Berhati-hatilah dari individualis, tidak merujuk pada Ulama

Berhati-hatilah dari individualis, tidak merujuk pada Ulama

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Nasehat ke-9
Berhati-hati dari Individualis dengan tidak merujuk kepada para Ulama

Subhanallah, adalah merupakan suatu yang keji dan busuk ketika penuntut ilmu menyandarkan fatwanya atau selain fatwa pada dirinya dengan tanpa merujuk kepada para ulama. Bermusyawarahlah kepada dan bertanyalah kepada para ulama!

Dia mengetahui sedikit ilmu lalu melihat dirinya bagaikan Ibnu Hajar kedua, atau Ibnu Taimiyah di zamannya, atau Imam Adz Dzahabi dan terkadang dia memandang pengetahuan syaikhnya sangat terbatas.

Kita berlindung kepada Allah dari tipu daya syaithan dan kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari kedzoliman dan kesombongan. Lihat kepada gurumu yang telah memiliki andil dan keutamaan terhadap dirimu setelah Allah. Namun dia di hadapanmu bagaikan Ibnu Lahi’ah atau tadlis Rusydin bin Sa’ad sedangkan kamu bagaikan Imam ‘Ali Al Madini. Penampilan ini termasuk penyakit yang terkadang terjadi pada sebagian orang. Dan ini bukan datang dari dirinya sendiri pada hakikatnya, akan tetapi syaithanlah yang telah menjatuhkan dan menjerumuskannya ke dalam tipu daya ini.

Apabila dia memahami satu bidang ilmu, dia menghina dan meremehkan orang lain bahkan merendahkan syaikhnya sendiri.

Adapun merendahkan temannya jangan ditanya lagi, dia menganggap orang lain kecil dan bagaikan kartun-kartun, kecuali orang yang dirahmati Allah Ta’ala.

Apakah demikian ini penampilan ilmu? Apakah ini buah dari ilmu yang kamu kejar? Kamu mengetahui suatu permasalahan ilmu lalu kamu melihat orang lain bagaikan semut kecil? Takutlah dirimu kepada Allah Ta’ala. Pada hakikatnya ketika ilmu seorang mukmin bertambah, bertambah pula tawadlu’nya. Dan ketika ilmumu, imanmu, kebaikanmu, keistiqomahanmu, dan keuletanmu dalam berpegang terhadap kebenaran, di saat itu pula kamu menemukan dirimu semakin kecil.

Ketika Syaikh Ibnu Baaz berfatwa kepada manusia sebelum wafatnya pada tahun lalu di Makkah dan saya waktu itu berada bersama beliau, datanglah sebuah pertanyaan dalam selembar kertas yang bunyinya :”Wahai syaikh, saya termasuk dari salah satu penduduk Makkah dan saya memiliki sebuah rumah yang saya tidak menduga tiba-tiba sekelompok lebah masuk ke dalamnya dan menetap di rumahku. Sedangkan aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Apakah saya harus mengusirnya, padahal dia di Tanah Haram sedangkan barang siapa yang memasuki Tanah Haram akan aman, atau apa yang harus saya perbuat? Beritahukan kepada kami, semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik”.

Saya (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab –pent) sangat memperhatikan beliau kira-kira apa yang akan dijawabnya. Pertanyaan seperti ini diajukan kepada pimpinan ulama, tiba-tiba beliau menyatakan:” Permasalahan ini perlu dibahas, bawalah pengeras suara itu ke sini”.

Lihatlah betapa tawadlu’nya beliau, itulah hakikat ilmu, hal ini menggambarkan tatkala seorang lanjut usia semakin banyak ilmunya. Oleh karena itu berhati-hatilah kamu wahai saudaraku hidup menyendiri tanpa ulama, ketahuilah ini termasuk penyakit. Saya yakin seorang yang menyendiri dan menyandarkan segala-galanya kepada dirinya, niscaya dia akan sesat dan menjadi orang awam. Dikecualikan kalau dia benar-benar memperhatikan waktunya. Mengetahui keutamaan orang yang berilmu, kembali kepada mereka, bertanya, dan bermusyawarah dengan mereka.

(Dikutip dari 20 Mutiara Indah Bagi Penuntut Ilmu dan Da’I Ilallah” hal 68-71, judul asli ‘Isyrun Nashiha li Tholibil ‘Ilmi wa Da’i Ilallah, penulis Syaikh Abdul Wahhab Al Wushaby al Abdali al Yamani dan Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i rahimahullah. Diterjemahkan al Ustadz Abu Usamah Abdurahman al Lomboki. Diterbitkan oleh Pustaka al Atsary Kp Cikalagan RT 10/02. Cileungsi Bogor)