TADABBUR QURAN SURAT AL-KAHFI (PELAJARAN KISAH ASH-HABUL KAHFI)

TADABBUR QURAN SURAT AL-KAHFI (PELAJARAN KISAH ASH-HABUL KAHFI)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Beberapa Faidah yang Bisa Diambil dari Kisah Ash-haabul Kahfi

Pertama : Disunnahkannya melakukan uzlah (menyendiri dan menghindar) dari masyarakat yang sudah sulit disampaikan amar ma’ruf nahi munkar dan sulit diharapkan perbaikannya, yang pada saat itu jika tetap berbaur dengan mereka hal itu justru akan membahayakan Dien kita.

Secara asal, jika seseorang bisa berbaur dengan baik dan tidak terwarnai namun justru mewarnai dengan kebaikan, yang terbaik adalah berbaur dan istiqomah dalam amar ma’ruf nahi munkar. Namun, jika ia lemah, menyelamatkan dirinya adalah yang terbaik.

اْلمُؤْمِنُ الَّذِيْ يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ اْلمُؤْمِنِ الَّذِيْ لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ

“ Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka mendapatkan pahala yang lebih besar dibandingkan mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar dari gangguan mereka “(H.R Ahmad, Ibnu Majah, al-Hafidz menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan, asy-Syaikh Al-Albaani menshahihkannya dalam ‘Shahiihul Jaami’)

عن الأحنف بن قيس ؛ قال : ‘ جلست إلي أبي ذر وهو يسبح ؛ فأقبل علي ، فقال : أمل الخير تملىء خيرا ؛ أليس خيرا ؟ قلت : بلى والله أصلحك الله . ثم أقبل على التسبيح ، قال : والسكوت خير من إملاء الشر ، أليس كذلك ؟ قلت : بلى . ثم قال : والجليس الصالح خير من الوحدة ، أليس كذلك ؟ قلت : بلى . قال : والوحدة خير من جليس السوء ، أليس كذلك ؟ قلت : بلى

Dari al-Ahnaf bin Qoys –seorang Tabi’i- beliau berkata: Saya duduk di dekat Abu Dzar (seorang Sahabat Nabi) dalam keadaan beliau bertasbih. Kemudian beliau menghadap ke arahku. Berbicara (mendiktekan) kebaikan akan memenuhi kebaikan. Bukankah itu baik? Aku berkata: Ya. Demi Allah, semoga Allah memperbaiki keadaan anda. Kemudian beliau melanjutkan bertasbih. Kemudian beliau berkata: dan sikap diam lebih baik dibandingkan berbicara keburukan. Bukankah demikian? Aku berkata: Ya, benar. Kemudian beliau berkata: dan teman duduk yang baik lebih baik dibandingkan sendirian. Bukankah demikian? Aku berkata: Ya, benar. Beliau berkata: dan bersendirian lebih baik dibandingkan teman duduk yang buruk. Bukankah demikian? Aku berkata: benar (riwayat Ibnu Abid Dunya dalam al-‘Uzlah wal Infiraad dan al-Khoroo-ithiy dalam Makaarimul Akhlaaq)

Kedua : Para pemuda adalah pihak yang lebih mudah menerima kebenaran dan diharapkan kebaikan padanya. Allah menyebut mereka sebagai fityah, yaitu sekelompok pemuda yang berada pada puncak semangat dan tenaga.

‘Amr bin Qoys al-Mulaa-iy rahimahullah menyatakan:

إِذَا رَأَيْتَ الشَّابَّ أَوَّلَ مَا يَنْشَأُ مَعَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ , فَارْجُهُ , فَإِذَا رَأَيْتَهُ مَعَ أَهْلِ الْبِدَعِ , فَايْأَسْ مِنْهُ , فَإِنَّ الشَّابَّ عَلَى أَوَّلِ نَشْئِهِ

Jika engkau melihat seorang pemuda pada awal perkembangannya bersama Ahlussunnah wal Jamaah, maka harapkan kebaikan darinya. Dan jika engkau melihat ia bersama Ahlul Bid’ah, berputus asalah darinya karena pemuda itu tergantung keadaan awal perkembangannya (riwayat Ibnu Baththoh dalam al-Ibaanah al-Kubro)

Bukanlah maksud perkataan ‘Amr bin Qoys tersebut artinya kita tidak mendoakan hidayah atau berdakwah kepada pemuda yang bersama Ahlul Bid’ah, namun maksudnya adalah bahwa pemuda yang pada awal perkembangannya berada dalam bimbingan Ahlussunnah sangat besar harapan kebaikan padanya untuk istiqomah. Sebaliknya, yang berada dalam asuhan Ahlul Bid’ah sulit diharapkan kebaikannya. Walaupun tentunya hidayah taufiq hanya milik Allah. Allah Ta’ala adalah Yang Membolak-balikkan hati manusia.

