oleh Asy-Syaikh Khalid bin Abdurrahman Al-Mishry hafizhahullah
Asy-Syaikh Muhammad al-’Anjari hafizhahullah menyampaikan pertanyaan berikut:
“Kami memohon faedah penjelasan tentang keadaan dua orang ini, yaitu : Abul Hasan Al-Ma’ribi dan Ali Hasan Al-Halabi, dan sejauh mana bahaya yang ditimpakan oleh keduanya terhadap Dakwah As-Sunnah As-Salafiyyah?”
Asy-Syaikh Khalid ‘Abdurrahman menjawab :
Pertama : Yang berkaitan dengan kedua orang ini.
Orang yang pertama adalah Musthafa bin Isma’il yang sekarang menetap di Ma’rib (Yaman –pent) dan asalnya Mesir. Sedangkan yang kedua adalah ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid Al-Halabi yang tinggal di Amman, Yordania, asalnya dari negeri Syam.
Dua orang ini awalnya menisbahkan diri kepada Ahlus Sunnah, menampakkan sikap mengikuti As-Sunnah dan berpegang teguh dengannya serta mengaku mengikuti manhaj Salaf. Karena itu semua, maka mereka mendapatkan tazkiyah (pujian) dari sebagian imam Ahlus Sunnah. Karena siapa saja yang menampakkan kesesuaian dengan As-Sunnah dan dia tidak melakukan hal-hal yang menyelisihinya, maka (kita harus) berbaik sangka kepadanya. Sedangkan siapa saja yang menampakkan sebaliknya, maka dia pun akan disikapi berbeda.
Kemudian mulai tampak pada dakwah dua orang ini prinsip-prinsip yang rusak. Lalu keduanya pun terus meletakkan sebagian kaedah-kaedah itu. Sehingga apabila engkau membaca tulisan dua orang ini atau mendengar ucapan keduanya, seakan-akan engkau membaca tulisan atau mendengar ucapan dari satu orang. Bahkan termasuk perkara yang mengherankan, keduanya tidak hanya sepakat dalam peletakan kaedah saja, bahkan sampai pada sebagian kalimat yang di atasnya mereka membangun banyak kaedah-kaedah mereka yang rusak. Jadi mereka sepakat sampai dalam hal menggunakan kalimat yang diungkapkan. Dan ini termasuk perkara yang telah diketahui, sebagaimana peribahasa mengatakan:
الطُّيُوْرُ عَلَى أَشْكَالِهَا تَقَعُ
“Burung itu akan hinggap bersama yang sejenis.”
Di antara kaedah yang keduanya berserikat dalam mengungkapkannya, yang pertama dan yang paling jelas adalah sikap tidak merasa butuh atau tidak mau terikat dengan para ulama, serta sikap mencela para ulama, terutama terhadap ulama al-jarh wa at-ta’dil.
Oleh karena itulah engkau tidak menjumpai di masa kita ini seorang pun yang memerangi pembawa bendera al-jarh wa at-ta’dil yaitu Al-Imam Rabi’ – yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani bahwa beliau adalah pembawa bendera al-jarh wa at-ta’dil dan beliau memang pantas dan berhak atasnya – engkau tidak akan menjumpai orang yang memerangi imam ini (Asy-Syaikh Rabi’) seperti yang dilakukan oleh kedua orang tadi dalam hal kelancangan terhadap para imam al-jarh wa at-ta’dil dan celaan terhadap keimaman beliau.
Sungguh perkara yang mengherankan –dan ini termasuk besarnya karunia Allah bagi Ahlus Sunnah– yaitu dengan Allah menetapkan tazkiyah terhadap Al-Imam Rabi’ melalui lisan Al-Imam Al-Albani, yang Abul Hasan safar menemui beliau dan dia (Abul Hasan)lah yang bertanya kepada Al-Albani tentang Asy-Syaikh Rabi’, hingga Al-Albani pun mengatakan dalam kaset yang terekam bersama Abul Hasan, yang mana ketika itu Abul Hasan mengatakan: “Fadhilatus Syaikh, kami mengharapkan Anda untuk menyampaikan kalimat tentang kedua ulama yang mulia ini (Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah dan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah –pent) sebagai bentuk pembelaan terhadap As-Sunnah sebagai bantahan terhadap siapa saja yang mencela keduanya.” Jadi Allah menetapkan tazkiyah bagi Rabi’ dengan perkataan Al-Albany melalui Abul Hasan si pengobar fitnah itu.
