HAJI WADA’ (Haji Perpisahan)

HAJI WADA’ (Haji Perpisahan)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Oleh  Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Bulan Dzul Qa’dah sudah di ambang pintu. Kota Madinah masih sibuk sebagaimana biasa. Sesudah Makkah berada dalam pangkuan Islam, kabilah-kabilah Arab dan beberapa raja kecil di sekitar Hijaz mengirim utusan mereka. Ada yang menerima Islam dan menganutnya, ada pula yang masih memilih keyakinan lamanya, tetapi bersedia mengirimkan jizyah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah menunaikan ibadah haji (Haji Islam) selain pada 10 H ini. Haji ini dikenal dengan Haji Wada’, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menitipkan pesan-pesan kepada kaum muslimin dan tidak berhaji lagi sesudah itu. Dinamakan juga haji penyampaian, karena beliau menyampaikan syariat Allah Subhanahuwata’ala dalam urusan haji ini dengan ucapan dan perbuatan.

Ketika muncul keinginan untuk menunaikan haji, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukannya kepada seluruh kaum muslimin bahwa beliau n akan berangkat haji. Mendengar berita ini, tidak hanya para sahabat yang di Madinah dan sekitarnya yang bersiap-siap, mereka yang di Makkah juga mempersiapkan diri menyambut kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan saudara-saudara mereka yang ingin berhaji.

Siang hari, Sabtu 26 Dzul Qa’dah, seusai shalat zhuhur empat rakaat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertolak dari Madinah.

Pada hari keberangkatan, ribuan kaum muslimin bertemu dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam di sebuah jalan. Mereka pun bergabung bersama rombongan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lautan manusia, mengelilingi Rasulullah di depan, belakang, kanan dan kiri beliau. Ada yang berjalan kaki, ada pula yang di atas kendaraan mereka.

Baitullah yang telah bersih dari kotoran syirik dan budaya syirik seolah-olah memanggil orang-orang yang dahulu ‘memuliakannya’ dengan adat jahiliah agar menggantinya dengan pemuliaan di atas ajaran tauhid.

Gurun sahara dan bukit-bukit cadas turut gembira menyambut berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan menuju Makkah menunaikan haji. Kabilah-kabilah Arab pun segera bersiap dan datang dari seluruh pelosok, ingin meraih kemuliaan dengan haji bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tanggal 25 Dzul Qa’dah tahun sepuluh hijriyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin menghadapkan wajah kendaraan mereka ke arah Masjidil Haram, dan mulai bertolak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membawa semua istrinya. Seolah-olah merasakan semakin dekat ajalnya.

Seakan-akan Allah Subhanahuwata’ala mengilhamkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam haji ini sebagai tanda akan berakhirnya perjanjian beliau n di dunia ini.

Dari mana lautan manusia ini, dan ke mana mereka menuju?

Empat tahun lalu, bersama sahabatnya beliau berangkat untuk umrah, tetapi Quraisy menghalangi. Bukan kehinaan yang mereka peroleh, melainkan kemuliaan.

Peristiwa Hudaibiyah.

Ketika mereka satu dalam tekad membela Allah dan Rasul Allah, kemudian menuntut darah Utsman yang diberitakan tewas di tangan Quraisy. Hati-hati yang menyatu, bertekad tidak akan mundur setapak pun, walau harus berkalang tanah. Lahirlah Bai’atur Ridhwan di bawah sebatang pohon.

Di saat-saat seperti itu, Suhail bin ‘Amr yang ketika itu menjadi duta Quraisy mendesak agar beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali bersama para sahabat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menerima. Bagaimana dengan para sahabat?

Meski sempat kecewa, mereka tetap tunduk dan yakin bahwa di balik ini pasti ada kemenangan. Memang, bahkan kemenangan yang agung. Islam tersebar ke seluruh penjuru tanah Arab. Dari berbagai pelosok, mulai orang biasa hingga para kepala suku dan raja kecil datang bertanya tentang Islam serta menerima.

Kemenangan mana lagi yang lebih hebat dari ini?

Setahun sesudah peristiwa agung itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali mengarahkan kendaraan mereka menuju Baitullah.

‘Umratul Qadha, semakin menampakkan kewibawaan dan keagungan Islam, bahkan keperkasaan para pembelanya. Nyali Quraisy bertambah lemah melihat kekuatan muslimin. Bukan fisik mereka saja, melainkan hati yang ada di balik tubuh kasar itu.

