MENGAIS BARAKAH

MENGAIS BARAKAH

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Buletin al ilmu jember

Tak pelak lagi bahwa semua orang terkhusus kaum muslimin menginginkan barakah di dalam hidupnya. Upaya untuk mendapatkannya, yang sering diistilahkan sebagai “TABARRUK” atau mengais barakah, ternyata sangat berkaitan erat dengan tauhid seorang muslim.

Oleh karena itu perlu bagi kita mengenali permasalahan besar ini. Karena tidak jarang keinginan untuk mendapatkan barakah justru mendatangkan murka dari Alloh subhanahuwata’ala Yang Maha Mendatangkan Barakah, dan menodai tauhid seseorang. Wal ‘iyadzubillah.

Dienul Islam telah menetapkan bahwa tabarruk merupakan salah satu bentuk ibadah yang mulia. Sehingga tak ayal lagi banyak kaum muslimin yang menunaikannya. Akan tetapi, para pembaca, suatu ibadah tentunya tidak akan diterima di sisi Alloh subhanahuwata’ala dan barakah tersebut tidak teraih melainkan dengan terpenuhinya dua syarat mutlak :

1.Sudahkah ibadah itu dilandasi dengan ikhlas karena Alloh subhanahuwata’ala ? 2.
Sesuaikah amalan itu dengan tuntunan Rasululloh ? ?
Di dalam mewujudkan dan memperkokoh syarat pertama, hendaklah seseorang meyakini bahwa barakah itu hanya datang dari sisi Alloh subhanahuwata’ala. Dialah Dzat yang memiliki kesempurnaan, keagungan, dan keluasan barakah.

Di dalam Bada’iut Tafsir 3/282, Al Imam Ibnul Qoyyim rahimahulloh ketika menerangkan firman Alloh subhanahuwata’ala :

تَبَارَكَ الَّذِى نَزَّلَ الْفُرْقَان عَلى عَبْدِه لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

“Maha Suci Alloh yang telah menurunkan Al Furqon (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Q.S. Al Furqon : 1)
Beliau rahimahulloh mengatakan, “Dan sebagian yang lain (para salaf, -pent) berkata, ‘Maknanya, barakah itu datang dari sisi-Nya dan barakah ini seluruhnya dari-Nya’”.
Rasululloh ? memberitakan tentang kekuasaan-Nya yang sempurna dan mutlak dengan do’anya :

اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

“Ya Alloh, tidak ada satu pun yang menolak suatu perkara yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi sesuatu yang Engkau tolak. Tidak bermanfaat seorang yang mempunyai kemuliaan di hadapan kemuliaan yang datang dari-Mu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Adapun dalam rangka menumbuhkan amalan tabarruk, sesuai dengan bimbingan Rasululloh ? maka perlu kita mengenal bagaimana tabarruk yang disyariatkan dan sekaligus menjauhi tabarruk yang terlarang. Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid 1/191 berkata: “Dan meminta barakah tidaklah lepas dari dua perkara:

1. Hendaknya bertabarruk dengan perkara-perkara yang syar’i misalnya Al Qur’an. Alloh subhanahuwata’ala berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ …

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh dengan barakah …” (Q.S. Shaad: 29).

Maka di antara barakahnya bahwa barangsiapa yang berpegang teguh dengannya, maka baginya kemenangan. Alloh subhanahuwata’ala telah selamatkan banyak umat dari kesyirikan dengan Al Qur’an.
Di antara barakahnya bahwa satu hurufnya dibalas sepuluh kebaikan. Hal itu menambah kesempurnaan waktu dan semangat pada manusia. Dan lain sebagainya dari barakah Al Qur’an yang banyak.

2. Tabarruk dengan perkara hissi (yang bisa diraba oleh panca indera), misalnya ilmu, dakwah, dan semisalnya. Maka seseorang bertabarruk dengan ilmu dan dakwahnya yang mengajak kepada kebaikan. Jadilah perkara ini sebagai barakah karena kita mendapatkan kebaikan yang melimpah dengan sebab ilmu dan dakwahnya.

Para pembaca yang mulia, ada beberapa macam tabarruk yang syar’i yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, tempat dan waktu:

1. Ucapan. Misalnya membaca Al Qur’an. Sebagaimana hadits Abu Umamah Al Bahili ? yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim bahwa Rasullulloh ? bersabda:

اقْرَأُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّه يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه

“Bacalah Al Qur’an karena dia (Al Qur’an) akan datang sebagai syafaat pembacanya pada hari kiamat.”

