Penjelasan Syahussunnah Lil Muzani ( Bag.10.c)

Penjelasan Syahussunnah Lil Muzani ( Bag.10.c)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ditulis Oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman

SIFAT-SIFAT ALLAH

Penyimpangan terhadap Nama dan Sifat-Sifat Allah

 

  1. Ta’thiil : menolak dan tidak menetapkan Sifat yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
  2. Tasybiih atau Tamtsil : menyerupakan Sifat Allah dengan makhlukNya.
  3. Takyiif: memikirkan, menanyakan atau menentukan dengan akal kaifiyat (seperti apa atau bagaimana) Sifat Allah.
  4. Tahriif : menyimpangkan lafadz atau makna Sifat Allah. Bisa juga disebut sebagai penafsiran atau pentakwilan terhadap suatu nash tanpa dalil yang dibenarkan. Takwil tidak disalahkan secara mutlak, tidak juga dibenarkan secara mutlak. Pentakwilan yang berdasarkan hujjah atau dalil yang kuat bisa dibenarkan.
  5. Tafwidh : menyatakan tidak mengetahui makna Sifat Allah dan menyerahkan kepada Allah. Ahlussunnah tidaklah menyerahkan maknanya kepada Allah, namun menyerahkan kaifiyatnya kepada Allah.

Contoh, jika di dalam ayat-ayat al-Quran dinyatakan bahwa Allah istiwa’ di atas ‘Arsy, maka kita beriman dengan ayat tersebut. Kita meyakini bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-nya, karena makna istiwa’ adalah tinggi di atas sesuatu, sebagaimana penafsiran Mujahid (seorang murid Ibnu Abbas). Kita menetapkan istiwa’ di atas ‘Arsy sebagaimana Keagungan, Kemulyaan, dan Kesempurnaan Allah. Tidak sama dengan makhlukNya. Kita tidak mengetahui seperti apa atau bagaimana istiwa’ Allah di atas ‘Arsy.

Penyimpangan yang terjadi:

–      Ta’thiil : menolak untuk menyatakan bahwa Allah istiwa’ di atas ‘Arsy.

–      Tasybih atau Tamtsil : menyatakan bahwa istiwa’ Allah di atas ‘Arsy adalah sama persis seperti yang dilakukan makhluk. Misalkan menyatakan seperti duduknya raja-raja di atas singgasananya. Atau mengatakan: “istiwa’-nya Allah di atas ‘Arsy-nya adalah seperti dudukku di atas kursi ini”. Itu semua adalah kebatilan,

–      Takyiif : menanyakan atau menentukan dengan detail kaifiyat / bagaimana istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy.

–      Tahriif : dengan berusaha mentakwilkan makna istiwa’ tidak dengan dalil yang benar. Misalkan menyatakan bahwa istiwa’ tersebut maksudnya adalah istawla (menguasai).

–      Tafwidh : dengan menyatakan bahwa kita tidak mengetahui maknanya, kita serahkan kepada Allah.

Kerusakan akibat penyimpangan-penyimpangan itu:

–      Ta’thiil : berarti ia mendustakan khabar-khabar dalam ayat al-Quran maupun hadits yang shahih.

–      Tasybih atau tamtsil : bertentangan dengan al-Quran surat asy-Syuura ayat 11.

–      Takyiif : bertentangan dengan pernyataan-pernyataan para Ulama’ Salaf tentang akidah Ahlussunnah yang menyatakan:

أَمِرُّوهَا بِلاَ كَيْفٍ

     Jalankanlah (nash) tanpa takyiif (perkataan Malik, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin alMubarok, dinukil atTirmidzi dalam Sunannya riwayat no 662)

–      Tahriif : ia menentukan tafsir atau takwil dari suatu ayat maupun hadits tanpa dalil yang benar, dikhawatirkan masuk dalam larangan berkata atas Nama Allah tanpa ilmu, seperti larangan surat alBaqoroh ayat 169. Demikian juga, biasanya tahriif dilakukan dengan menolak sebagian Sifat yang disebutkan dalam ayat maupun hadits yang shahih. Pada dasarnya, ta’thiil dan tahriif sama-sama menolak. Namun, ta’thiil dilakukan dengan tegas dan terang-terangan, sedangkan tahriif penolakannya dilakukan dengan menafsirkan pada hal yang lain.

–      Tafwidh : bertentangan dengan hikmah diturunkannya al-Quran yaitu agar manusia memikirkan makna-makna yang terkandung di dalamnya (Laallakum ta’qiluun), bahwa al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas.

Juga bertentangan dengan pemahaman para Ulama’ Salaf yang berada di atas akidah Ahlussunnah, seperti Imam Malik yang menyatakan : al-Istiwaa’u ma’luum (makna Istiwa’ sudah dipahami).

