PENTINGNYA MENJAGA HUBUNGAN DAN SALING MENGUNJUNGI DI MASA FITNAH

PENTINGNYA MENJAGA HUBUNGAN DAN SALING MENGUNJUNGI DI MASA FITNAH

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Asy-Syaikh Muhammad bin bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah

Wahai segenap ikhwah, sesungguhnya saling berjumpa dan saling mengunjungi diantara ikhwah secara umum dan diantara para penuntut ilmu para pengikut manhaj yang benar memiliki berbagai faedah yang banyak, ditambah dengan apa yang baru saja kami sebutkan berupa pahala khusus yang akan dirasakan pada agamanya.

Diantara faedah-faedah ini adalah:

# Keakraban dan ikatan yang kuat.

Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Sesungguhnya seorang mu’min terhadap mu’min yang lainnya seperti bangunan yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” [1]

Jadi sering bertemu dengan ikhwah akan menjadikan dirimu mengenal mereka dan mereka juga mengenal dirimu, sehingga engkau mengetahui keadaan mereka dan mereka juga mengetahui keadaanmu. Apa yang engkau butuhkan maka mereka bisa membantumu dan apa yang mereka butuhkan engkau bisa membantu mereka. Masing-masing bisa membantu saudaranya, merasakan kebutuhannya, mengetahui keadaan yang sakit, mengetahui keadaan yang lemah, mengetahui keadaan yang memiliki kebutuhan, mengetahui siapa yang sedang tertimpa musibah, mengetahui keadaan orang yang lemah agamanya, mengetahui keadaan orang yang lemah keistiqamahan akhlaknya, mengetahui keadaan orang yang lemah amalnya, dan seterusnya. Jadi sebagian ikhwah akan menjadi kuat dengan sebagian yang lain disebabkan saling mengunjungi ini. Yang kuat akan mendorong yang lemah, yang di depan akan menunggu yang datang belakangan, dan yang di belakang bisa jadi dia sendiri akan bangkit semangatnya ketika dia melihat saudara-saudaranya hampir-hampir meninggalkannya, sehingga dia terlecut semangatnya. Ini termasuk keistimewaan dari saling berkunjung.

# Diantara keistimewaannya juga adalah saling menyayangi.

Sebagaimana yang telah kita ketahui semua bahwasanya permisalan orang-orang yang beriman:

فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.

“Dalam hal saling menyayangi dan saling mencintai, mereka seperti satu badan, jika salah satu anggota badan mengeluh karena sakit, maka seluruh badan akan ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan mengalami demam.”  [2]

Jadi dia akan ikut merasa sedih karena kesedihan yang menimpa saudaranya, merasa letih karena keletihan yang menimpa saudaranya, merasa ikut sakit karena sakit yang dirasakan oleh saudaranya, dan dia akan memiliki perhatian terhadap kebutuhan saudaranya, sehingga dari sisi ini dia akan berdiri bersama saudaranya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkan penderitaannya. Tanpa semua itu tentu seseorang tidak akan mengetahui keadaan saudara-saudaranya. Jadi menjaga hubungan memiliki buah yang banyak dan besar, dan ini termasuk yang paling pentingnya.

# Menjaga ukhuwwah (persaudaraan) diantara mereka.

Karena para penuntut ilmu dan para dai yang mendakwahkan agama Allah Jalla wa Ala mereka di atas manhaj yang benar. Mereka adalah para penjaga dan para dai. Penjaga harta modal dan orang-orang yang mengajak untuk memasukkan keuntungan ke dalam modal tersebut. Jadi mereka adalah penjaga modal yang telah mereka dapatkan dan mereka adalah anak-anak dakwah ini yang tumbuh dan terdidik dalam dakwah. Mereka inilah yang esok hari ditunggu dari mereka agar mereka menjadi para dai dan pengajar. Jadi mereka ini ketika sebagian mereka saling mengunjungi sebagian mereka kepada sebagian yang lainnya maka sebagian mereka akan menjaga sebagian yang lain. Permisalan bagi hal tersebut telah dibuatkan untuk kita oleh pemimpin para makhluk shallallahu alaihi was sallam dengan hewan yang paling lemah di hadapan musuhnya yang paling buas dan paling jahat. Yaitu domba yang merupakan hewan paling lemah di hadapan serigala. [3] sifat serigala adalah dia tidak akan mendatangi domba yang sedang bersama kelompoknya, tetapi dia hanya akan mendatangi domba yang tersesat dan tercecer dari rombongannya, atau yang tertinggal paling belakang yang hampir-hampir dianggap menyendiri atau keluar dari rombongannya. Ketika itu serigala akan dengan mudah menerkamnya. Seandainya serigala tersebut menerkam seekor domba di tengah-tengah gerombolannya yang banyak, bisa jadi dia akan ditanduk oleh domba-domba yang banyak itu. Hal ini seperti pepatah yang mengatakan:

الْكَثْرَةُ تَغْلِبُ الشَّجَاعَةَ.

“Jumlah yang banyak bisa mengalahkan keberanian.”

Walaupun domba tersebut lemah, namun dengan teman-temannya yang banyak dia bisa menjadi kuat. Maka demikian juga seorang muslim dia akan lemah jika mengandalkan dirinya sendiri, namun akan kuat dengan bantuan saudara-saudaranya. Dan seorang hamba tidak akan mengklaim dirinya memiliki kesempurnaan, tidak akan mengklaim dirinya ma’shum, dan tidak pula dirinya merasa aman dari fitnah. Dia tidak merasa sempurna karena barangsiapa mengklaimnya maka dia dusta, tidak pula merasa ma’shum karena barangsiapa mengklaimnya maka dia kafir, dan juga dia tidak merasa tidak akan terkena fitnah atau tidak akan didatangi oleh fitnah.

