Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram (Bag ke 10-)

Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram (Bag ke 10-)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

 Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

 

MEMBERI BANTUAN MAKANAN UNTUK KELUARGA YANG BERSEDIH

 

 480- وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ –حِينَ قُتِلَ- قَالَ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – “اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا, فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ” – أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ, إِلَّا النَّسَائِيّ

Dari Abdullah bin Ja’far radhiyallahu anhu beliau berkata: Ketika datang khabar kematian Ja’far saat terbunuh (dalam pertempuran), Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bersabda: Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka tengah mengalami (kesedihan) yang menyibukkan mereka (riwayat Imam yang Lima kecuali anNasaai)

PENJELASAN:

Ja’far bin Abi Tholib adalah sepupu Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Beliau meninggal pada waktu perang Mu’tah. Ketika sampai kabar kematiannya tersebut, Rasulullah memerintahkan kepada para tetangganya untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja’far, karena keluarga Ja’far sedang dirundung kesedihan yang sangat. Inilah yang dituntunkan oleh Nabi.

Pemberian makanan itu sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan. Bukan dalam jumlah besar sehingga menyerupai walimah (asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram libni Utsaimin (4/70).

Sebaliknya, keluarga yang ditinggalkan yang sedang dalam kesedihan, jangan sampai terbebani untuk menghidangkan makanan bagi orang lain. Bahkan, Sahabat Nabi menganggap hidangan yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan untuk perkumpulan orang pada masa-masa berkabung setelah jenazah dimakamkan tersebut termasuk niyahah (meratap).

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ

Dari Jarir bin Abdillah al-Bajaliy –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Kami (para Sahabat Nabi) memandang berkumpulnya orang-orang pada keluarga mayit dan keluarga mayit membuatkan makanan untuk mereka setelah dikuburkan, adalah termasuk niyahah (meratap)(H.R Ahmad no 6611 dan Ibnu Majah no 1601)

Pada sebagian tempat, kaum muslimin yang sudah dirundung kesedihan yang sangat tidak jarang harus berhutang ke sana ke mari untuk biaya yang banyak. Biaya yang banyak itu adalah untuk menghidangkan makanan bagi para hadirin. Kemudian mereka menghibur diri sambil mengatakan bahwa itu adalah shodaqoh dari mayit. Jika memang shodaqoh, mengapa harus sampai berhutang? Padahal, hutang bisa menyebabkan ruh mayit tertahan, hingga ditunaikan hutangnya.

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

Jiwa (ruh) seorang mukmin tergantung (tertahan) dengan hutangnya hingga ditunaikan (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah).

Padahal, mereka berhutang bukan untuk sesuatu yang sebenarnya sunnah, tapi justru dianggap oleh Sahabat Nabi sebagai meratap (telah lewat pembahasan tentang ancaman Nabi terhadap orang-orang yang meratap).

Nasehat juga untuk yang datang bertakziyah. Janganlah mengharapkan mendapatkan hidangan makanan di rumah duka. Sebagian orang, ketika belum makan dan ketepatan akan berangkat takziyah ia berpikir: sudahlah, toh nanti di sana akan disajikan hidangan. Pola pikir semacam itu sudah seharusnya dihilangkan. Tuan rumah tidak perlu mengeluarkan hidangan makanan untuk orang yang bertakziyah, cukup sekedar air minum ala kadarnya jika diperlukan, kecuali jika ada tamu jauh yang kebetulan datang berkunjung. Itupun seharusnya sang tamu juga memaklumi bahwa tuan rumah sedang dalam suasana duka.

Tujuan utama bertakziyah adalah untuk turut berbelasungkawa dan menguatkan keluarga yang ditinggalkan serta menganjurkan untuk bersabar atas taqdir Allah. Takziyah yang diniatkan ikhlas karena Allah dan sesuai bimbingan Rasul-Nya akan mendapatkan pahala yang agung

مَنْ عَزَّى أَخَاهُ الْمُسْلِمَ فِي مُصِيبَةٍ، كَسَاهُ اللهُ حُلَّةً خَضْرَاءَ يُحْبَرُ بِهَا

Barangsiapa yang bertakziyah (menghibur) saudaranya muslim dalam musibah, Allah akan memakaikan pakaian hijau yang diinginkan oleh orang-orang yang melihatnya (H.R al-Baihaqy dalam Syuabul Iman)

Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan petunjuk kepada kaum muslimin untuk menjalankan amalan-amalan yang sesuai dengan Sunnah Nabi-Nya.