Siapakah ‘Amr bin Qoys al-Mulaa-iy tersebut? Kita butuh penjelasan dari orang yang mengenal beliau. Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah menyatakan: Amr bin Qoys adalah orang mengajari aku adab, membaca al-Qur’an, dan ilmu waris. Aku jika mencari beliau, mencarinya di pasarnya. Jika tidak ada di sana aku bisa menemukannya di rumahnya. Kalau tidak dalam keadaan sholat (sunnah), beliau membaca mushaf, seakan-akan beliau bersegera mencapai hal yang terluput darinya (saking semangatnya ibadah, pent). Jika tidak aku dapatkan di rumahnya, aku bisa mendapati beliau di sebagian masjid Kufah di pojok masjid seakan-akan beliau pencuri (yang bersembunyi, pent) duduk menangis. Kalau tidak aku dapati di sana bisa saja beliau di kuburan menangisi dirinya. Ketika Amr bin Qoys meninggal dunia, penduduk Kufah menutup pintu-pintu mereka, keluar untuk mensholatkan dan mengantarkan jenazahnya… (Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nu’aim (5/101)).

Ketiga: Keimanan bisa bertambah, dan barangsiapa yang bersyukur dengan keimanan yang ada pada dirinya, Allah akan tambah hidayah baginya. Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang diketahuinya, Allah akan tambah baginya ilmu yang sebelumnya tidak ia ketahui, sebagaimana Allah menyatakan: fazidnaahum hudaa (maka Kami tambah untuk mereka petunjuk).

Keempat: Allah-lah yang mengokohkan hati para pemuda itu sehingga mampu kuat dalam menyatakan kebenaran di saat mayoritas masyarakat di tempat itu berbuat kesyirikan. Karena itu memohonlah kekokohan hati untuk istiqomah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.

Kelima: Metode penyampaian al-Quran adalah menyampaikan kisah secara global terlebih dahulu, kemudian menjelaskan secara rinci. Pada ayat 10-12 Allah menyebutkan cerita Ash-haabul Kahfi secara garis besar, kemudian pada ayat 13-21 Allah menceritakannya secara rinci. Demikian juga metode terbaik dalam belajar atau mengajar. Sampaikan hal-hal yang global agar seseorang mengerti gambaran garis besarnya, kemudian jelaskan secara rinci tiap-tiap unsur yang ada padanya.

Keenam: Barangsiapa yang menjauhi dan meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan berikan rahmat dan pertolongan serta ganti yang lebih baik.

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً اتِّقَاءَ اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ إِلاَّ أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْراً مِنْهُ

Tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena taqwa kepada Allah Jalla Wa Azz kecuali Dia akan memberikan yang lebih baik darinya (H.R Ahmad, dinyatakan sanadnya shahih sesuai syarat Muslim oleh Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah (45/183) dan dishahihkan Syaikh Muqbil dalam al-Jaami’us Shahih mimmaa laysa fis shohiihain no 1489).

Sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab radhiyallahu anhu menyatakan:

مَا مِنْ عَبْدٍ تَرَكَ شَيْئًا لِلّهِ عَزَّ وَ جَلَّ إِلَّا أَبْدَلَهُ اللهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَا تَهَاوَنَ بِهِ عَبْدٌ فَأَخَذَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَصْلُحُ إِلَّا أَتَاهُ اللهُ مَا هُوَ أَشَدَّ عَلَيْهِ مِنْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Tidaklah seorang hamba meninggalkan sesuatu karena Allah Azza Wa Jalla kecuali Allah akan gantikan dengannya yang lebih baik darinya dari arah yang tidak ia sangka. Dan tidaklah seseorang bersikap meremehkan sesuatu kemudian ia ambil dalam hal yang tidak boleh dilakukannya, kecuali Allah akan mendatangkan untuknya sesuatu yang lebih berat dirasakannya dari arah yang tidak ia sangka-sangka (riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyaa’, Waki’ dalam az-Zuhud, dan Hannaad dalam az-Zuhud)

