Syaikh MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB AN-NAJDI BUKANLAH KHAWARIJ (bag.2)

Syaikh MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB AN-NAJDI BUKANLAH KHAWARIJ (bag.2)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Di Tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Berbeda dengan Khawarij dalam Masalah ‘Takfir’
Takfir adalah pengkafiran suatu pihak. Salah satu perbedaan utama antara Ahlussunnah dengan Khawarij adalah : Khawarij tidak membedakan antara takfir al-fi’l (kekufuran sebuah perbuatan) dengan takfir al-‘faa-‘il/ takfir al-muayyan (kekafiran orang tertentu).

Ahlussunnah membedakan antara keduanya. Bisa jadi sebuah perbuatan atau ucapan adalah kekufuran, namun kita tidak bisa memvonis orang yang melakukan perbuatan atau ucapan kekufuran itu secara otomatis adalah sebagai orang yang kafir sebagai hukum pada individu tersebut. Harus dilihat parameter lain. Bisa saja seseorang itu memiliki udzur-udzur syar’i yang menyebabkan ia tidak dikafirkan atau tidak dikatakan sebagai musyrik, karena ia tidak tahu, atau karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa, atau karena keliru dalam menta’wil (bukan karena sengaja terang-terangan menentang dalil). Kalau masih ada udzur-udzur syar’i semacam itu, ia tidak bisa dikatakan sebagai orang kafir meski mengucapkan ucapan kekafiran atau melakukan perbuatan kekafiran. Namun, seseorang yang secara jelas mengucapkan atau melakukan kekufuran berdasarkan dalil al-Quran dan hadits Nabi yang shahih, tanpa ada udzur-udzur itu: ia sangat tahu bukan tidak tahu, melakukannya secara sadar, ingat, dan tidak dipaksa, tegas menolak hujjah bukan menta’wil, maka orang yang demikian adalah kafir.

Takfir muayyan (menyematkan predikat kekafiran kepada orang tertentu) tidaklah boleh dilakukan kecuali jika telah terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang sama sekali (tidak ada udzur).

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab mengikuti prinsip Ahlussunnah dalam hal ini. Beliau tidak mengkafirkan secara keseluruhan tanpa pandang bulu, seperti banyak tuduhan yang dialamatkan kepada beliau. Beliau tidak sama dengan Khawarij yang menyelisihi Ahlussunnah dalam prinsip ini.

Berikut ini adalah beberapa kutipan pernyataan dari beliau yang memperjelas hal itu:

إذا قال قولاً يكون القول به كفراً، فيقال من قال بهذا القول فهو كافر، ولكن الشخص المعين إذا قال ذلك، لا يحكم بكفره حتى تقوم عليه الحجة

Jika seseorang mengucapkan suatu ucapan yang itu adalah ucapan kekufuran, dan dikatakan bahwa barangsiapa yang mengucapkan ucapan itu adalah kafir, akan tetapi bagi orang tertentu jika mengucapkan hal itu, ia tidak dihukumi sebagai kafir hingga tegak hujjah baginya (ad-Durar as-Saniyyah (8/244))

وأما القول إنا نكفر بالعموم فذلك من بهتان الأعداء الذين يصدون به عن هذا الدين ونقول سبحانك هذا بهتان عظيم

Sedangkan ucapan yang menyatakan bahwa kami mengkafirkan secara umum, maka itu adalah tuduhan kedustaan dari para musuh yang mencegah (manusia) dari Dien ini dan kami katakan: Maha Suci Engkau (Ya Allah), ini adalah tuduhan dusta yang besar !! (ar-Rosaail asy-Syakhshiyyah (15/101)).