Faidah tentang Asma-ul Husna

Allah memiliki Nama-Nama yang Indah. Seluruh Nama-nama Allah adalah Indah dan setiap Nama pasti mengandung Sifat. Sebaliknya, tidak setiap Sifat yang disebutkan dalam al-Quran maupun hadits yang shahih bisa disebut sebagai Nama Allah dalam Sifat tersebut.

Nama-nama Allah sangat banyak, dan sebagian hanya Allah saja yang mengetahuinya, sebagaimana dalam hadits :

أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ

Aku meminta kepadaMu dengan seluruh Nama yang Engkau miliki, yang Engkau beri nama diriMu dengan Nama itu, atau yang Engkau turunkan dalam KitabMu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhlukMu, atau yang Engkau simpan dalam perbendaharaan ilmu ghaib yang di sisiMu (H.R Ahmad, dishahihkan oleh al-Hakim dan al-Albany).

Di antara Nama-Nama Allah itu, terdapat 99 Nama yang barangsiapa menghafal dan menjalankan kandungan dari Nama-Nama Allah itu, beribadah kepada Allah dengan kandungan Nama-Nama Allah tersebut, maka ia akan masuk surga.

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Sesungguhnya Allah memiliki 99 Nama, 100 kurang 1. Barangsiapa yang ihsho’ (menghafal dan menjalankan kandungan dari Nama-Nama Allah itu), maka ia masuk surga (H.R al-Bukhari no 2351 dan Muslim no 4836).

Menjalankan kandungan Nama-Nama Allah, misalkan saat mengetahui bahwa Allah adalah al-Ghafuur, maka ia tidak putus asa dari rahmat Allah, ketika terjatuh ke dalam dosa, ia memohon ampunan dan bertaubat kepadaNya.

Allah juga memerintahkan kita untuk berdoa dengan menyebut Asma-ul Husna tersebut:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا…

dan Allah memiliki Nama-Nama yang baik, maka berdoalah denganNya…(Q.S al-A’raaf:180).

Berdoa dengan menyebut Asma-ul Husna tersebut, itulah yang banyak dicontohkan dalam lafadz-lafadz doa baik dalam al-Quran maupun hadits. Jadi, penyebutan Asma-ul Husna, digunakan untuk disandingkan dengan doa. Tidaklah ada dalam al-Quran maupun hadits-hadits yang shahih dzikir dengan Asmaul Husna dalam jumlah tertentu tanpa diiringi dengan doa (permintaan) kepada Allah. Sebagai contoh, tidaklah ada dalam alQuran maupun hadits yang shahih, anjuran untuk berdzikir dengan Asmaul Husna dalam jumlah bilangan tertentu tanpa berdoa dengannya (sekedar dzikir tanpa doa). Seperti menyebut: Ya Rahiim 77 kali, atau Ya Aziiz 83 kali, dan semisalnya.

Kalau kita simak doa-doa dalam al-Quran dan hadits yang shahih, penyebutan Asma-ul Husna akan diiringi dengan permintaan kepada Allah sesuai kandungan Asmaul Husna itu. Contoh:

رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami sebagai fitnah bagi orang-orang kafir, dan ampuni kami wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau al-Aziz (Maha Perkasa) lagi al-Hakim (Maha Bijaksana) (Q.S al-Mumtahanah:5)

…رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

…Wahai Tuhan kami terimalah (amalan kami) sesungguhnya Engkau as-Samii’ (Maha Mendengar) lagi al-Aliim (Maha Mengetahui)(Q.S al-Baqoroh:127).

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan anugerahkanlah rahmat kepada kami dari sisiMu, sesungguhnya Engkau adalah al-Wahhab (Maha Pemberi Anugerah)(Q.S Ali Imran:8)

Demikian juga dalam hadits-hadits Nabi:

يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ

Yaa Hayyu Ya Qoyyum dengan rahmatMu aku beristighotsah (memohon pertolongan dalam situasi yang darurat) (H.R atTirmidzi)

عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا وَرَجُلٌ يُصَلِّي ثُمَّ دَعَا اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ دَعَا اللَّهَ بِاسْمِهِ الْعَظِيمِ الَّذِي إِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى

Dari Anas radhiyallahu anhu bahwasanya pada saat beliau duduk bersama Nabi shollallahu alaihi wasallam ada seseorang yang berdoa dalam sholatnya : Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu bahwa untukMulah pujian. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkau adalah al-Mannan (Maha Pemberi Anugerah), Pencipta langit dan bumi. Ya Dzal Jalaali wal Ikraam (Wahai pemilik keagungan dan kemulyaan). Yaa Hayyu yaa qoyyum. Nabi yang mendengar itu menyatakan: Sungguh ia telah memanggil Allah dengan NamaNya yang agung, yang jika ia memanggil akan dijawab, dan jika meminta akan diberi (H.R Abu Dawud no 1277 dishahihkan Syaikh al-Albany).