Hati yang terisi iman yang murni. Kekuatan itulah yang akhirnya meluluhlantakkan kesombongan jahiliah yang masih bersemayam di hati sebagian bangsa Quraisy dan orang-orang Arab di sekitar mereka.

Akhirnya, sepuluh ribu orang tentara Allah Subhanahuwata’ala datang ke Makkah untuk membersihkan Baitullah dari ratusan berhala dan tempat-tempat pemujaan.

Fathu Makkah, benar-benar kemenangan yang agung.

Kini, di tahun kesepuluh, kerikil dan pasir sahara kembali terkesima menyaksikan ribuan kaki yang akan melintasi mereka. Ke mana gerangan?

Baitullah. Itulah tujuan mereka. Rumah Suci pertama yang diletakkan Pencipta jagat semesta ini seolah menanti ucapan salam para pemujanya.

Bait Suci yang telah kembali kesuciannya itu seolah mempercantik dirinya menyambut para tamu agung yang datang ….

Namun, kenangan itu segera buyar, ketika mereka tiba di Dzul Hulaifah. Asma’ bintu Umais yang sedang mengandung, mulai merasakan tanda-tanda kelahiran.

Tak lama, bayi mungil putra pasangan Abu Bakr ash-Shiddiq dan Asma’ lahir. Bayi itu diberi nama Muhammad.

Selesai melahirkan, Asma’ datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya, “Apa yang harus saya kerjakan?”

Rasulullah bersabda, “Mandi dan ketatkanlah kainmu kemudian letakkan kain di tempat keluarnya darah dan berihramlah.”

Dari situlah, Dzul Hulaifah, setelah mereka bermalam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memulai berihram. Kaum muslimin pun ihram mengikuti junjungan mereka.

Tiba di al-Baida’ dengan pakaian yang sama, keadaan yang sama, kepala-kepala yang terbuka di bawah sengatan matahari, mereka mengenakan sarung dan rida’ (pakaian ihram), dari lubuk hati paling dalam, semua melantunkan talbiyah bersama:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيكَ لَكَ

“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya pujian dan kenikmatan itu adalah milik-Mu, (begitu juga) kerajaan, tidak ada sekutu bagi-Mu.”

Enam mil dari Makkah, di Saraf, Rasulullah mengumumkan kepada para sahabatnya, “Siapa yang tidak membawa hadyu (hewan kurban) dan ingin menjadikannya umrah, silakan, tetapi siapa yang membawa hadyu, tidak.”

Mereka tiba di Makkah pada hari keempat di bulan Dzul Hijjah.

Jamaah haji yang mulia itu mulai mendekati Ka’bah.

Jabir mengisahkan, “Ketika kami sudah tiba di Baitullah (Ka’bah), beliau menyentuh rukun (Hajarul Aswad) lalu berlari kecil tiga kali dan berjalan biasa empat kali.

Sesudah itu, beliau menuju Maqam Ibrahim, lalu shalat dua rakaat. Beliau kembali menuju rukun dan menyentuhnya. Kemudian beliau keluar menuju bukit Shafa. Saat mendekati Shafa, beliau n membaca firman Allah Subnahuwata’ala:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syiar Allah.” (al-Baqarah: 158)

Saya memulai dengan apa yang Allah Subhanahuwata’ala memulai dengannya.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menaiki Shafa hingga melihat Ka’bah, lalu menghadap kiblat, mentauhidkan Allah dan bertakbir, serta mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [وَحْدَهُ] أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ

“Tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya-lah kekuasaan (Kerajaan) dan segala pujian, dan Dia atas segala sesuatu Mahakuasa. Tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, satu-satunya, Dia telah memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan pasukan yang bersekutu sendirian.”

Kemudian beliau berdoa di antara bacaan itu dan mengucapkan seperti itu juga tiga kali.

Setelah itu, beliau turun menuju Marwah hingga ketika kedua kaki beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menginjak perut lembah, (sekarang diberi tanda hijau), beliau melakukan sa’i sampai ketika sudah naik, beliau berjalan hingga datang ke Marwah, lalu mengerjakan amalan sebagaimana yang beliau lakukan di atas Shafa.

Selesai sa’i, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Orang-orang yang tidak membawa hadyu, sudah boleh melepas pakaian ihramnya.”

