Penjelasan Syarhussunnah Lil Muzani BAG KE-4.c

Penjelasan Syarhussunnah Lil Muzani BAG KE-4.c

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ditulis Oleh Al Ustadz  Abu Utsman Kharisman

Apakah Allah Menghendaki Terjadinya Keburukan?

Jika ada pertanyaan: Apakah Allah menghendaki terjadinya keburukan? Apakah Allah menghendaki terjadinya kekufuran, malapetaka, kemaksiatan, kesesatan dan keburukan lainnya?

Jawabannya adalah: Ya, Allah kehendaki secara kauniyyah/ qodariyyah, namun tidak dikehendakiNya secara syar’iyyah.

Kehendak Allah, yang dalam bahasa Arab disebut iroodah, terbagi menjadi 2 yaitu iroodah kauniyyah dan iroodah syar’iyyah.

Iroodah kauniyyah adalah kehendak Allah yang pasti terjadi. Pasti terjadi, berlaku secara umum baik pada hal-hal yang diridhai dan dicintai oleh Allah maupun pada hal-hal yang dibenci dan dimurkai oleh Allah. Tidak ada satupun kejadian yang terjadi di seluruh alam semesta ini yang di luar kehendak Allah kauniyyah. Iroodah kauniyyah ini disebut juga dengan al-Masyii’ah. Dalam al-Qur’an, penyebutan al-Masyii-‘ah hanya untuk yang kauniyyah. Tidak ada penyebutan al-Masyii’ah yang sifatnya syar’iyyah.

Iroodah syar’iyyah adalah kehendak Allah terkait hal-hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Allah menghendaki secara syar’i agar semua manusia dan jin taat kepadaNya. Allah menghendaki secara syar’i agar seluruh kesyirikan dan kemaksiatan dijauhi. Karena itu Allah turunkan KitabNya dan utus RasulNya untuk menjelaskan kepada hambaNya hal-hal yang diperintahkan dan hal-hal yang dilarangNya. Apa yang diperintahkan Allah adalah hal-hal yang dicintai dan diridhaiNya, sedangkan apa yang dilarang adalah hal-hal yang dibenci dan tidak disukaiNya.

Allah kehendaki secara syar’i agar seluruh makhluk taat kepadaNya, namun dengan kehendak kauniyyah-Nya, Dia kehendaki terjadinya kekufuran, kemaksiatan, dan segala keburukan karena mengandung hikmah yang besar sesuai Ilmu Allah. (Penjelasan tentang kehendak Allah yang kauniyyah dan syar’iyyah juga bisa disimak dalam Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat anNahl ayat 35-36, hanya saja Ibnu Katsir menggunakan istilah masyi’ah bukan iroodah).

Segala Sesuatu Telah Ditakdirkan, Termasuk Akibat dan Penyebabnya

Segala sesuatu telah ditakdirkan, termasuk hal-hal yang menyebabkannya. Sebagai contoh, seseorang menghadapi sesuatu yang menakutkan kemudian dia berdoa kepada Allah, selanjutnya Allah selamatkan dia. Bahwa Allah akan selamatkan dia dengan sebab doa di waktu tertentu, di tempat tertentu, dalam keadaan tertentu, kemudian akibatnya adalah Allah selamatkan dia, semuanya itu telah ditakdirkan.

Contoh lain, ada seseorang yang akan safar bingung untuk memilih penerbangan pagi atau malam hari. Kemudian dia meminta pertimbangan temannya yang menganjurkan penerbangan malam. Ia pun mengambil pilihan penerbangan malam atas rekomendasi temannya, karena penerbangan malam maskapainya lebih bagus dan teruji dengan baik sedangkan yang pagi hari tidak demikian. Ternyata, beberapa waktu kemudian diketahui bahwa semua penumpang yang ikut penerbangan pagi itu meninggal karena kecelakaan pesawat. Pesawat yang dioperasikan pada penerbangan pagi sebenarnya tidak layak untuk terbang.

Semua itu sudah tertulis dalam takdir secara rinci dan tidak akan meleset sedikitpun. Bahwa ia awalnya akan bingung, kemudian meminta pertimbangan temannya, kemudian temannya memberi rekomendasi, dan ia memilih sesuai saran temannya, dan kemudian ia selamat,  semuanya tertulis dalam takdir.

وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ (52) وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ (53)

Segala sesuatu yang mereka kerjakan (telah ada) dalam catatan. Segala sesuatu baik kecil maupun besar telah tertulis (takdirnya pada Lauhul Mahfudzh)(Q.S al-Qomar:52-53).

Sahabat Nabi Umar bin al-Khotthob bersama para Sahabat Nabi yang lain pernah akan masuk ke negeri Syam yang terkena wabah penyakit Tha’un. Umar kemudian bermusyawarah dengan para Sahabat yang lain, ada yang menganjurkan terus masuk, ada yang menganjurkan kembali ke Madinah. Umar kemudian memutuskan untuk kembali ke Madinah. Sebagian orang ada yang menyatakan: Apakah engkau akan lari dari takdir Allah, wahai Amirul Mukminin?