وإذا كنا لا نكفر من عبد الصنم الذي على قبر عبد القادر، والصنم الذي على قبر أحمد البدوي، وأمثالهما، لأجل جهلهم، وعدم من ينبههم، فكيف نكفر من لم يشرك بالله (فتاوى ومسائل ص 11)

Jika kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah berhala yang berada di atas kuburan Abdul Qodir, dan berhala yang di atas kuburan Ahmad Badawi, dan semisal keduanya, karena mereka tidak tahu, dan tidak ada orang yang memberitahu/ memperingatkan kepada mereka, maka bagaimana (mungkin) kami mengkafirkan orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah ?! (Fataawa wa Masaa-il halaman 11, dan adhDhiyaa’ asy-Syaariq karya Ibnu Sahmaan 372)

وأما التكفير فأنا أكفر من عرف دين الرسول ثم بعد ما عرفه سبه ونهى الناس عنه وعادى من فعله فهذا هو الذي أكفره وأكثر الأمة ولله الحمد ليسوا كذلك.

Adapun dalam hal takfir, saya mengkafirkan orang yang mengenal agama Rasul, kemudian setelah ia ketahui ia mencelanya dan melarang manusia darinya, ia memusuhi orang yang mengerjakan (agama Rasul) itu. Maka inilah yang saya kafirkan. Dan kebanyakan umat Alhamdulillah tidaklah demikian (arRosaail asy-Syakhshiyyah hal 39)

إذا تبين هذا فالمسائل التي شنع بها منها : ما هو من البهتان الظاهر وهي قوله : إني مبطل كتب المذاهب، وقوله : إني أقول إن الناس من ستمائة سنة ليسوا على شيء وقوله إني أدعى الاجتهاد، وقوله : إني خارج عن التقليد، وقوله إني أقول : إن اختلاف العلماء نقمة، وقوله إني أكفر من توسل بالصالحين، وقوله : إني أكفر البوصيري لقوله يا أكرم الخلق، وقوله إني أقول لو أقدر على هدم حجرة الرسول لهدمتها ولو أقدر على الكعبة لأخذت ميزابها وجعلت لها ميزاباً من خشب، وقوله إني أنكر زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم، وقوله إني أنكر زيارة قبر الوالدين وغيرهم وإني أكفر من يحلف بغير الله فهذه اثنتا عشرة مسألة جوابي فيها أن أقول : ((سبحانك هذا بهتان عظيم ))

Jika telah nampak jelas hal ini, maka permasalahan-permasalahan yang (digambarkan) buruk (terhadap saya), di antaranya yang merupakan tuduhan kedustaan yang jelas adalah ucapan yang menyatakan: bahwa saya menyatakan bahwa kitab-kitab madzhab adalah batil, dan ucapan yang menyatakan bahwa manusia sejak 600 tahun tidaklah berarti apa-apa, dan perkataan bahwa saya mengaku (layak) berijtihad, dan ucapan bahwa saya keluar dari taqlid, dan ucapan bahwa saya menyatakan kalau perbedaan pendapat Ulama adalah bencana, dan ucapan yang menyatakan bahwa saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang sholih, dan ucapan yang menyatakan bahwa saya telah mengkafirkan al-Bushiriy karena ucapannya: Wahai makhluk yang paling mulya, dan ucapan yang menyatakan bahwa kalau seandainya saya mampu menghancurkan kamar Rasul, niscaya saya akan menghancurkannya, dan ucapan yang menyatakan bahwa kalau saya mampu niscaya saya akan ganti saluran air Ka’bah dengan kayu, dan ucapan yang menyatakan bahwa saya mengingkari perbuatan ziarah ke kuburan Nabi shollallahu alaihi wasallam, dan ucapan yang menyatakan bahwa saya mengingkari ziarah ke kuburan kedua orangtua dan selain mereka, dan (ucapan yang menyatakan) bahwa sesungguhnya saya mengkafirkan orang yang bersumpah atas selain Allah, maka ini 12 permasalahan, yang saya jawab dengan ucapan: Maha Suci Engkau (Ya Allah), ini adalah tuduhan kedustaan yang besar (mengisyaratkan pada surat anNuur ayat 16)(ar-Rosaail asy-Syakhshiyyah (1/33)).

Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab adalah Mengajak untuk Ittiba’ (Mengikuti) Rasul, Bukan Fanatik pada Individu Lain

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah mempertegas arah dakwah beliau, yang tidak lain adalah dakwah Rasul shollallahu alaihi wasallam, dakwah Ahlussunnah wal Jamaah:

ولست ولله الحمد أدعو إلى مذهب صوفي أو فقيه أو متكلم أو إمام من الأئمة الذين أعظمهم مثل ابن القيم والذهبي وابن كثير وغيرهم، بل أدعو إلى الله وحده لا شريك له وأدعو إلى سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم التي أوصى بها أول أمته وآخرهم وأرجو أني لا أرد الحق إذا أتاني، بل أشهد الله وملائكته وجميع خلقه إن أتانا منكم كلمة من الحق لأقبلنها على الرأس والعين، ولأضربن الجدار بكل ما خالفها من أقوال أئمتي حاشا رسول الله صلى الله عليه وسلم فإنه لا يقول إلا الحق

Saya Alhamdulillah tidaklah mengajak pada madzhab Sufi, atau (madzhab) seorang faqih, atau Ahli filsafat, atau salah seorang Imam yang saya mulyakan, seperti Ibnul Qoyyim, adz-Dzahabiy, Ibnu Katsir, dan selain mereka. Tapi saya berdakwah kepada Allah semata tidak ada sekutu bagiNya dan saya berdakwah (mengajak) kepada Sunnah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam yang Nabi telah mewasiatkan dengannya kepada seluruh umat beliau baik yang pertama maupun terakhir. Dan saya berharap saya tidak akan menolak al-haq jika datang kepada saya. Bahkan saya menjadikan Allah, Malaikat, dan seluruh makhluk saksi bahwa jika datang kepada kami (hujjah) dari kalian berupa kalimat al-haq sungguh saya akan menerimanya dengan sukarela, dan saya akan lemparkan ke dinding ucapan para Imam saya yang menyelisihinya, selain Rasulullah shollallahu alaihi wasallam karena beliau tidaklah berkata kecuali al-haq (kebenaran)(Muallafaat Ibn Abdil Wahab (1/252)).

إني ولله الحمد متبع ولست بمبتدع عقيدتي وديني الذي أدين به : مذهب أهل السنة والجماعة الذي عليه أئمة المسلمين مثل الأئمة الأربعة وأتباعهم إلى يوم القيامة

Sesungguhnya aku Alhamdulillah adalah orang yang ittiba’ (mengikuti Nabi) bukan yang membuat kebid’ahan. Akidah dan Dienku yang dengannya aku berpegangteguh (dan mengamalkan) adalah madzhab Ahlussunnah wal Jamaah yang dijalani oleh para Imam kaum muslimin seperti Imam 4 (madzhab fiqh,pent) dan pengikut mereka hingga hari kiamat (arRosaail asy-Syakhshiyyah hal 149)

Bukti yang sangat jelas bahwa para Ulama Ahlussunnah sepeninggal beliau (yang disebut sebagai ‘Wahabi’ oleh pihak yang memusuhinya) tidak taklid buta kepada beliau adalah: jika para Ulama itu mensyarah (memberi penjelasan) terhadap kandungan Kitab-Kitab karya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, kemudian didapati adanya hadits yang lemah yang beliau sebutkan, maka akan dijelaskan bahwa hadits itu lemah menurut pendapat Ulama lain yang lebih diyakini kebenarannya, karena hujjahnya lebih kuat. Tidak karena yang menulis adalah seorang Imam, kemudian dia diyakini tidak akan pernah salah. Tidak demikian. Para Ulama Ahlussunnah konsisten dalam meluruskan dakwah itu ittiba’ kepada Rasul, bahwa Rasul satu-satunyalah yang mutlak diikuti, sedangkan yang lain bisa diambil jika sesuai Rasul, dan ditolak jika bertentangan dengan bimbingan Rasul.