Akhirnya, kaum muslimin yang tidak membawa hadyu melakukan tahallul. Rasulullah n menambahkan, “Seandainya saya menghadapi urusan yang saya tinggalkan ini, tentu saya tidak akan membawa hadyu, dan menjadikan amalan ini sebagai umrah dan saya juga ber-tahallul.”

Pada hari tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah), mereka menuju Mina. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menaiki kendaraannya, shalat di sana; Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Kemudian beliau tinggal di sana sebentar sampai terbit matahari, lalu bertolak menuju Arafah.

Di Arafah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati sebuah kubah sudah dibuatkan untuk beliau di Namirah (sebuah desa dekat Arafah). Beliau n lalu singgah di sana. Ketika matahari sudah condong (ke barat), beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam minta dibawakan al-Qushwa lalu disiapkan untuk beliau.

Kemudian beliau menuju perut lembah dan berkhutbah di hadapan manusia.

Ribuan manusia, satu hati, satu tujuan, mengagungkan Pencipta mereka, tunduk sambil melantunkan talbiyah. Hilang sudah kesombongan jahiliah.

Setelah memuji Allah, mengucapkan syahadatain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan pesan-pesannya. Seolah-olah itu adalah pesan terakhir, ungkapan perpisahan dan pernyataan selesainya tugas dan tanggung jawab mengemban risalah Dzat Yang Mahaagung, Allah Subhanahuwata’ala.

“Hai sekalian manusia, dengarlah. Saya tidak tahu apakah akan bertemu lagi dengan kalian sesudah tahun ini di tempat ini.

Hai sekalian manusia, sesungguhnya semua urusan jahiliah ada di bawah telapak kakiku ini. Demikian pula urusan darah ala jahiliah, semua gugur dan tidak bernilai. Adapun darah pertama yang saya gugurkan adalah darah kami Rabi’ah bin al-Harits, yang menyusu di Bani Sa’d lalu dibunuh oleh orang-orang dari suku Hudzail.

Riba jahiliah juga dinyatakan batal, tidak ada nilainya. Riba pertama yang saya gugurkan adalah riba kami, riba Abbas bin Abdul Muththalib. Semua gugur, tidak ada nilainya.

Hai manusia, bertakwalah kalian dalam urusan wanita. Sungguh, kamu telah memiliki mereka dengan amanah dari Allah. Kalian telah menjadikan halalnya kehormatan mereka dengan kalimat Allah.

Di antara hak kalian yang harus mereka penuhi adalah tidak membiarkan siapa saja yang kalian benci menginjakkan kaki di permadani atau lantai rumah kalian. Kalau mereka melanggarnya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai.

Kaum wanita (para istri kalian) juga mempunyai hak yang wajib kalian penuhi, berupa pakaian dan rezeki dengan cara yang baik (dan pantas).

Hai manusia, telah aku tinggalkan pada kalian, sesuatu yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengannya, yaitu Kitab Allah Subhanhuwata’ala.

Dan…

Kalian semua akan ditanya tentang aku, maka apa jawaban kalian?”

Barisan muslimin serempak menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau sudah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan memberi nasihat.”

Mendengar jawaban mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat telunjuknya ke langit lalu menudingkannya ke arah ribuan jamaah haji yang mulia itu sambil berkata, “Ya Allah, saksikanlah,” tiga kali.

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju tempat wukuf dan membiarkan perut untanya menyentuh pasir, sementara gunung Musyah di hadapan beliau.

Beliau tetap dalam keadaan wukuf hingga terbenam matahari. Setelah itu beliau membonceng Usamah dan bertolak.

Kepala beliau menunduk sampai menyentuh punggung al-Qushwa. Beliau berkata kepada jamaah haji itu, “Perlahan-lahan. Perlahan-lahan, wahai manusia.”

Setiba di Muzdalifah, beliau shalat Magrib dan Isya dengan satu kali azan dan dua iqamat, tanpa mengerjakan shalat selain itu. Setelah itu beliau berbaring sampai terbit fajar, lalu shalat Subuh.

Kemudian beliau menaiki al-Qushwa dan menuju Masy’aril Haram, lalu bertakbir dan bertahlil (mengucapkan La ilaha illallah). Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap dalam keadaan wukuf sampai terang tanah.

Sebelum matahari terbit, beliau berangkat sambil membonceng al-Fadhl bin Abbas. Di saat itulah mereka berpapasan dengan rombongan wanita. Al-Fadhl melihat ke arah mereka, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam segera memalingkan wajah al-Fadhl ke arah lain.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bergerak perlahan menuju tempat melontar jumrah al-kubra di dekat Masjidil Haram. Di sini beliau melempar dengan tujuh butir kerikil sebesar ujung jari sambil bertakbir pada setiap lemparan.