Saya masih ingat ketika saya masih bersama Abul Hasan sebelum munculnya fitnah di Abu Dhabi di provinsi Syahama, dan di sebagian provinsi di sana di tempat seorang pemuda yang namanya Imran yang merupakan penanggung jawab di Daarul Birr, saya masih ingat ketika itu jam 12 malam, dan Abul Hasan ketika itu mengenakan pakaian berwarna hijau dan imamah berwarna hijau juga yang sedang dia letakkan di tangan kanannya, saat itu jam 12 malam ketika kami di rumah Imran. Ketika itu Abul Hasan mengatakan kepadaku: “Wahai Abu Muhammad, tahukah engkau dengan sebab apa Allah memuliakan kedudukan Asy-Syaikh Rabi’?” Saya pun tersenyum dan mengatakan: “Dengan apakah?” Dia menjawab: “Dengan pembelaannya terhadap manhaj Salaf.”
Namun, kemudian orang yang perlu dikasihani ini (yakni Abul Hasan) mengatakan: “Saya mengetahui berbagai kesesatan Rabi’ sejak bertahun-tahun lamanya.” Dia mengatakan hal ini setelah ucapannya tadi beberapa bulan kemudian.
Maksudnya, bahwa diantara prinsip dari dua orang ini adalah mencela para imam al-Jarh wa at-Ta’dil. Saya tidak mengatakan celaan terhadap Asy-Syaikh Rabi’ saja. Yaitu jumlah ulama yang telah dicela oleh Abul Hasan dan Ali Al-Halabi sekitar 10 imam kita. Misalnya Abul Hasan mencela Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh An-Najmi dan seterusnya yang mencapai sekitar 10 ulama, dan jumlah ini sama yang dicela oleh Al-Halabi.
Saya juga masih ingat ketika kami di Al-Masjid Al-Haram setelah shalat isya’ setelah tarawih beberapa tahun yang lalu, ketika itu saya ketemu dengan Ali Al-Halaby dan kami shalat tarawih bersama, kemudian setelah itu dia menggandeng tangan saya menuju hotel, dan dari sana kami menuju Jeddah ketika Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Banna rahimahullah masih hidup. Diantara ungkapan yang dia lontarkan kepada saya adalah: “Wahai Abu Muhammad, Masyayikh di Najd atau di Al-Haramain mereka mengkritik kami hanyalah semata-mata karena hasad.” Dia juga mengatakan: “Dan termasuk yang paling keras dari mereka adalah Al-Fauzan.” Ungkapan dia ini saya sampaikan bukan secara makna, bahkan persis sesuai lafazhnya. Jadi dia mengatakan: “Dan termasuk yang paling keras dari mereka adalah Al-Fauzan.” Tentu ucapan ini jelas, kita tidak perlu menjelaskannya lagi. Jadi perkara ini hakekatnya merupakan kaedah yang sama-sama digunakan oleh kedua orang ini, yaitu mencela para imam.
Berikutnya setelah itu adalah dengan keduanya mengeluarkan ungkapan: “TIDAK MENGHARUSKANKU (La yulzimuni).” Maksudnya ketika para imam menyebutkan penyimpangan si fulan dengan mengatakan: “Si fulan adalah mubtadi’, adapun bukti yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang mubtadi’ adalah karena dia menyatakan demikian dan demikian, dia juga mengatakan dalam kitab ini dan itu demikian dan demikian.” Ketika itu keduanya yaitu Abul Hasan dan Ali (Hasan) menolaknya dengan mengatakan: “Tidak mengharuskanku untuk menerima jarhnya, walaupun jarh tersebut dijelaskan secara rinci (mufash-shal).” Coba perhatikan, walaupun jarh tersebut dijelaskan secara rinci!
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah ketika menukil penolakan kabar orang yang terpercaya, beliau menyebutkan bahwa para mubtadi’ yang menolak hadits, di antara dalih mereka adalah dengan mengatakan: “Tidak harus bagi kami untuk menerima riwayatnya.”
