Perbedaan Antara Dakwah Terhadap Orang Yang Jahil (Tidak Berilmu) Dan Ahlil Hawa (Ahli Bid’ah) (bag.1)

Perbedaan Antara Dakwah Terhadap Orang Yang Jahil (Tidak Berilmu) Dan Ahlil Hawa (Ahli Bid’ah) (bag.1)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Sesungguhnya orang yang meneliti sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam merenungkan dan memikirkannya. Begitu juga dengan jalan para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, niscaya akan melihat bahwa mereka betul-betul mempunyai manhaj yang kokoh.  Dalam sikap mutaba’ah ini terdapat garis tegas yang memisahkan dakwah orang yang jahil dan ahli bid’ah serta orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (dengan dakwah Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam dan para pengikutnya -ed).

Perbedaan sangat menyolok terjadi antara mereka yang kesalahannya itu karena kejahilan dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj ahli bid’ah, yang akibatnya adalah kesalahan dan ketergelinciran.

Maka, kita lihat para pendahulu kita biasanya mengajari orang yang jahil, dan menegakkan hujjah di hadapan ahli bid’ah yang keras kepala dan sombong.

Mari kita perhatikan bagaimana nash-nash dari ayat dan hadits berikut ini untuk memahami hal ini:

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari hadits Anas , katanya:”tatkala kami duduk di masjid bersama Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam, tiba-tiba datang seorang Arab badui (dusun) kemudian bawl (buang air kecil) di dalam masjid. Para sahabat Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam menegur:”Hus. Hus.” Anas berkata lagi:”Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam bersabda:

“Jangan kalian putuskan dia (dari bawlnya). Biarkan dia.” Merekapun membiarkannya sampai selesai. Kemudian Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam memanggilnya dan berkata kepadanya:” Sesungguhnya mesjid ini tidak layak baginya apapun seperti bawl dan kotoran. Mesjid ini adalah untuk dzikir mengingat Allah ,shalat dan membaca Al-Quran.” (HR. Muslim ).

Coba perhatikan manhaj nabawi yang lurus ini. Bagaimana beliau memulai melalui pendidikan dan bimbingan karena jahilnya mad’u dan tidak memiliki ilmu tentang hukum syari’at dalam masalah tersebut.

Demikian juga yang disebutkan oleh Imam Muslim dari hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam As Sulami . ia berkata:

“Ketika saya sedang shalat bersama Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam, tiba-tiba ada seseorang yang bersin, segera saya berkata : (semoga Allah merahmatimu). Ternyata mereka melihat kepada saya, lalu saya berkata:”Aduh, malangnya ibuku. Apa urusan kalian melihat kepada saya?”Mereka memukulkan tangan ke paha mereka masing-masing. Setelah Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam selesai shalat. Sungguh bapak dan ibukujadi tebusan beliau, saya tidak pernah melihat seorang pendidik sebelum dan sesudah beliau yang lebih baik didikannya dibandaingkan beliau. Demi Allah beliau tidak membentakku, tidak memukulku dan tidak pula mencercaku. Beliau berkata: “Sesungguhnya shalat ini tidak pantas di dalamnya sedikitpun ucapan manusia. Shalat itu isinya tasbih, takbir dan membaca Al Quran.”

Perhatikanlah wahai para da’i. Bagaimana kebiasaan Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam bersama kaum muslimin yang (masih) jahil yang terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah. Atau melakukan sesuatu yang menyelisihi syari’at Islam karena kebodohan mereka. Maka sudah menjadi kebiasaan beliau Shalallahu’alaihiwassalam untuk memberikan pendidikan kepada mereka, menerangkan al haq beserta dalil-dalilnya dengan sikap lemah lembut.

Oleh sebab itu wajib bagi seorang da’i  untuk menjadi seorang yang penyayang, pengasih dan santun kepada para mad’unya. Tetap mengharapkan hidayah buat mereka. Senantiasa bermuamalah dengan sesama manusia sesuai menurut keadaan mereka masing-masing. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam yang patut diteladani.

Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam betul-betul seorang yang paling besar kasih sayangnya kepada sesama manusia. Ketika seorang Arab badui tiba-tiba berada di hadapan Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam yang sedang tidur, lalu menghunuskan pedangnya sambil berkata: “ siapa yang akan menyelamatkanmu dari saya?”

Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam berkata:”Allah.”

Pedang di tangan badui itu terlepas,segera Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam mengambilnya dan berkata: “Siapa yang akan menyelamatkanmu dari saya?”

Ternyata Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam tidak menghukumnya bahkan memaafkannya. Akhirnya dia masuk islam.

Perhatikanlah bagaimana kasih sayang Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam kepada mad’u, besar keinginan beliau agar mereka memperoleh kebaikan, sehingga hal ini kemudian menjadi salah satu sebab mendapat hidayahnya orang yang diajaknya (kepada islam). Selanjutnya, kejadian ini menjadi satu metode yang sangat berpengaruh dan bermanfaat untuk diterimanya sebuah dakwah. Maka, tidak mungkin membuka hati manusia menerima dakwah kecuali dengan cara-cara nubuwwah yang bersumber dari rasa cinta agar manusia itu memperoleh kebaikan dan mendapat hidayah.

Jadi , kalau didikan dengan cara lemah lembut kepada orang yang  jahil,berdialog bersama mereka dengan cara yang baik dalam setiap hal akan mendorong disambutnya dakwah, maka wajib bagi seorang da’i untuk menempuh metode yang demikian. Sebab tidak akan sempurna satu kewajiban dalam dakwah ini kecuali dengan perkara tersebut, maka perkara tersebut menjadi wajib pula hukumnya.

( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)