Setelah itu beliau menuju tempat penyembelihan dan menyembelih enampuluh tiga ekor unta, lalu menyerahkan sisanya kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallohu’anhu.

Setelah memakan sebagian sembelihan itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bertolak menuju Baitullah dan shalat Zhuhur di sana.

Kemudian beliau menemui Bani Abdul Muththalib yang bertugas memberi minum dari air Zamzam dan berkata, “Inzi’u (???) Bani Abdul Muththalib. Kalau bukan karena kalian akan didominasi oleh manusia atas tugas ini pastilah aku naza’tu (???) bersama kalian.” Lalu mereka memberi beliau seember air dan meminumnya.

Dalam kesempatan itu juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa setan tidak pernah berhenti menyesatkan manusia. Kata beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya setan sudah putus asa untuk disembah di negeri kalian ini, tetapi dia senang jika diikuti dalam hal-hal lain yang kalian anggap remeh.

Sesungguhnya, zaman telah kembali sebagaimana diciptakan Allah sejak Dia menciptakan langit dan bumi. Jumlah bilangan bulan di sisi Allah ada dua belas bulan. Empat di antaranya adalah bulan-bulan haram; tiga bulan berturut-turut; Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram. Satu yang terpisah, yaitu Rajab Mudhar, antara Jumadi (Tsani) dan Sya’ban.

Hai manusia, sesungguhnya Rabb kalian itu satu, bapak kalian juga satu. Semua kalian berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah. Yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa kepada Allah. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab dari orang ajam, selain dengan ketakwaan ….

Sampaikanlah semua ini kepada yang tidak hadir.”

Itulah sebagian khutbah yang beliau sampaikan pada haji wada’. Wasiat yang menyentuh.

Seolah-olah menyiratkan bahwa usia beliau yang penuh berkah akan berakhir, pertemuan dan kebersamaan akan usai. Lalu beliau n akan bersiap-siap menjumpai Kekasihnya, Allah Subhanahuwata’ala.

Tuntas sudah, semua yang terkait dengan ibadah haji telah beliau ajarkan melalui ucapan dan perbuatan. Bahkan, seluruh ajaran Islam, besar maupun kecil, lahir dan batin telah beliau ajarkan.

Selesai beliau berkhutbah itulah turun firman Allah Subhanahuwata’ala:

 ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅﮆ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)

Apakah hanya untuk hari itu? Tidak, tetapi sampai kiamat. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun perkara agama ini yang kurang sehingga harus ditambah, atau berlebih sehingga perlu dikurangi.

Ingatlah, ayat ini turun pada saat Rasulullah n masih hidup, dengan kemungkinan masih akan ada penambahan atau pengurangan. Akan tetapi, ternyata tidak ada satu pun penambahan atau pengurangan ajaran Islam. Walhamdulillah.

Oleh sebab itu pula, apa-apa yang di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan sebagai agama, pasti di zaman ini atau kapanpun bukan pula sebagai agama.

Selesai sudah tugas risalah dan dakwah. Demikian pula membina masyarakat baru di atas prinsip menyerahkan ibadah, lahir dan batin hanya kepada Allah Subhanahuwata’ala.

Agaknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyadari ajalnya sudah dekat. Perhatikanlah pesan beliau ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, “Hai Mu’adz, mungkin sesudah ini engkau tidak bertemu lagi denganku. Engkau hanya akan melintasi masjidku ini dan kuburanku. “

Mendengar pesan tersebut, Mu’adz menangis karena tahu akan berpisah selamanya dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Memang, pantaslah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menangis. Bahkan kita pun seharusnya menangis. Tidak ada musibah yang paling buruk selain berpisah dengan Rasulullah n, di dunia, apalagi di akhirat.

Pada waktu nafar tsani—13 Dzul HijjahNabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertolak dari Mina dan singgah di Abthah, di tenda Bani Kinanah sehari semalam. Setelah itu beliau menuju Baitullah dan melakukan thawaf wada’ bersama kaum muslimin.

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersiap-siap kembali ke Madinah, bukan untuk santai melepas lelah, melainkan bersiap untuk melanjutkan jihad di jalan Allah.

Sesudah itu, beliauShallallahu ‘alaihi wasallam pun jatuh sakit ….