Ketujuh: Bagian dari bentuk memurnikan tauhid adalah dengan meninggalkan pelaku kesyirikan dan perbuatan kesyirikan mereka, sebagaimana perbuatan para Ash-haabul Kahfi dan Nabi Ibrahim alaihissalam sebelumnya. Sebagaimana disyariatkan hijrah bagi kaum muslimin di suatu daerah yang tidak memungkinkan lagi menjalankan ibadah kepada Allah karena tekanan masyarakat sekitarnya.

Kedelapan: Mengembalikan ilmu sesuatu yang tidak diketahui kepada Allah. Sebagaimana ucapan beberapa pemuda yang mengembalikan ilmu tentang berapa lama mereka tertidur dalam gua kepada Allah Ta’ala.

Kesembilan: Kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Jika Dia berkehendak, tidak akan ada yang bisa menghalanginya. Dialah yang melindungi para pemuda itu dan Dialah yang mengatur segala sesuatu berjalan sesuai kehendakNya (arah sinar matahari ke dalam gua, membolak-balik tubuh mereka, membuat mata mereka tak terpejam, menimbulkan perasaan takut yang sangat bagi orang yang melihat ke gua, dan sebagainya) padahal gua itu sangat dekat dari kota.

Kesepuluh: Janji Allah pasti akan terpenuhi. Kemahakuasaan Allah dalam membangkitkan yang mati menjadi hidup kembali. Sebagaimana Allah Maha Mampu menidurkan para pemuda Ash-haabul Kahfi itu selama 309 tahun dalam keadaan utuh tak kurang suatu apapun.

Kesebelas: Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, tak akan ada yang menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, tidak akan ada sesuatupun yang bisa memberinya hidayah.

Keduabelas: Manfaat bergaul dengan orang-orang yang baik adalah akan mendapatkan pengaruh kebaikan. Sebagaimana anjing Ash-haabul Kahfi yang juga mendapat keberkahan serta disebutkan perihal dia dalam al-Quran. Ada unsur penyebutan kebaikan karena ia bersama dengan orang-orang yang baik.

Ketigabelas : Anjing Ash-haabul Kahfi berada di luar gua, karena Malaikat rahmat tidak masuk ke dalam ruangan yang di situ ada patung/ gambar makhluk bernyawa dan anjing. Ada 3 jenis anjing yang diperkecualikan Nabi boleh untuk dipelihara, yaitu anjing untuk berburu, untuk menjaga pertanian, atau menjaga ternak. Jika bukan karena 3 hal ini, pahala seseorang akan berkurang 1 qirath setiap harinya. Apabila seseorang memelihara anjing yang diperbolehkan oleh syariat, janganlah memasukkannya ke dalam rumah, tapi berjaga di luar.

Keempatbelas: Bolehnya memakan makanan terbaik yang halal selama tidak berlebihan dan didapatkan dengan cara yang halal. Karena pemuda dalam gua itu berharap azkaa tho’aaman (makanan halal yang paling lezat).

Kelimabelas: Bersabar atas kejahatan penguasa, dengan tidak mentaatinya dalam hal bermaksiat atau kekufuran kepada Allah. Tidak melakukan pemberontakan dan upaya menggulingkan penguasa yang kafir jika hal itu akan menimbulkan mudharat yang lebih besar dan tidak ada kemampuan dalam hal itu. Bisa jadi Allah akan menggantikan penguasa itu dengan penguasa yang lebih baik (dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa penguasa terakhir yang ditemui Ash-haabul Kahfi adalah muslim setelah dulunya mereka lari dari penguasa yang kafir).
Demikian juga dengan kisah al-Imam Ahmad rahimahullah yang bersabar atas kejahatan 3 penguasa: al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-Watsiq, beliau dipenjara dan disiksa atau dikucilkan pada masa ketiga penguasa ini, hingga kemudian Allah gantikan dengan penguasa yang mendukung dan membela Sunnah, yaitu al-Mutawakkil.