Perbedaan Antara Kondisi Dakwah Dengan Ada dan Tidaknya Daulah (Negara) Islam (bagian 2)

Perbedaan Antara Kondisi Dakwah Dengan Ada dan Tidaknya Daulah (Negara) Islam (bagian 2)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

adapun pertanyaan yang kedua: “Inilah keterangan Imam Asy Syaukani yang mengomentari pernyataan penulis “Hadaiqul Azhar” yang mengatakan: “Tidak sah adanya dua imam.”

beliau mengatakan:

“Saya tegaskan: “Apabila Imamah Islamiah khusus pada satu orang, semua permasalahan terpulang padanya, diatur olehnya sebagaimana masa-masa sahabat dan tabi’in serta tabi’ut tabi’in, maka ketetapan syariat yang berlaku bagi (penguasa) yang kedua setelah tegaknya kekuasaan pemimpin yang pertama, harus dibunuh kalau dia tidak bertaubat dari sikap memberontaknya (melepaskan diri dari ikatan bai’at). “Sampai pada keterangan beliau:

“Adapun setelah tersebar dan meluasnya ajaran islam keseluruh penjuru dunia, maka jelas bahwa masing-masing wilayah mempunyai satu kekuasaan dan pemimpin sendiri. dan tidak berlaku pada satu wilayah perintah dan larangan bagi wilayah lain. sehingga tidaklah mengapa adanya sejumlah penguasa atau imam yang wajib ditaati setelah dia dibai’at oleh penduduk masing-masing wilayah tersebut, dan berlaku semua perintah dan larangannya.”

dalam menegaskan hal ini, Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab mengatakan:

“Para Imam dari masing-masing madzhab sepakat bahwa siapapun yang menguasai salah satu wilayah, ketetapan hukumnya sebagai imam berlaku dalam setiap perkara. kalau tidak demikian, tentulah kehidupan dunia ini tidak akan berjalan dengan baik. karena manusia, sepanjang sejarah perkembangannya sebelum Imam Ahmad hingga hari ini, tidak pernah bersatu di bawah satu orang imam. mereka tidak menemukan adanya seorang imam yang menerangkan sebagian hukum yang tidak sah (diberlakukan) kecuali dengan Imamul ‘Azham (Imam besar, pemimpin seluruh kaum muslimin di dunia –ed).

di dalam uraian Imam asy syaukani terdapat keterangan tentang pengertian imam dalam suatu jama’ah. yaitu, seorang imam yang dibai’at oleh ahlul hilli wal ‘aqdi di salah satu wilayah yang ada.

maka wajib atas setiap penduduk suatu wilayah untuk mambai’at dan menaati seseorang yang memimpin Negara atau wilayah tersebut. sebagaimana yang terjadi di zaman sekarang ini.

melalui perincian yang telah lalu maka saya nyatakan bahwa siapapun yang memperhatikan dengan sesame dan menimbang dengan pemikiran yang jauh dari sentiment perasaan apalagi fanatisme buta, serta betul-betul menempatkan kemaslahatan islam dan muslimin di atas segala-galanya, akan melihat bahwa keadaan yang menimpa ummat ini terbagi tiga, yaitu:

yang pertama, mereka yang wilayah (Negara)-nya bukan Negara islam. seperti mereka yang berdomisili di Eropa, Amerika dan sebagian Asia atau lainnya.

yang kedua, mereka yang negaranya adalah Negara islam. seperti Negara muslim murni, baik penguasa maupun rakyatnya, serta yang bukan termasuk golongan pertama.

yang ketiga, mereka yang tidak mempunyai Negara sama sekali.

dari fitnah yang terjadi di antara mereka disebabkan karena tidak adanya penguasa yang tidak ditaati. karena itulah sebagian ulama menafsirkan fitnah itu dengan tidak adanya penguasa. sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar dalam uraiannya tentang fitnah (Al Fath 13/31).

“ Yang dimaksud dengan fitnah di sini ialah segala sesuatu yang muncul karena perselisihan dalm mencari kekuasaan sehingga tidak lagi dikenal mana yang berhak mana yang tidak.”

jadi, apabila satu wilayah kosong dari penguasa yang ditaati maka fitnah akan semakin hebat, kejahatan menyebar dan menimpa seluruh lapisan masyarakat yang jauh maupun dekat. Imam Ahmad mengatakan (Thabaqat al Hanabilah (1/311):

“ Fitnah terjadi apabila tidak ada seorang imam yang mengatur urusan kaum muslimin.”

karena itu pula hal ini menjadi alas an bagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika membantah kaum rafidhah dalam keyakinan mereka tentang Al Mahdi Al Muntazhar (Imam Mahdi yang dinantikan), yang selalu mereka tunggu-tunggu keluarnya di gua Sirdab. beliau mencela mereka karena tidak memikirkan kemaslahatan yang dengan kemaslahatan itulah ditetapkannya imamah (kepemimpinan, kekuasaan). kata beliau (Minhajus sunnah 1/115):

 ( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)