Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Setelah melalui berbagai rintangan, Rasulullah beserta rombongan akhirnya berhasil memasuki kota Madinah. Di kota inilah Rasulullah kemudian membangun masyarakat baru yang dipenuhi dengan nilai-nilai keislaman.
Masjid Pertama
Tibalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di Madinah bersama rombongan. Saat itu, para shahabat Anshar banyak yang belum mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Baru ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bernaung dan Abu Bakr melindungi beliau dari terik matahari, mereka mengenalnya.
Anas bin Malik radhiallahu anhu mengatakan: ”Saya ikut menyaksikan hari masuknya Rasulullah ke kota Madinah. Dan saya tidak pernah melihat satu haripun yang lebih baik dan lebih cerah dibandingkan hari itu. Saya juga menyaksikan hari wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, dan saya belum pernah melihat hari yang lebih buruk (keadaannya) dan lebih gelap dibandingkan hari itu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam singgah di Quba, di tempat Kultsum bin Al-Hidmi di perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf selama beberapa hari dan mulai membangun Masjid Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun sejak beliau tiba di Madinah.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, masjid apa yang pertama yang dibangun di atas dasar ketakwaan sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
لاَ تَقُمْ فِيْهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُوْمَ فِيْهِ فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ
“Janganlah kamu bersembah yang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 108)
Ada yang mengatakan Masjid Quba, dan ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Adh-Dhahhak, dan Al-Hasan. Mereka berpegang kepada kalimat: مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ (sejak hari pertama); Masjid Quba adalah yang pertama kali dibangun di Madinah sebelum Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Demikian juga pendapat Ibnu ‘Umar, Sai’d bin Al-Musayyab, dan Al-Imam Malik menurut riwayat Ibnu Wahb, Asyhab, dan Ibnul Qasim. Setelah menukilkan beberapa hadits, Al-Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa masjid yang dimaksud adalah Masjid Quba. Dan ini pula pendapat Asy-Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam At-Taisir. Wallahu A’lam.
Namun ada pula yang mengatakan, masjid itu adalah Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Al-Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri tentang dua orang shahabat yang berdebat tentang masjid yang dimaksud dalam ayat ini, kemudian disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, dan kata beliau: ”Yaitu Masjidku ini.” Al-Imam At-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini shahih.
Ibnu Katsir menerangkan bahwa susunan ayat ini mengarah kepada masjid Quba, kemudian beliau meneruskan, dengan menukil riwayat Al-Imam At-Tirmidzi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri sebelumnya, dan berkata: “Ini shahih, dan tidak ada pertentangan antara ayat dengan hadits tersebut. Karena kalau Masjid Quba dianggap sebagai masjid pertama yang didirikan di atas dasar ketakwaan, maka Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentunya lebih utama dan lebih pantas.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/474, dan Tafsir Al-Qurthubi)
Setelah itu, beliau bertolak ke Madinah. Beberapa orang shahabat mencoba memegang tali kendaraan beliau dan menuntunnya dengan niat mengajak beliau singgah di tempatnya. Tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan agar dibiarkan karena kendaraannya diperintah. Akhirnya, rombongan tiba di lokasi masjid yang sekarang ini.
Ibnul Qayyim mengisahkan bahwa Al-Imam Az-Zuhri menceritakan, beberapa kali unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berputar dan akhirnya kembali di tempat dia menderum pertama kali (di lokasi masjid sekarang). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alaihi wa sallam turun dan segera disambut oleh Abu Ayyub, yang masih keluarga bibi beliau dari Bani Najjar.
Tanah lokasi masjid itu sebetulnya milik dua anak yatim Sahl dan Suhail yang diasuh As’ad bin Zurarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membeli tanah itu dari keduanya untuk didirikan masjid di atasnya.
Setelah membersihkan tanah itu dari kuburan kaum musyrikin, pohon-pohon gharqad, mulailah tanah itu diratakan. Beberapa pokok kurma ditebang dan disusun di arah kiblat masjid. Ukuran panjangnya (dari kiblat sampai ke belakang) ketika itu sekitar 100 hasta (kira-kira 50 m). Begitu pula kedua sisinya, hampir sama. Sedangkan pondasinya sekitar 3 hasta. Dan kemudian dibangun dengan bata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak duduk diam dalam membangun masjid ini, bahkan ikut mengangkat dan memindahkan tanah. Ketika itu, kiblat masih diarahkan ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha), atapnya dari pelepah-pelepah kurma. Setelah itu baru dibangun rumah untuk isteri-isteri beliau.
Mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar
Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Ketika itu mereka berjumlah 90 orang. Mereka dipersaudarakan berdasarkan persamaan, saling mewarisi sampai terjadinya peristiwa Badr.
Setelah Allah Ta’ala menurunkan ayat:
وَأُولُو الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ…
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah...” (Al-Anfal: 75)
Maka pewarisan dikembalikan kepada hubungan darah dan tidak lagi berdasarkan ukhuwwah diniyyah (persaudaraan seagama) ini.
Ibnu Katsir menerangkan dalam Tafsir-nya bahwa ayat ini menyatakan pewarisan di antara sesama kerabat lebih utama daripada saling mewarisi antara Muhajirin dan Anshar. Ayat ini me-nasikh (menghapus) hukum warisan sebelumnya yang berdasarkan hilf (perjanjian, kesepakatan) dan persaudaraan yang terjadi di antara mereka.
Kemudian beliau menukilkan riwayat dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam yang dipersaudarakan dengan Ka’b bin Malik, bahwa seandainya Ka’b bin Malik meninggal dunia ketika itu, dialah yang akan mewarisinya. Lalu turunlah ayat ini.
Begitu eratnya persaudaraan ini, Allah Ta’ala menceritakan tentang keadaan ini dalam firman-Nya:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Ibnu Katsir menerangkan dalam Tafsir-nya: ”Allah Ta’ala memuji orang-orang Anshar, menjelaskan betapa tinggi kedudukan, kemuliaan, kemurahan, tidak adanya kedengkian pada diri mereka, dan justru sebaliknya mereka mempunyai sikap suka mengutamakan serta mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri mereka sendiri meskipun mereka sangat membutuhkan.” Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan pula betapa mereka mencintai orang-orang Muhajirin yang datang kepada mereka, di mana semua ini didorong oleh kemuliaan pribadi mereka. Mereka tidak mendapatkan dalam diri mereka kedengkian terhadap kedudukan dan kemuliaan orang-orang Muhajirin, meskipun mereka disebut oleh Allah pertama kali.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الأَنْصَارَ إِلَى أَنْ يُقْطِعَ لَهُمُ الْبَحْرَيْنِ فَقَالُوْا لاَ إِلاَّ أَنْ تُقْطِعَ لإِخْوَانِنَا مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ مِثْلَهَا. قَالَ: إِمَّا لاَ، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ فَإِنَّهُ سَيُصِيْبُكُمْ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengundang orang-orang Anshar untuk dibagikan kepada mereka harta Bahrain, namun mereka berkata: ‘Tidak, kecuali kalau engkau bagikan pula seperti itu kepada saudara-saudara kami kaum Muhajirin. Atau tidak sama sekali.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata: ‘Kalau begitu bersabarlah, sampai kalian bertemu denganku. Karena sesungguhnya kalian akan dapati adanya sikap sewenang-wenang sepeninggalku’.”
Berkaitan dengan ayat tadi, disebutkan pula oleh Ibnu Katsir bagaimana para shahabat Anshar mendahulukan kepentingan orang lain dari diri mereka sendiri. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan:
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلاَّ الْمَاءُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيْفُ هَذَا؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: أَنَا. فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ: أَكْرِمِيْ ضَيْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَتْ: مَا عِنْدَنَا إِلا قُوْتُ صِبْيَانِيْ. فَقَالَ: هَيِّئِيْ طَعَامَكِ وَأَصْبِحِيْ سِرَاجَكِ وَنَوِّمِيْ صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوْا عَشَاءً. فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلاَ يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلاَنِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ضَحِكَ اللهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللهُ {وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ}
“Abu Hurairah menceritakan: ‘Ada seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, kemudian beliau perintahkan supaya menemui istri-istri beliau. Namun kata mereka: ‘Kami tidak punya sesuatu kecuali air (minum).’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata: ‘Siapa yang menjamu tamu ini?’ Tiba-tiba seorang shahabat Anshar bekata: ‘Saya, wahai Rasulullah.’ Maka berangkatlah dia membawanya ke rumah. Shahabat Anshar ini berkata kepada isterinya: ‘Muliakan (jamulah) tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ini.’
