Qiyamul Lail (sholat malam)

Qiyamul Lail (sholat malam)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ditulis OLeh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Sesungguhnya qiyamul lail (sholat malam) adalah kemulyaan bagi kaum beriman dan merupakan amalan yang bisa memasukkan seseorang ke dalam Jannah.

Jibril berkata:

يَا مُحَمَّدُ شَرَفُ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ

Wahai Muhammad, kemuliaan seorang mukmin adalah qiyaamul lail (H.R atThobarony, dishahihkan al-Hakim dan disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahaby)

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرْفَةً يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا فَقَالَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ لِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَلَانَ الْكَلَامَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَبَاتَ لِلَّهِ قَائِمًا وَالنَّاسُ نِيَامٌ

Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang bisa terlihat bagian luarnya dari dalamnya dan bagian dalamnya dari luarnya. Abu Musa bertanya: Untuk siapa itu wahai Rasulullah? Rasul bersabda: untuk orang yang baik (lembut) dalam ucapannya, memberi makan, dan begadang di waktu malam dengan qiyaamul lail pada saat manusia tertidur (H.R Ahmad, atThobarony, Abu Ya’la, dishahihkan al-Hakim, dan dinyatakan sanadnya hasan oleh al-Bushiry dan al-Mundziri).

أَفْشُوا السَّلَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

Sebarkan salam, berilah makan, sholatlah (di waktu malam) pada saat manusia tidur, niscaya kalian masuk ke dalam surga dengan selamat (H.R atTirmidzi, dishahihkan al-Hakim dan disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahaby)

Bahkan qiyaamul lail bisa menjadi sebab seseorang terselamatkan dari adzab anNaar. Pada saat Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) sedang tidur di masjid waktu beliau masih bujang, beliau bermimpi dibawa oleh dua Malaikat menuju ke arah anNaar, hingga beliau berdoa kepada Allah: Aku berlindung kepada Allah dari anNaar, beliau ucapkan itu tiga kali. Kemudian beliau bertemu dengan satu Malaikat lagi yang menyatakan: janganlah takut, karena engkau adalah seorang yang sholih (baik). Kemudian Ibnu Umar bangun dari tidurnya, dan keesokan harinya ia ceritakan hal itu kepada Hafshah (saudara perempuannya yang merupakan istri Nabi shollallahu alaihi wasallam). Hafshah menceritakan mimpi Abdullah bin Umar itu kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam.

Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam kemudian bersabda:

إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ رَجُلٌ صَالِحٌ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ

Sesungguhnya Abdullah adalah seorang yang sholih kalau seandainya ia sholat malam (H.R al-Bukhari no 6510)

Dalam riwayat lain Nabi menyatakan:

نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ

Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah (bin Umar) jika dia sholat malam (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Sejak saat itu, Abdullah bin Umar senantiasa menjaga qiyaamul lail. Tidak tidur di waktu malam kecuali sedikit.

Ibnu Batthol di dalam syarh Shahih al-Bukhari menjelaskan: di dalam hadits ini (terdapat faidah) bahwa qiyaamul lail bisa menyelamatkan seseorang dari anNaar.

Sangat banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan qiyaamul lail yang menunjukkan semestinya kita bersemangat dalam mengerjakannya.

Janganlah seseorang menyengaja meninggalkan qiyaamul lail kecuali karena sebab sakit, capek yang sangat, safar, dan udzur lain. Semestinya seseorang ketika akan tidur malam ia berniat untuk bangun qiyaamul lail. Kalau ternyata sudah berniat bangun namun ketiduran, Alhamdulillah itu shodaqoh dari Allah, tercatat kita melakukan qiyaamul lail (padahal tidur).

مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ فَيُصَلِّيَ مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنُهُ حَتَّى يُصْبِحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ

Barangsiapa yang mendatangi tempat tidurnya dalam keadaan berniat ia akan bangun qiyaamul lail (sholat malam) kemudian dikalahkan oleh perasaan kantuk hingga pagi, maka tercatat apa yang diniatkannya. Dan tidurnya adalah shodaqoh dari Tuhannya (H.R Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh al-Albany)

Kalau seandainya dalam dugaan kuat ia tidak akan bisa bangun sebelum Subuh, maka ia bisa melakukan qiyaamul lail (witir) sebelum tidur. Sebagaimana wasiat Nabi shollallahu alaihi wasallam kepada tiga orang Sahabat: Abu Hurairah, Abu Dzar, dan Abud Darda’ radhiyallahu anhum :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata: Kekasihku (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam berwasiat kepadaku 3 hal: Puasa tiga hari tiap bulan, dua rokaat di waktu Dhuha, dan berwitir sebelum aku tidur (H.R al-Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ أَوْصَانِي حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثَةٍ لَا أَدَعُهُنَّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَبَدًا أَوْصَانِي بِصَلَاةِ الضُّحَى وَبِالْوَتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَبِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ

