PENJELASAN SYARHUS SUNNAH LIL MUZANI (BAG 17 .c)

PENJELASAN SYARHUS SUNNAH LIL MUZANI (BAG 17 .c)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Tidak Gegabah dalam Mengkafirkan Penguasa Muslim

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk bersikap mendengar dan taat serta tidak mencabut ketaatan secara mutlak kepada pemimpinnya, selama pemimpinnya masih muslim, masih menegakkan sholat. Hal itu diperkecualikan jika sang pemimpin telah kafir dengan kekafiran yang nyata. Dalam hadits Ubadah bin as-Shomit dinyatakan:

بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam membaiat kami untuk bersikap mendengar dan taat dalam keadaan kami semangat ataupun terpaksa, dalam keadaan kami sulit atau mudah, dan terhadap penguasa yang mementingkan diri/ kelompoknya. Kami dilarang untuk mencabut ketaatan pada mereka. Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata dan engkau memiliki hujjah di hadapan Allah nantinya (H.R al-Bukhari no 6532 dan Muslim no 3427).

Telah dibahas dalam pembahasan tentang hakikat keimanan, bahwa Ahlussunnah tidaklah gegabah dalam mengkafirkan seseorang yang asalnya adalah muslim.  Untuk seorang yang biasa saja Ahlussunnah sangat berhati-hati, apalagi terhadap seorang pemimpin yang imbasnya akan berakibat luas bagi rakyat yang dipimpinnya.

Ahlussunnah adil dalam bersikap. Tidak bermudah-mudahan, hingga mengkafirkan orang yang belum sampai pada taraf kafir. Tidak juga terlalu meremehkan, hingga menganggap orang yang sudah sampai pada taraf kafir dianggap belum kafir.

Tidak setiap perbuatan dan ucapan kekafiran secara otomatis menyebabkan pelakunya kafir. Harus terpenuhi syarat-syarat dan telah hilang penghalang-penghalang kekafiran,  sebagaimana telah dijelaskan pada bab tentang ‘Hakikat Keimanan’.

Salah satu hal yang menyebabkan seseorang tidak bisa langsung dikafirkan adalah apabila ia terlingkupi oleh syubhat dan belum tegak hujjah pada dia. Ia tidak secara tegas menolak sesuatu yang telah digariskan dalam alQuran maupun hadits yang shahih, namun ia mentakwilkannya.

Sebagai contoh, al-Imam Ahmad menyatakan bahwa: Barangsiapa yang mengatakan bahwa AlQuran adalah makhluk, maka ia kafir. Ini adalah kaidah umum. Tidak bisa langsung diterapkan pada tiap person tanpa melihat sisi-sisi lain.

Imam Ahmad tidak mengkafirkan Khalifah al-Makmun yang secara tegas menyuruh untuk menanamkan akidah bahwa alQuran adalah makhluk dan menyiksa para Ulama’ lain yang menolak hal itu. Jelas hal itu adalah akidah kekafiran, namun tiga Khalifah yaitu al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq tidak dikafirkan oleh para Ulama’ pada waktu itu karena mereka memiliki syubhat dan pentakwilan yang menyimpang karena berteman dekat dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah. Mereka adalah orang-orang yang sekedar ikut-ikutan, belum sepenuhnya memahami hakikat permasalahan (Lihat penjelasan Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalu Syaikh dalam Ithaafus Saa-il bimaa fit thohaawiyyah minal masaa-il (26/13)).

Sebagian kelompok begitu mudah dalam mengkafirkan seluruh pemimpin di negeri Indonesia sejak awal hingga beberapa waktu kemudian. Semuanya dikafirkan tanpa terkecuali dengan alasan tidak berhukum dengan hukum Allah. Padahal, tidak semua orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara otomatis langsung dihukumi kafir. Allah menyebutkan mereka menjadi 3 keadaan, yaitu: kafir, dzhalim, dan fasiq (Q.S al-Maidah ayat 44,45, dan 47).

Para Ulama’ juga menjelaskan bahwa seandainya penguasa itu sudah jelas-jelas kafir yang mengeluarkan dari keislaman, maka tidak serta merta dilakukan kudeta terhadapnya, jika memang kaum muslimin belum memiliki kemampuan.

Adanya Pemimpin yang Dzhalim Masih Lebih Baik Dibandingkan Fitnah yang Terjadi

Bimbingan dari Nabi untuk bersikap sabar terhadap pemerintah, larangan mencela atau menghinakan pemerintah, bukanlah untuk mengkultuskan atau mengagungkan sosok pemimpin. Namun, hal itu adalah upaya penghormatan terhadap amanah yang mereka bawa serta mencegah kemudharatan yang lebih besar. Para pemimpin membawahi sekian banyak rakyat. Sikap yang salah terhadap pemimpin bisa berimbas negatif terhadap sekian banyak rakyat. Akan terjadi fitnah terus menerus. Fitnah yang terjadi adalah banyaknya pertumpahan darah, hilangnya harta dan kehormatan, rusaknya mental, dan berbagai keburukan yang terjadi.

Sahabat Nabi Amr bin al-Ash pernah berwasiat pada anaknya:

يَا بُنَيّ احْفَظْ عَنِّي مَا أُوصِيكَ بِهِ : إمَامٌ عَدْلٌ خَيْرٌ مِنْ مَطَرٍ وَبْلٍ وَأَسَدٌ حَطُومٌ خَيْرٌ مِنْ إمَامٍ ظَلُومٍ ، وَإِمَامٌ ظَلُومٌ غَشُومٌ خَيْرٌ مِنْ فِتْنَةٍ تَدُومُ

Wahai anakku, hafalkan dariku wasiatku ini: Pemimpin yang adil lebih baik dibandingkan turunnya hujan deras. Singa yang menghancurkan lebih baik dibandingkan pemimpin yang sangat dzhalim, namun pemimpin yang sangat dzhalim lagi kejam lebih baik dari fitnah yang terjadi terus menerus (riwayat Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, dan dinukil oleh Ibnul Muflih dalam al-Adabus Sya’riyyah (1/222))