Wanita itu berkata: ‘Kita tidak punya apa-apa kecuali makanan untuk anak-anak.’ Suaminya berkata: ‘Siapkan makananmu itu, perbaiki pelitamu dan tidurkan anak-anakmu. Kalau mereka minta makan, alihkan perhatian mereka.’
Wanita itu melaksanakan perintah suaminya, dia mulai menidurkan anak-anak dan menyiapkan makanan dan berdiri seakan-akan mau memperbaiki pelita lalu memadamkannya. Mereka pun berbuat seolah-olah memperlihatkan kepada tamunya itu bahwa mereka juga ikut makan bersamanya.
Setelah itu mereka berdua tertidur meringkuk menahan lapar. Keesokan harinya laki-laki itu menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Beliau berkata: ‘Allah tertawa melihat perbuatan kalian terhadap tamu kalian tadi malam.’
Maka Allah menurunkan firman-Nya:”…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)’.“
Beliau meriwayatkan pula dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
قَدِمَ عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ الْمَدِينَةَ فَآخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ الأَنْصَارِيِّ فَعَرَضَ عَلَيْهِ أَنْ يُنَاصِفَهُ أَهْلَهُ وَمَالَهُ فَقَالَ عَبْدُالرَّحْمَنِ: بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ، دُلَّنِي عَلَى السُّوْقِ فَرَبِحَ شَيْئًا مِنْ أَقِطٍ وَسَمْنٍ …
“’Abdurrahman bin ‘Auf tiba di Madinah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mempersaudarakannya dengan Sa’d bin Ar-Rabi’ Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Lalu Sa’d menawarkan kepadanya untuk membagi dua hartanya dan isterinya (dia menceraikan isterinya agar setelah ‘iddahnya selesai, dinikah oleh Abdurrahman). Tapi Abdurrahman berkata: ”Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu. Tunjukkan kepadaku pasar.” Dia berjualan di sana dan akhirnya mendapat keuntungan, mula-mula dia dapatkan aqith (sejenis makanan pokok) dan minyak samin…”
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)
Al-Imam Al-Qurthubi menjelaskan: ”Yakni, persaudaraan seiman, bukan sedarah atau seketurunan. Sehingga dikatakan, persaudaraan seiman lebih kokoh daripada persaudaraan sedarah. Karena persaudaraan senasab (sedarah, seketurunan) akan terputus apabila salah satunya berbeda agama dengan yang lain. Sebaliknya, persaudaraan seiman tidak akan terputus meskipun nasabnya berbeda.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah pula mengingatkan sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak (sempurna) iman salah seorang dari kalian, sehingga dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri.”
Dan:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“’Seorang mu`min dengan mu`min lainnya bagaikan bangunan yang kokoh, saling menguatkan satu sama lain.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjalin jemarinya.”
Dan:
تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Kamu lihat kaum mukminin itu dalam kasih sayang dan perasaan di antara mereka seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh itu mengeluh kesakitan, maka seluruh badan merasakan panas (demam) dan tidak bisa tidur.”
Berbagai kisah tentang persaudaraan kaum mukminin yang telah dicontohkan oleh generasi terbaik umat ini, banyak kita dapati dalam berbagai kitab sejarah, tafsir, dan lainnya. Namun mampukah kita menerapkannya dalam kehidupan kita di jaman di mana persaudaraan dan hubungan kasih sayang diikat dan dinilai dengan materi, harta benda dunia?
Ibnu Qayyim menukil ucapan Syaqiq bin Ibrahim dalam Al-Fawaid yang menerangkan beberapa hal yang menjadi sebab terhalangnya seseorang mendapat taufiq, di antaranya adalah tertipu atau merasa bangga duduk dan bergaul bersama orang-orang shalih, tapi tidak meniru perbuatan-perbuatan mereka.
Di sisi lain, kita juga membaca buku-buku sejarah hidup para ulama as-salafush shalih, membahas karya-karya mereka, namun sudahkah kita meniru akhlak mereka dan menerapkannya dalam kehidupan? Hendaknya hal ini menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Wallahul muwaffiq. (Bersambung)