglah putera paman beliau Ja’far bin Abi Thalib dan teman-temannya disertai orang-orang Asy’ariyyin; Abu Musa dan teman-temannya.

Abu Musa menceritakan:

Sampailah kepada kami berita keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika kami masih di Yaman. Kamipun berangkat hijrah kepada beliau –saya dengan dua orang saudara– bersama 50 orang lebih dari kabilahku naik kapal. Tapi kami terdampar di kerajaan Najasyi, dan ternyata kami bertemu dengan Ja’far beserta teman-temannya. Dia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami dan memerintahkan kami menetap di sini, maka tinggallah bersama kami.”

Maka kamipun tinggal di sana hingga datang berita takluknya Khaibar. Ketika Khaibar jatuh, kamipun tiba di Madinah. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam  memberi kami saham dan beliau tidak membagi saham kepada siapapun yang tidak ikut serta dalam perang Khaibar ini, selain kepada para penumpang kapal bersama Ja’far dan teman-temannya.

Begitu melihat Ja’far dan rombongannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut dan mencium keningnya seraya berkata:

وَاللهِ مَا أَدْرِي بِأَيّهِمَا أَفْرَحُ بِفَتْحِ خَيْبَرَ أَمْ بِقُدُومِ جَعْفَرٍ؟

“Demi Allah, aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakanku, jatuhnya Khaibar ataukah datangnya Ja’far?”[2]

 Dalam peristiwa ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi hadiah daging panggang oleh seorang wanita Yahudi. Wanita itu adalah isteri Salam bin Misykam. Ketika beliau n mencicipinya, daging itu bercerita kepada beliau bahwa dia dibubuhi racun. Maka beliau segera memuntahkannya.

Selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada sahabat yang ikut makan daging tersebut, yaitu Bisyr bin Al-Bara` bin Ma’rur. Beliau gugur setelah memakan daging itu, sedangkan wanita itu kemudian dihukum mati. Demikian diterangkan Ibnu Qayyim t.

Faedah yang Diambil dari Peristiwa Khaibar

Beberapa faedah atau hikmah yang dapat dipetik dari penaklukan Khaibar ini, di antaranya:

1. Pembagian ghanimah, untuk pasukan berkuda tiga bagian, sedangkan pejalan kaki satu bagian.

2. Bila seorang prajurit menemukan makanan, dia boleh memakannya dan tidak masuk dalam khumus (1/5 harta yang harus dibagi).

3. Diharamkannya daging keledai jinak, dan sahih diriwayatkan bahwa alasan pengharamannya karena rijs (najis).

4. Boleh melakukan musaqah (memelihara tanaman orang lain dengan upah sebagian dari hasil buahnya –ed) dan muzara’ah (mengolah tanah orang lain dengan upah sebagian hasilnya), sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan Yahudi Khaibar mengolah tanah tersebut.

5. Bolehnya melakukan akad perdamaian dengan syarat.

6. Ahli dzimmah (yang menerima jaminan), bila melanggar syarat yang ditetapkan, maka tidak ada lagi jaminan buat mereka.

Wallahu a’lam.


[1] HR. Ahmad (3/138), sanadnya sahih. Demikian menurut pentahqiq Zadul Ma’ad (3/339).

[2] HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir (7, 8), dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani.

sumber www.asysyariah.com