Dari Abu Dzar –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Orang yang aku cintai (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam berwasiat kepadaku 3 hal yang aku insyaAllah tidak akan meninggalkannya selama-lamanya. Ia mewasiatkan kepadaku dengan sholat Dhuha dan witir sebelum tidur dan puasa 3 hari pada setiap bulan (H.R anNasaai, dishahihkan al-Albany)

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ أَوْصَانِي حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَبِأَنْ لَا أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ

Dari Abud Darda’ radhiyallahu anhu beliau berkata: Orang yang aku cintai (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam berwasiat kepadaku 3 hal yang aku tidak akan meninggalkannya sepanjang hidupku: Puasa 3 hari tiap bulan, sholat Dhuha, dan agar aku tidak tidur hingga aku melakukan witir (H.R Muslim)

Jika seseorang menyengaja meninggalkan sholat witir secara terus menerus, maka ia adalah seorang yang jelek, yang tidak diterima persaksiaannya, menurut al-Imam Ahmad (lihat al-Mughni karya Ibnu Qudaamah (3/378), as-Showaa-‘iqul Mursalah karya Ibnul Qoyyim (4/1348)), syarh Riyadhis Sholihin libni Utsaimin).

Maka yang harus dilakukan adalah berusaha untuk selalu melakukan qiyaamul lail, dan berjuang berjihad melawan hawa nafsu menolak perasaan ‘ujub dalam diri. Kita harus menyadari bahwa belum tentu sholat yang kita lakukan diterima oleh Allah, maka apa yang menyebabkan kita merasa bangga dengan amalan kita kalau amalan itu belum tentu diterima? Karena itu disunnahkan untuk memperbanyak istighfar di akhir malam (di waktu sahur) setelah kita melakukan qiyaamul lail, salah satunya sebagai bentuk pengakuan demikian kurangnya ibadah sholat malam yang kita persembahkan kepada Allah tersebut.

Jika ada pernyataan: Bukankah yang rajin qiyaamul lail tidak mesti masuk surga? Jawabannya ya, tidak mesti masuk Surga. Jika yang qiyaamul lail saja belum tentu masuk Surga, apalagi yang tidak qiyaamul lail.

Perlu dipahami, bahwa qiyaamul lail adalah Sunnah Muakkadah. Jika seseorang gemar melakukan yang sunnah-sunnah (nafilah), tapi ia melakukan dosa besar dengan mengerjakan yang haram atau meninggalkan kewajiban, maka ia terancam dengan anNaar. Contohnya adalah seorang yang ahli ibadah suka mengerjakan yang nafilah (sunnah) tapi sering menyakiti tetangga (yang itu dosa besar), maka ia terancam dengan anNaar. Demikian juga orang yang banyak puasa sunnah, banyak qiyaamul lail, tapi ia tidak pernah sholat Jumat padahal ia seorang laki-laki, maka ia terancam dengan anNaar. Kondisi mereka itu masih kalah dengan orang yang hanya mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram, meski kurang dalam hal nafilah.

Berikut ini adalah dalilnya :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ فُلَانَةَ تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَتَصُوْمُ النَّهَارَ ، وَتَصَدَّقَ وَتَفْعَلَ ، وَتُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا خَيْرَ فِيْهَا ، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ. قَالُوْا : وَفُلَانَةُ تُصَلِّي الْمَكْتُوْبَةَ وَتَصَدَّقَ بِأَثْوَارٍ وَلَا تُؤْذِي أَحَدًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Ditanyakan kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam : Sesungguhnya fulaanah sering qiyaamul lail dan puasa di siang hari, bershodaqoh, dan melakukan amalan-amalan, tapi ia menyakiti tetangganya dengan lisannya. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Tidak ada kebaikan padanya. Ia termasuk penduduk anNaar. Mereka berkata: dan fulaanah yang sholat lima waktu, bershodaqoh dengan keju, dan ia tidak menyakiti siapapun, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: ia termasuk penduduk Jannah (H.R Ahmad, al-Bukhari dalam Adabul Mufrod, dinyatakan sanadnya shahih oleh al-Bushiriy dan dishahihkan al-Albany)

وَسُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ رَجُلٍ يَصُومُ النَّهَارَ وَيَقُومُ اللَّيْلَ لَا يَشْهَدُ جُمْعَةً وَلَا جَمَاعَةً قَالَ هُوَ فِي النَّارِ

Dan Ibnu Abbas ditanya tentang seorang laki-laki yang sering berpuasa di siang hari dan melakukan qiyaamul lail di malam hari tapi ia tidak menghadiri sholat Jumat dan sholat berjamaah (di masjid), Ibnu Abbas menyatakan: dia di anNaar (Sunan atTirmidzi)