Mereka menolak As-Sunnah dengan dalih semacam itu. Jadi kedua orang ini dalam hal ini, mereka menyerupai perkataan ahli bid’ah: “Tidak harus bagiku untuk menerima riwayat orang yang terpercaya.”
Gambarannya misalnya ada seseorang melakukan sebuah bid’ah, apakah mungkin para ulama di bumi bagian timur dan bagian barat bisa mengetahuinya secara langsung bahwa dia telah berbuat ini dan itu? Apakah ini mungkin secara akal?! Maksudnya apa mungkin secara akal ketika seorang mubtadi’ mengucapkan sebuah bid’ah dan menyimpang dari As-Sunnah dengan sebab sebuah prinsip yang rusak, apakah para ulama Ahlus Sunnah baik yang Arab maupun yang bukan Arab atau yang di bagian bumi yang timur maupun di bagian bumi yang barat bisa mendengar kalimat bid’ah tersebut dan mengetahuinya secara langsung dari mulut pelakunya?! Jadi mereka menilai dengan khayalan.
Jika kita tidak menerima jarh yang terperinci kecuali jika kita sendiri yang harus mendengar kesalahannya, namun jika kita sendiri tidak langsung mendengarnya maka kita tidak menerima, walaupun orang yang terpercaya selain kita telah mendengarnya; kalau demikian, maka engkau tidak akan pernah menjumpai seorang mubtadi’ pun di muka bumi ini. Kenapa demikian?! Karena tidak mungkin para ‘ulama semuanya mengetahui semua ungkapan yang dikatakan oleh si mubtadi’ ini.
Demikian juga ini termasuk prinsip mereka yang rusak – yaitu prinsip “tidak mengharuskan diriku (La yulzimuni)” – ini menyeret kepada prinsip ketiga, yang kedua orang ini menyepakatinya, yaitu “BERSIKAP LEMBUT DAN KALEM TERHADAP AHLI BID’AH, dan MENCELA DAN BERSIKAP KERAS TERHADAP AHLUS SUNNAH.”
Apakah perlu melihat buktinya di situs mereka?! Tidak perlu, bahkan waspadailah!! Tetapi engkau telah dicukupi oleh orang lain. Di situs yang bernama kulalsalafiyeen.com engkau bisa menjumpai ungkapan yang paling buruk terhadap sebagian Masayikh Ahlus Sunnah. Benar-benar ungkapan yang paling kotor, sampai mereka mengatakan tentang Asy-Syaikh Rabi’ bahwa Asy-Syaikh Rabi’ telah berusia lanjut dan terkena penyakit gula, akibat penyakit tersebut beliau tidak bisa menghadapi masalah dengan tepat.
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan ketika dia membantah Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi, – yang beliau dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz bahwa Ahmad An-Najmy adalah mufti bagian Selatan (Arab Saudi –pent) dan termasuk ulama kibar – dia (Abul Hasan) mengatakan: “Wahai Syaikh yang telah tua renta, seandainya engkau menyadari umurmu (niscaya engkau diam –pent)…” dan seterusnya. Demikianlah mereka mencela para imam Ahlus Sunnah. Namun ketika mereka membicarakan kelompok-kelompok yang menyimpang dan ahli bid’ah, engkau akan menjumpai sikap lembek dan lembut terhadap ahli bid’ah. Ketika membantah ahli bid’ah, yang saya maksud ketika membantah ahli bid’ah pada sebagian masalah yang muncul, kemudian mereka kembali dan mengatakan: “Alhamdulillah, LINGKUP AS-SUNNAH LUAS.” Sebagaimana yang dikatakan oleh Abul Hasan: “Mencakup Salafy, mencakup pengikut Al-Ikhwan Al-Muslimun, dan juga mencakup pengikut Jamaah Tabligh.” Jadi ini merupakan prinsip mereka berdua yang engkau jumpai mereka sepakat atasnya, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Jadi karena penyimpangan maka sepakatlah pendapat keduanya dalam hal ini.