2. Amalan perbuatan. Misalnya shalat berjama’ah di masjid berdasarkan hadits ‘Utsman bin ‘Affan ? yang diriwayatkan Muslim bahwa beliau (Utsman, -pent) berkata: “Aku mendengar Rasululloh ? bersabda :

مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَ
غَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ غَفَرَاللهُ لَهُ ذُنُوبَهُ

”Barang siapa yang berwudlu untuk menunaikan sholat lalu dia menyempurnakan wudlunya, kemudian berjalan kaki untuk sholat wajib lalu sholat bersama manusia atau jama’ah atau di dalam masjid maka Alloh ampuni dosa-dosanya.”

3. Tabarruk dengan tempat-tempat tertentu yang memang Alloh subhanahuwata’ala jadikan padanya barakah jika ditunaikan amalan-amalan yang syar’i di dalamnya. Di antaranya Masjid-Masjid Alloh subhanahuwata’ala terkhusus Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, kota Makkah, kota Madinah, dan Syam.

4. Tabarruk dengan waktu-waktu yang telah dikhususkan oleh syari’at dengan anugerah barakah, misalnya bulan Ramadhan, Lailatul Qadar, sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir setiap harinya, dan lain-lain. Tentunya di dalam waktu-waktu tersebut dipenuhi dengan amalan-amalan syar’i untuk mendapatkan barakah.

Di dalam bingkai tabarruk yang syar’i ini pada hakekatnya adalah sebuah pengagungan kepada Alloh ‘Azza Wa Jalla yang telah memerintahkan bentuk-bentuk tabarruk tadi, bukan karena semata-mata dzat perkara-perkara (tabarruk) tadi. Kita renungkan ucapan Umar bin Al Khaththab ? tatkala mengusap Hajar Aswad:

أَمَا وَاللهِ إِنِّي َلأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْ لاَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ? يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ ( متفق عليه )

“Demi Alloh, sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah batu tidak memberikan mudharat dan manfaat. Kalau seandainya aku tidak melihat Rasululloh ? menciummu, maka aku tidak akan menciummu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahulloh di dalam Fathul Bari mengomentari ucapan Umar tersebut: “Dan di dalam ucapan Umar ini terdapat penyerahan diri kepada peletak syariat dalam perkara-perkara agama, dan ittiba’ (mengikuti) di dalam perkara yang tidak diketahui maknanya. Ini adalah kaidah agung tentang ittiba’ kepada Nabi ? di dalam apa yang beliau kerjakan walaupun tidak diketahui hikmahnya, dan di dalamnya (ucapan Umar) terkandung bantahan terhadap apa yang terdapat pada sebagian orang-orang bodoh, bahwa Hajar Aswad memiliki kekhususan pada dzatnya”.

Namun, saudara-saudara yang mudah-mudahan Alloh subhanahuwata’ala memberi barakah dengan risalah ini, ternyata di samping macam-macam tabarruk yang telah diajarkan Dien yang mulia dan suci ini, terdapat macam-macam tabarruk yang menodai kemuliaan dan kesucian tadi.

Al Imam At Tirmidzi meriwayatkan denga sanad yang shohih dari jalan Abu Waqid Al Laitsi ? beliau berkata:

خَرَجْنَا مع رَسُوْلِ اللهِ ? إِلى حُنَيْن وَنحن حُدَثَاَءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ وَلِلْمُشْرِكِيْنَ سِدْرَةٌ يَعْكِفُوْنَ عِنْدَهَا وَ يَنُوْطُوْنَ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ يُقَالُ لها ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ فَقُلْنَا ؛ يَا رَسُولَ اللهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنوَاطٍ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ? : اللهُ أَكْبَرُ، إِنَّهَا السُّنَنُ. قُلْتُمْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، كَمَا قَالتَْ بَنُو إِسْرَائِيلَ لِمُوْسَى ( اجْعَلْ لَنَا إَلهٍا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ. قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ ) لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ

“Kami keluar bersama Rasululloh ? menuju Hunain sedangkan kami orang-orang yang baru keluar dari kekufuran, Orang-orang musyrikin memiliki pohon yang mereka i’tikaf dan menggantungkan senjata-senjatanya pada pohon tersebut (dalam rangka tabarruk, pent). Pohon tersebut dinamakan “Dzatu Anwath”. Maka kami melewati pohon itu lalu kami berkata: “Ya Rasululloh buatkan kami “Dzatu Anwath” sebagaimana mereka memiliki “Dzatu Anwath”. Lantas Rasululloh ? bersabda: “Allohu Akbar, sesungguhnya hal ini adalah jejak (orang-orang sebelum kalian). Demi dzatku yang ada di tangan-Nya, kalian telah mengucapkan seperti ucapan Bani Isra’il kepada Musa: “Buatkanlah kepada kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan. Dia berkata: “Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang bodoh.” (Q.S. Al A’raaf: 138), sungguh kalian pasti akan mengikuti jejak-jejak orang-orang sebelum kalian.”