Dua dalil di atas memberikan faidah kepada kita untuk jangan hanya semangat pada hal-hal yang nafilah saja dan melupakan sesuatu yang nilainya lebih substansial yaitu melakukan kewajiban dan menjauhi larangan. Seorang semangat puasa sunnah, dan qiyaamul lail, tapi ia meremehkan masalah isbal, celana atau sarungnya dibiarkan melewati mata kaki, padahal itu dosa besar. Atau, pihak yang semangat mendakwahkan hal-hal yang nafilah: sholat sunnah, shodaqoh sunnah, membaca al-Quran. puasa sunnah, tebarkan salam, cara makan yang sunnah, dan sebagainya, tapi ia melalaikan hal-hal yang wajib seperti Tauhid. Ia biarkan orang berbuat kesyirikan: berdoa kepada selain Allah, menyembelih untuk selain Allah, memakai jimat, tathoyyur, dan seterusnya. Itu adalah kesalahan.

?Jika ada pernyataan : Bukankah terdapat beberapa kisah para Salaf yang lebih mementingkan amalan lain dibandingkan qiyaamul lail?

Jawabannya: Ya. Namun, itu tidak menunjukkan bahwa mereka meremehkan qiyaamul lail.

✅Pertama, Kejadian itu hanya terjadi sehari atau beberapa hari saja, dan mereka memilih untuk tidak mengerjakan qiyaamul lail pada saat itu karena ada urusan lain yang lebih penting yang tidak bisa ditunda. Contoh, saat kaki ibunya sakit, ia memijit kaki ibunya sepanjang malam dan ia menganggap itu lebih baik dibanding qiyaamul lail pada saat itu. Bukan berarti ia meninggalkan qiyaamul lail di waktu yang lain juga. Hanya saja ia tinggalkan qiyaamul lail pada waktu itu karena ada yang jauh lebih penting untuk didahulukan, yaitu berbakti kepada ibu yang itu adalah wajib.

Contoh lain, kisah menginapnya al-Imam asy-Syafi’i di rumah al-Imam Ahmad. Pada malam itu air wudhu’ yang disediakan untuk qiyaamul lail tidak terjamah. Menunjukkan bahwa al-Imam asy-Syafi’i tidak melakukan qiyaamul lail. Tapi begadangnya al-Imam asy-Syafii itu adalah karena beliau sedang mengkaji permasalahan ilmu. Beliau tadabbur ayat al-Quran hingga melahirkan istinbath yang begitu banyak hingga Subuh. Hal itu bukan sesuatu yang disengaja untuk meninggalkan qiyaamul lail, namun untuk melakukan amalan yang lebih penting yang tidak bisa ditunda. Bisa jadi ada pertanyaan yang beliau harus jawab keesokan harinya, padahal beliau sedang tidak berada di rumah. Maka terkumpulkannya faidah malam itu dari hasil tadabbur adalah suatu hal yang tidak boleh disia-siakan dan ditunda serta perlu segera dicatat. Tapi karena demikian asyiknya dengan lezatnya ilmu itu hingga tanpa sadar sudah masuk waktu Subuh belum sempat qiyaamul lail.

Hal yang demikian kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh al-Imam al-Bukhari. Dalam suatu malam beliau akan tidur, tapi teringat suatu hadits, kemudian beliau nyalakan lampu dan beliau catat hadits itu. Ketika akan tidur lagi, beliau ingat satu hadits lagi, yang faidahnya sayang untuk dilewatkan, maka beliau nyalakan lampu lagi, kemudian catat lagi, demikian seterusnya. Hingga hal itu berlangsung belasan kali.

Maka apa yang dilakukan asy-Syafii pada waktu itu bukanlah kesengajaan untuk meninggalkan qiyaamul lail, tapi mengerjakan hal lain yang lebih utama – karena menuntut ilmu adalah lebih utama dibandingkan sholat malam- hingga ternyata tanpa sengaja qiyaamul lail akhirnya terlewatkan.

✅Kedua, tersebutkan dalam riwayat yang lain bahwa Ulama Salaf itu memakmurkan malamnya di waktu-waktu yang lain dengan qiyaamul lail.

Contohnya al-Imam asy-Syafii. Beliau menghidupkan sepertiga malam dengan sholat.

arRabi’ bin Sulaiman menyatakan:

كان الشافعي قد جزأ الليل ثلاثة أجزاء الثلث الأول يكتب والثلث الثاني يصلي والثلث الثالث ينام

Asy-Syafi’i membagi malam menjadi 3 bagian: Sepertiga yang pertama menulis (ilmu), sepertiga yang kedua sholat, dan sepertiga yang ketiga tidur (riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyaa’ (9/135)).

Demikian, semoga bermanfaat…

wa Al I’tishom