Umar menjawab dengan jawaban yang sangat baik dan menunjukkan pemahaman yang benar tentang takdir:

نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ

Ya, kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah (H.R Muslim no 4114).

Kemudian Umar berkata:

أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَتْ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ إِحْدَاهُمَا خَصْبَةٌ وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ

Bagaimana pendapatmu jika engkau memiliki unta yang turun ke lembah memiliki 2 sisi. Yang satu subur dan yang satu tandus. Bukankah jika engkau menggembalakan di tempat subur, engkau gembalakan untamu berdasarkan taqdir Allah. Dan jika engkau gembalakan di tempat tandus, engkau gembalakan dengan taqdir Allah? (H.R Muslim no 4144).

Dalam suatu hadits dinyatakan:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ أَدْوِيَةً نَتَدَاوَى بِهَا وَرُقًى نَسْتَرْقِي بِهَا وَتُقًى نَتَّقِيهَا هَلْ تَرُدُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ شَيْئًا قَالَ هِيَ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ditanya: Bagaimana pendapat anda tentang pengobatan (terhadap) penyakit yang kita upayakan, atau ruqyah yang kita lakukan, atau tameng yang kita gunakan untuk melindungi diri. Apakah hal itu bisa menolak takdir Allah? Rasul bersabda: Itu (semua) adalah termasuk takdir Allah (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Iraqy dalam Thorhut tastriib (4/228), dihasankan Syaikh al-Albany dalam takhrij musykilatil faqr no 11).

Hal itu menunjukkan bahwa hasil dan penyebabnya telah ditakdirkan oleh Allah. Kita tidak tahu apa yang ditakdirkan Allah sebelum terjadi. Karena itu, berusaha keras dengan memohon pertolongan Allah, itulah yang harus dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi dan para Sahabatnya. Ketika sudah terjadi, jika tercapai keberhasilan atau keburukan, jangan merasa berbangga diri dengan melupakan Allah, ingatlah bahwa itu karena pertolongan Allah. Jika terjadi kegagalan atau keburukan, jangan larut dalam keputusasaan. Ingatlah bahwa itu telah ditakdirkan olehNya

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri (Q.S al-Hadiid:22-23).

Tidak Ada Daya dan Kekuatan Kecuali Atas Pertolongan Allah

 

Al-Muzani kemudian menyatakan: Mereka (para makhluk) tidak mempunyai kekuasaan untuk mendapat manfaat dalam berbuat ketaatan. Mereka juga tidak mampu untuk menolak hal-hal yang bisa memalingkan mereka pada kemaksiatan.

Semua yang ditakdirkan pasti akan terjadi. Namun, sebelum sesuatu terjadi, manusia harus berupaya dengan memohon pertolongan kepada Allah. Manusia memiliki kehendak. Namun kehendaknya di bawah kehendak Allah.

Jika seseorang tergelincir dalam perbuatan dosa, hendaknya ia bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya taubat, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi, kemudian jangan larut dalam perasaan bersalah yang akan menggiringnya pada sikap putus asa dari rahmat Allah. Yakinlah bahwa itu telah ditakdirkan, kita tidak bisa menghindar.

Suatu saat, Allah dengan KekuasaanNya mempertemukan Nabi Adam dengan Nabi Musa. Nabi Musa berkata: Wahai Adam, engkau adalah ayah kami, dan (dengan sebab perbuatanmu) engkau keluarkan kami dari surga. Nabi Adam kemudian menjawab: Wahai Musa, engkau adalah orang yang terpilih sehingga berbicara (langsung) dengan Allah, dan Allah tuliskan (Taurat) untukmu dengan TanganNya. Kemudian Adam menyatakan:

أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً

Apakah engkau akan mencela aku atas perkara yang telah Allah takdirkan untukku sebelum 40 tahun Dia menciptakan aku?

Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam yang mengisahkan hal itu kemudian menyatakan bahwa Adam benar dalam hujjahnya dan mengalahkan Musa. Kisah tersebut beliau sampaikan dalam hadits yang diriwayatkan oleh alBukhari no 6124 dan Muslim no 4793.

Adam benar karena beliau telah menyesali perbuatannya, beliau benar-benar bertaubat hingga kemudian berdoa dalam doa yang diabadikan di alQur’an:

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Wahai Tuhan kami, kami telah mendzhalimi diri kami. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi (Q.S al-A’raaf:23).

Setelah itu, beliau meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan Allah tidak akan bisa luput darinya sedikitpun. Sikap Nabi Adam tersebut adalah benar dan bisa menjadi contoh bagi orang yang beriman setelahnya.