Kemudian setelah itu engkau menjumpai mereka mengatakan: “Kita tidak diharuskan untuk mengikuti ulama kibar dalam menyikapi masalah, tetapi cukup bagi kita untuk berijtihad dan memperhatikan dalil-dalil.” Hal ini mereka ucapkan dalam bentuk penerapan di alam nyata, walaupun mungkin secara lafazh mereka berlepas diri darinya. Oleh karena itulah Abul Hasan mengatakan: “Orang-orang yang menyelisihi kami adalah… (suara kurang jelas –pent)” maksudnya orang-orang yang rendah, itu dia katakan ketika dia membicarakan para imam besar. Dan engkau jumpai Ali Hasan mengatakan: “Mereka ingin mematahkan pena-pena kami.” Maksudnya: “Mereka tidak ingin kami menulis dan berbicara dalam masalah-masalah ilmiah, mereka ingin merusak pena-pena.” Jadi mereka bersikap kepada para ulama dengan penuh kesombongan dan merendahkan para ulama.
Demikian juga saya akan akhiri dengan menyebutkan prinsip penting dari prinsip-prinsip rusak dua orang ini, dan prinsip yang ini hakekatnya seandainya keduanya tidak memiliki kecuali prinsip yang rusak ini, niscaya cukup untuk menjelaskan bahaya yang ditimpakan oleh keduanya terhadap dakwah Salafiyah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya. Yaitu ketika keduanya sepakat bahwa MENERAPKAN RIWAYAT-RIWAYAT SALAF TERHADAP AHLI BID’AH DI ZAMAN KITA INI TERMASUK SALAH SATU BENTUK SIKAP GHULUW ATAU EKSTRIM. Jadi jika engkau menjumpai riwayat-riwayat yang mencela Qadariyah, Jabriyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Khawarij Qa’diyah (yang tidak memberontak dengan senjata, tetapi mengkafirkan dan mencela pemerintah dengan provokasi –pent) dan ahli bid’ah yang menyimpang lainnya, apa yang mereka katakan?! Mereka mengatakan: “Kalian jangan menerapkan riwayat-riwayat ini terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang ini, bahkan menerapkan riwayat-riwayat ini terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang ini merupakan sikap ghuluw dalam agama dan merupakan penyimpangan.”
Ucapan ini apa tujuannya?! Tujuannya adalah untuk MENGHANCURKAN MANHAJ SALAF, dengan cara setiap kali dibawakan riwayat-riwayat Salaf untuk diterapkan terhadap ahli bid’ah, mereka menyanggah dengan mengatakan: “Tidak bisa, Salaf tidak memaksudkan kecuali terhadap orang-orang yang semisal dengan Jahmiyah dan Khawarij.”
Dari sinilah dalam penerapannya, pintu mereka menjadi terbuka seluas-luasnya bagi ahli bid’ah, seluas antara langit dan bumi. Oleh karena inilah engkau lihat mereka cenderung kepada ahli bid’ah dan begitu akrab dengan mereka serta tidak mau menghajr ahli bid’ah secara nyata, bahkan mereka memperingatkan masalah hajr dengan berbagai cara dan dalih. Di antaranya mereka melemparkan syubhat: “BAGAIMANA SEKARANG KITA MENGHAJR, SEMENTARA INI BUKAN LAGI ZAMAN HAJR?!” Kemudian mereka bergelantungan dengan perkataan yang datang dari Al-Imam Al-Albani yang mereka pahami tidak dengan semestinya, lalu mereka pun melemahkan manhaj Salaf di hati para pengikut mereka.
Oleh karena itulah seandainya tidak terjadi kecuali apa yang kita lihat berupa banyaknya para pemuda yang bodoh jatuh ke pangkuan kedua orang yang jahat dan menyimpang ini, niscaya hal itu cukup untuk menjelaskan betapa besar bahaya dari kedua orang ini terhadap Dakwah Salafiyah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya. Maka bagaimana menurutmu bahaya yang ditimbulkan oleh peletakan kaedah-kaedah lainnya (oleh kedua orang tersebut) yang tidak kami sebutkan kecuali sedikit saja, karena untuk menjaga waktu dan meringkasnya.
Saya memohon keselamatan untuk kami dan kalian.
http://miratsul-anbiya.net/2014/04/05/kejahatan-al-maribi-dan-al-halabi-terhadap-dakwah-salafiyyah/