Nifas dan hukum – hukumnya

Nifas dan hukum – hukumnya

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Definisi

Nifas adalah darah yang keluar oleh rahim karena proses kelahiran, yang bisa jadi keluarnya bersamaan dengan kelahiran atau sesudahnya atau bisa juga sebelumnya dalam jangka dua tiga hari yang disertai dengan munculnya rasa sakit.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : darah yang didapati oleh seorang wanita ketika mulai merasakan sakit itulah darah nifas. Beliau tidak mengaitkan dengan waktu dua atau tiga hari, dan yang di maksud rasa sakit adalah rasa sakit yang diikuti oleh kelahiran.

Para ulama berbeda pendapat tentang batasan minimal dan maksimal masa nifas.  Asy syaikh Taqiyuddin ( Ibnu Taimiyyah ) dalam risalah beliau Fil Asma’ allaqasy syari’ al ahkama biha ( halaman 37 )

“ adapun nifas maka tidak ada batasan minimal maupun maksimalnya. Kalau seandainya ada seorang wanita yang mendapati darahnya lebih dari 40 hari atau 60 hari atau 70 hari kemudian baru berhenti, maka itulah nifasnya. Akan tetapi jika terus menerus, maka darah tersebut darah fasad ( istihadhah ). Dan jika ini yang terjadi padanya, maka masa nifasnya dihitung 40 hari, karena inilah puncak dari kebanyakan atsar- atsar yang datang menjelaskan batasan lamanya haid.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : atas dasar itu, jika darahnya melampaui 40 hari dan kebiasaanya berhenti 40 hari atau tampak tanda- tanda akan berhentinya maka dia menunggu hingga darahnya betul-betul berhenti.  Jika tidak, maka dia mandi ketika genap 40 hari. Dikecualikan jika bersambung dengan kebiasaan masa haidnya, maka dia menunggu hingga selesai masa haidnya.

Jika darah ( setelah kelahiran)  tersebut berhenti maka dihukumi suci walaupun belum mencapai 40 hati. Maka segera mandi dan di halalkan baginya untuk melakukan shalat. Akan tetapi jika berhentinya kurang dari satu hari (24 jam –pen), maka tidak di hukumi suci.

Jika ternyata seorang keguguran, dan yang keluar tidak jelas berbentuk manusia, maka darahnya tidak dihukumi sebagai darah nifas, akan tetapi darah urat sehingga berlaku padanya hukum wanita yang mengalami istihadhah.

Al Majd Ibnu Taimiyah ( kakek Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ) berkata : maka kapan saja seorang wanita mendapati darah yang tidak disertai rasa sakit sebelum masa tersebut, maka dia tidak memperdulikannya. Adapun jika terjadi sesudah masa tersebut maka dia menahan diri dari shalat dan puasa. Kemudian juka sesudah kelahiran ( keguguran ) tersebut terungkap kenyataan yang menyelisihi dzahirnya maka dia kembali melakukan ibadah dan mengejar ( yang tertinggal dengen mengqodhonya). Dan jika tidak terungkap perkaranya, maka hukumnya dzahir berlaku dan tidak ada kewajiban untuk mengulangi ( ibadah yang di tinggalkan tersebut –pen)( ucapan beliau dinukil dalam Syarhul Iqna ‘)

Hukum –hukum nifas

Hukum –hukum nifas sama dengan hukum pada permasalahan haid, kecuali dalam perkara-perkara berikut ini :

1. Masalah iddah

Maka ‘iddah talaqnya diperhitungkan dengan haid, tidak dengan nifas. Karena jika talaqnya terjadi sebelum kelahiran, maka ‘iddahnya berakhir dengan kelahiran tersebut bukan dengan nifas. Sedangkan jika terjadi sesudah kelahiran, maka di tunggu kembali masa haidnya.

2. Masa Ila

Diperhitungkan berdasarkan masa haid, bukan berdasarkan masa nifas. Sedangkan yang dimaksud dengan ila adalah sumpah seorang suami untuk meninggalkan menggauli istrinya untuk selama-lamanya atau waktu yang lebih dari  4 bulan.