BACAAN DOA ZIARAH KUBUR

481- وَعَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى المقَابِرِ: – اَلسَّلَامُ عَلَى أَهْلِ اَلدِّيَارِ مِنَ اَلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ, وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اَللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ, أَسْأَلُ اَللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ – رَوَاهُ مُسْلِم

dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya radhiyallaahu anhuma beliau berkata: Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam mengajarkan kepada mereka jika keluar menuju kuburan untuk mengucapkan: Assalaamu alaikum ahlad diyaar minal mu’miniina wal muslimiin wa innaa insyaa Allah Ta’ala bikum Laahiquun, Nas-alullaaha lanaa wa lakumul ‘aafiyah (Semoga keselamatan untuk kalian wahai penghuni kubur mu’miniin dan muslimiin dan insyaAllah kami akan menyusul. Kami meminta afiat kepada Allah untuk kami dan kalian)(riwayat Muslim).

482- وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – مَرَّ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِقُبُورِ اَلْمَدِينَةِ, فَأَقْبَلَ عَلَيْهِمْ بِوَجْهِهِ فَقَالَ: “اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ اَلْقُبُورِ, يَغْفِرُ اَللَّهُ لَنَا وَلَكُمْ, أَنْتُمْ سَلَفُنَا وَنَحْنُ بِالْأَثَرِ” – رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَقَالَ: حَسَن ٌ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma beliau berkata: Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam melewati kuburan Madinah, kemudian beliau menghadapnya dan berkata: Assalaamu alaikum Yaa Ahlal Qubuur yaghfirullaahu lanaa wa lakum. Antum salafunaa wa nahnu bil atsiri (semoga keselamatan untuk kalian wahai penghuni kubur, semoga Allah mengampuni kami dan kalian. Kalian adalah pendahulu kami dan kami mengikuti)(riwayat atTirmidzi dan beliau menyatakan: hasan)

PENJELASAN:

Hadits nomor 481 dan 482 adalah tentang bacaan yang dibaca saat ziarah kubur, yaitu ucapan salam untuk penghuni kubur muslim.

Melepaskan Alas Kaki Ketika Memasuki Pekuburan

Disunnahkan melepaskan alas kaki saat akan berjalan di antara pekuburan. Nabi pernah melihat seseorang berjalan di atas pekuburan dengan menggunakan sandal dari kulit. Beliau menegur dengan keras dan memerintahkan untuk melepaskan sandalnya.

Disebutkan dalam hadits:

فَبَصُرَ بِرَجُلٍ يَمْشِي بَيْنَ الْمَقَابِرِ فِي نَعْلَيْهِ فَقَالَ وَيْحَكَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ أَلْقِ سِبْتِيَّتَكَ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَ نَعْلَيْهِ

Kemudian Nabi melihat seorang laki-laki berjalan di antara pekuburan dengan menggunakan sandal. Nabi bersabda: Celaka engkau, wahai pemilik dua sandal dari kulit, lemparkan kedua sandalmu. Nabi menyebutkan hal itu dua kali atau tiga kali. Kemudian laki-laki itu melihat (kea rah sumber suara). Ketika ia melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ia kemudian melepas kedua sandalnya (H.R Ahmad, Abu Dawud, anNasaai, Ibnu Majah, al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albany)

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyetakan: Saya katakan: Bisa saja larangan itu (memakai sandal di atas pekuburan) adalah untuk memulyakan mayit sebagaimana larangan duduk di atas kubur. Bukanlah penyebutan sandal dari kulit (as-sibtiyyataini) sebagai pengkhususan. Akan tetapi kejadiannya bersamaan dengan itu. Sesunguhnya larangannya adalah berjalan di atas kubur dengan menggunakan sandal (Fathul Baari syarh Shohih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-‘Asqolaany juz 10 halaman 309)

 
LARANGAN MENCELA ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

483- وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ, فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا – رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ ُ . وَرَوَى اَلتِّرْمِذِيُّ عَنِ اَلمُغِيرَةِ نَحْوَهُ, لَكِنْ قَالَ: – فَتُؤْذُوا الْأَحْيَاءَ –

Dari Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata: Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bersabda: Janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, karena telah lewat apa yang sudah mereka perbuat (riwayat alBukhari).  Dan diriwayatkan oleh atTirmidzi dari alMughirah radhiyallaahu anhu semisalnya, akan tetapi ada lafadz: sehingga kalian menyakiti yang masih hidup

PENJELASAN:

Nabi shollallahu alaihi wasallam memberi bimbingan adab untuk tidak mencela orang yang sudah meninggal dunia. Karena orang yang mati sudah berlalu amal perbuatannya. Nabi juga melarang mengungkit-ungkit kesalahan dari orang yang sudah mati kepada teman dekat atau karib kerabatnya karena itu menyakiti mereka yang masih hidup.

Tidak termasuk larangan ini adalah ilmu jarh wat ta’dil dalam ilmu hadits. Tidak mengapa menyebutkan keadaan perawi-perawi yang lemah, suka berdusta, dan sebagainya sebagai bentuk penjagaan terhadap syariat (Lihat Syarh Bulughil Maram li Athiyyah Muhammad Salim)