Asy Syaikh Hafidz bin Ahmad Al Hakami rahimahulloh di dalam Ma’arijul Qabul 2/645 mengatakan: “Dan oleh karena itu Nabi ? menamai i’tikaf dekat pohon-pohon dan menggantungkan persenjataan padanya dalam rangka pengagungan kepadanya sebagai suatu peribadatan.”

Di antara saudara-saudara kita, yang semoga Alloh subhanahuwata’ala beri hidayah mereka, bertabarruk dengan mengusap-usap tembok Ka’bah, Maqam Ibrahim, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, mengumpulkan tanah-tanah atau bebatuan dari kota Makkah, Madinah, pergi ke kubur-kubur Nabi dan Rasul, untuk berdo’a kepada Alloh subhanahuwata’ala di sisi kubur-kubur tadi dengan anggapan barakah dan keutamaan yang ada pada tempat-tempat tadi. Pergi ke gua Hira’, gua Tsur, bukit Thur dengan anggapan seperti tadi, mengkhususkan waktu-waktu tertentu dengan perayaan dan ibadah-ibadah seperti Maulid Nabi ?, Isra’ Mi’raj, hari hijrah nabi, hari Badr dan selainnya dari macam-macam tabarruk yang tidak disyari’atkan oleh Alloh subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya ?.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh di dalam Iqtidla’ Shirathil Mustaqim 2/193 berkata: “Maka jika seseorang berniat shalat di samping sebagian kubur para nabi dan orang-orang shalih dalam rangka tabarruk di tempat-tempat tersebut, maka ini adalah inti penentangan kepada Alloh subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya ?, penyimpangan terhadap agama, bid’ah yang tidak diizinkan oleh Alloh subhanahuwata’ala.

TANYA – JAWAB
Tanya : Bagaimana hukum mengais barakah dari bekas-bekas orang-orang sholih atau tempat-tempat mulia ?
Jawab : Asy Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahulloh di dalam Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid halaman 167–168 menyatakan, bahwa tabarruk dengan bekas-bekas orang-orang shalih termasuk bentuk tabarruk yang terlarang, karena beberapa sebab:
1. Bahwa orang-orang yang awal mula masuk Islam dari kalangan Shahabat dan setelah mereka tidak pernah melakukan hal itu kepada orang selain Nabi ?, tidak ketika hidupnya atau setelah wafatnya. Kalau seandainya hal itu baik maka niscaya mereka akan mendahului kita dalam mengamalkannya.
2. Tidak boleh seorang pun dari umat ini dikiaskan kepada Nabi ? dalam perkara ini (tabarruk kepada dzat Nabi ?), karena Nabi ? memiliki kekhususan–kekhususan ketika hidupnya yang tidak disamai oleh seorang pun.
3. Larangan tersebut sebagai pintu yang menutup jalan menuju kesyirikan yang tidak samar lagi.
Untaian Fatwa :
Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan hafidhahulloh dalam Al Muntaqa terhadap fatwa beliau 1/220 berkata: “Sujud di atas tanah yang disebut ‘tanah kuburan wali’ jika dimaksudkan sebagai tabarruk dengan tanah itu dan mendekatkan diri kepada wali tersebut maka ini adalah syirik besar. Adapun jika yang dimaukan adalah untuk mendekatkan diri kepada Alloh subhanahuwata’ala bersamaan dengan adanya keyakinan tentang keutamaan-keutamaan tersebut, dan sujud di atasnya merupakan suatu keutamaan sebagaimana keutamaan yang Alloh subhanahuwata’ala jadikan pada tanah-tanah suci di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha, maka ini merupakan bid’ah di dalam agama, satu ucapan atas nama Alloh subhanahuwata’ala tanpa didasari ilmu, syariat yang tidak diizinkan Alloh subhanahuwata’ala dan sarana dari sarana-sarana agama yang mengantarkan kepada kesyirikan. Hal itu dikarenakan Alloh subhanahuwata’ala tidak pernah menjadikan kekhususan pada suatu tempat selain tempat-tempat syi’ar yang suci dan tiga masjid tersebut. Sampai-sampai tempat-tempat syi’ar dan tiga masjid tersebut tidak disyari’atkan untuk kita mengambil tanahnya kemudian sujud di atasnya. Hanyalah kita disyari’atkan untuk berhaji ke rumah-Nya (Ka’bah, pent) dan shalat di tiga masjid tadi.” Wallohu A’lam Bish Shawab.

Daftar Pustaka :
1. Al Qaulul Mufid jilid 1 dengan ta’liqnya.
2. Badai’ut Tafsir jilid 3.
3. Fathul Majid.
4. Ma’arijul Qabul jilid 2.
5. Iqtidla’ Shirathil Mustaqim jilid 2.
6. Al Muntaqo min Fataawa Asy Syaikh Sholih Al Fauzan juz 1.

?Buletin al ilmu

wa al ‘itishom