Sehingga jika ada seorang suami yang bersumpah, kemudian istrinya menuntut agar sang suami menggaulinya maka diberikan waktu kepada suami selama empat bulan sejak sumpahnya. Jika telah genap empat bulan, maka sang suami dipaksa untuk menggaulinya atau berpisah dengan istrinya berdasarkan permintaan istri. Masa ( empat bulan ), jika ternyata seorang nifas, maka masa nifasnya tersebut tidak diperhitungkan, sehingga ditambahkan kepada masa empat bulan tadi, sesuai masa nifasnya. Berbeda dengan masa haid tersebut masuk dalam masa yang di perhitungkan untuk sang suami tadi.

3. Masa baligh

Masa baligh dicapai dengan terjadinya haid, bukan dengan terjadinya nifas. Karena seorang wanita tidak mungkin akan hamil sampai wanita mengalami inzal ( keluar mani), sedangkan tercapainya masa baligh adalah dengan keluarnya mani yang mendahului terjadinya proses kehamilan.

4. Darah haid jika terputus kemudian keluar dari dalam masa biasa terjadi haid, maka secara yakin di hukumi sebagai haid.

Misalnya : kebiasaan seorang wanita haidnya delapan hari, ternyata dia melihat darahnya selama empat hari kemudian berhenti selama dua hari, kemudian keluar lagi pada hari ketujuh dan kedelapan. Maka darah yang keluar secara yakin merupakan darah haid sehingga berlaku padanya hukum-hukum haid.

Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum 40 hari kemudian keluar darah lagi pada hari ke 40 maka diragukan keadaan darah tersebut.

Dalam permasalahan seperti itu pendapat yang benar, bahwa darah tersebut jika kembali keluar pada masa yang memungkinkan wanita tersebut masih dalam masa nifas. Maka dihukumi sebagai darah nifas, jika tidak maka dihukumi darah haid. Kecuali jika terus menerus keluar maka di hukumi sebagai darah istihadhah. Pendapat ini mirip dengan apa yang dinukilkan di dalam Al Mugni ( 1/349) dari ucapan Al Imam Malik dimana beliau berkata :

“ jika seorang wanita mendapatkan darahnya keluar lagi sesudah dua atau tiga hari terhenti maka darah tersebut darah nifas. Jika tidak maka darah haid”

Ini pula pendapat yang di pilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Tidak ada dalam perkara darah – darah tersebut sesuatu yang diragukan menurut realiata yang ada pada darah tersebut. Akan tetapi karaguan ini  adalah perkara yang sifatnya nisbi ( relatif). Berbeda sesuai dengan kadar ilmu dan pemahaman yang ada pada masing-masing orang. Sedangkan pada Al Kitab dan As Sunnah ada keterangan yang menjelaskan segala sesuatu.

Adapun seorang yang telah menjalankan beban syariat sesuai dengan batas kemampuan yang ada pada dirinya, maka sudah lepas tanggungannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“ Allah tidak membenani seorang melainkan sesuai dengan kesanggupanya..” ( Al Baqarah : 286 )

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُ

“ maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggunpanmu “ ( At Taghabun : 16)

5. Jika seorang wanita telah suci dari haidnya sebelum masa kebiasaan dari haidnya.

Dibolehkan bagi sang suami untuk menggaulinya tanpa ada sedikitpun kemakhruhan pada perbuatan tersebut. Adapun nifas, jika dia telah suci sebelum 40 hari, maka makruh sang suami untuk menggaulinya menurut pendapat yang mashur dalam madzab ( Hanabila, -pen)

Pendapat yang benar bahwa tidak di makruhkan bagi sang suami . inilah pendapat jumhur ( mayoritas) ulama. Karena menghukumi makruh terhadap sesuatu perkara adalah hukum syar’i yang butuh dalil syar’i. Dan tidak ada dalil dalam permasalahan ini kecuali riwayat yang disebutkan oleh Al Imam Ahmad, dari ‘Utsman bin Abil ‘Ash : bahwa istrinya mendatanginya sebelum genap masa nifasnya 40 hari. Maka dia berkata kepada istrinya : “ Jangan kau dekati aku “

Ucapan beliau tersebut tidaklah mengharuskan hukum makruh. Karena bisa jadi ucapan tersebut muncul sebagai bentuk kehati-hatian, khawatir istrinya belum yakin betul akan kesuciaanya, atau khawatir akan menyebabkan  keluar kembali darahnya akibat jima’ atau bisa juga sebab sebab yang lain. Wallahu’alam

( diambil dari buku, Probelma Darah Wanita, Ash Shaf, Media)