Penutup

Nampak jelas dari paparan di atas bahwa dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab bukanlah dakwah Khawarij. Bahkan dakwah beliau adalah dakwah Ahlussunnah. Jika pembaca mengkaji dengan seksama karya-karya beliau dengan bimbingan Ulama Ahlussunnah sepeninggal beliau, maka akan semakin jelas dan terang kebenaran hal itu. Begitu banyak karya beliau yang sarat dengan manfaat bagi kaum muslimin, seperti Kitabut Tauhid, Tsalaatsatul Ushuul, Ushulus Sittah, Tafsir Surat al-Fatihah, al-Ikhlash, dan al-Muawwidzatain, juga pembahasan-pembahasan fiqh seperti Aadabul masyiyyi ilas sholaah, Kitaabuz Zakaah, Kitaabus Shiyaam, atau pembahasan tentang dosa-dosa besar seperti kitab beliau al-Kabaair.

Namun, jika seseorang mengkajinya sendiri tidak dengan bimbingan Ulama Ahlussunnah, atau dia mengkaji dari pihak yang memusuhi dakwah Tauhid, dengan menukil sepotong-sepotong kalimat Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab, apalagi diterjemahkan secara salah, dengan niat ingin memperburuk gambaran beliau di hadapan umat, atau menafsirkan ucapan beliau tidak pada tempatnya, maka bukanlah faidah ilmiyyah yang akan didapatkannya. Semoga Allah memberikan hidayah kepadanya.

Kebanyakan tuduhan bahwa beliau suka mengkafirkan dan berpemahaman Khawarij terjadi karena nukilan ucapan beliau tentang takfir al-‘amal dipahami dan ditafsirkan sebagai takfir muayyan. Hal ini sama dengan jika seseorang menukil pendapat al-Imam Ahmad yang menyatakan:

مَنْ قَالَ : الْقُرْآنُ مَخْلُوْقٌ فَهُوَ كَافِرٌ

Barangsiapa yang berkata bahwa al-Quran adalah makhluk, maka dia kafir (diriwayatkan al-Aajurriy dalam asy-Syarii’ah no 171)).

Itu adalah takfir al-fi’il/ al-‘amal. Sebagai suatu kaidah bahwa barangsiapa yang mengucapkan al-Quran adalah makhluk maka ia telah mengucapkan ucapan kekafiran.
Ucapan tersebut adalah ucapan kekafiran. Lalu, apakah predikat kafir otomatis disematkan kepada setiap orang yang mengucapkannya? Tidak selalu. Harus dilihat apakah orang itu memiliki udzur atau tidak. Dan pembedaan ini diterapkan oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal.

Imam Ahmad tidak mengkafirkan Khalifah al-Makmun yang secara tegas menyuruh untuk menanamkan akidah bahwa alQuran adalah makhluk dan menyiksa para Ulama’ lain yang menolak hal itu. Jelas hal itu adalah akidah kekafiran, namun tiga Khalifah yaitu al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq tidak dikafirkan oleh para Ulama’ pada waktu itu karena mereka memiliki syubhat dan pentakwilan yang menyimpang karena berteman dekat dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah. Mereka adalah orang-orang yang sekedar ikut-ikutan, belum sepenuhnya memahami hakikat permasalahan (Lihat penjelasan Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalu Syaikh dalam Ithaafus Saa-il bimaa fit thohaawiyyah minal masaa-il (26/13)).

Maka jika didapati ucapan-ucapan pengkafiran dalam karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, ketahuilah bahwa itu adalah takfir al-‘amal, sebagai suatu kaidah bahwa yang melakukannya atau mengerjakannya berarti ia telah melakukan atau mengucapkan kekufuran atau kesyirikan, bukan berarti individunya divonis kafir/ musyrik tanpa melihat syarat dan udzur mereka. Jika seseorang membaca karya beliau dan mengambil kesimpulan bahwa beliau berpemahaman takfiri (suka mengkafirkan orang Islam), maka ia telah salah fatal dalam mengambil kesimpulan.

Demikian penjelasan ini, semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq, dan pertolonganNya kepada segenap kaum muslimin…