Jadi jika perkaranya demikian, maka dia membutuhkan saudara-saudaranya, dan kebutuhannya kepada saudara-saudaranya dalam urusan agamanya lebih penting dibandingkan kebutuhannya kepada mereka dalam urusan dinar dan dirham. Hal itu karena saudara-saudaramu merekalah yang akan meluruskanmu, membantumu, mengokohkanmu, dan juga menyempurnakanmu. Jika mereka melihat kekurangan pada dirimu, mereka akan mendorongmu untuk meraih kesempurnaan dan menutupi kekurangan tersebut. Jika mereka melihat kesalahan pada dirimu maka mereka yang akan menunjukkan mana yang benar dan meluruskannya. Jika mereka melihat kelemahan pada dirimu maka mereka akan membantumu, jika mereka melihat kekurangan pada dirimu maka mereka akan menutupimu dan mengembalikan dirimu kepada kebenaran dan jalan yang lurus. Mereka inilah saudara yang sebenarnya. Seorang saudara yang suka memberi nasehat dialah yang kedudukannya bagi dirimu seperti kedudukan ruh, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khathib (Al-Baghdady) dalam kitab Al-Mihrawaniyat dan Ibnu Abdi Rabbih dalam kitab Al-Aqd:

هُمُوْمُ أُنَاْسٍ فِيْ فُنُوْنٍ كَثِيْرَة وَهَمِّيْ فِي الدُّنْيَا صَدِيْقٌ مُسَاعِدُ

نَكُوْنُ كرُوْحٍ بَيْنَ شَخْصَيْنِ قُسِّما فَجِسْمَاْهُمَاْ جِسْمَاْنِ وَالرُّوْحُ وَاْحِد

Kesedihan manusia muncul pada banyak perkara

Sedangkan kesedihanku di dunia adalah teman yang membantu

Kami seperti satu ruh yang dibagi untuk dua jasad

Jasad keduanya memang dua tetapi ruhnya hanya satu

Dia inilah saudaramu yang sebenarnya. Kesedihan manusia pada banyak perkara dunia, tetapi kesedihan orang ini apa? Saudara, teman, dan yang membantunya. Ruhnya seperti ruhmu, jiwanya adalah jiwamu, dirinya adalah dirimu, keinginannya adalah keinginanmu, apa yang dia hadapi adalah apa yang sedang engkau hadapi. Kami seperti satu ruh yang dibagi untuk dua jasad, jasad keduanya memang dua tetapi ruhnya hanya satu. Mereka itulah saudara-saudara yang jujur.

Hanya saja persaudaraan yang jujur ini –ya ikhwati- tidak akan terwujud kecuali dengan saling menjaga ikatan, tidak akan terwujud kecuali dengan saling memperhatikan, tidak akan terwujud kecuali dengan selalu menanyakan, tidak akan terwujud kecuali dengan saling bertemu, dan tidak akan mungkin terwujud kecuali dengan hal-hal yang telah kita sebutkan berupa mengerahkan upaya nasehat, mengingatkan, meluruskan, mengarahkan, berusaha menutupi kesalahan pihak yang salah jika kesalahan tersebut hanya diketahui oleh dia dan saudaranya itu atau kesalahannya tersebut tidak menyebar, kemudian berusaha mengembalikannya ke jalan yang benar, demikianlah caranya. Karena sesungguhnya engkau adalah seorang dai, dan seorang dai perhatiannya yang terbesar adalah menyayangi manusia dan berusaha memberikan hidayah bagi mereka.

Oleh karena itulah Allah Jalla wa Ala mensifati Rasul-Nya dengan firman-Nya:

بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ.

“Penuh cinta dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128)

Jadi wajib atas seorang hamba untuk bersikap cinta dan penyayang kepada saudara-saudaranya, lembut dalam bergaul dengan mereka dan pemurah. Sifat-sifat ini semuanya tidak akan mungkin terwujud tanpa ikatan, tanpa jalinan, tanpa perjumpaan, tanpa saling mengunjungi, dan tanpa saling menjaga. Tidak mungkin terwujud tanpa ini semua, sehingga semua ini harus dilakukan.

# Termasuk dari buahnya yang terbesar di samping apa yang telah kita sebutkan adalah menutup celah bagi musuh tersembunyi yaitu syetan yang terkutuk dan para pengikutnya dari kalangan manusia yang Allah ceritakan tentang mereka:

شَيَاطِيْنَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِيْ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ وَلِتَصْغَى إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِالْآَخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوْا مَا هُمْ مُقْتَرِفُوْنَ.

“Yaitu syetan-syetan dari jenis manusia dan dari jenis jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia. Seandainya Rabbmu menghendaki niscaya mereka tidak akan mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan itu. Dan juga agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu dan merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 112-113)

Jadi di sana terdapat syetan-syetan dari kalangan manusia yang sekarang ini mereka membidik anak-anak dakwah Salafiyah yang mereka ini merupakan tentara yang dengan mereka Allah menjaga sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi was sallam. Anak-anak dakwah Salafiyah adalah tentaranya, sedangkan para ulama dakwah Salafiyah adalah para pemimpinnya, dan tentara itu ada di setiap zaman dan tempat. Musuh-musuh dakwah Salafiyah memahami betul hal itu di setiap tempat, sehingga wahai segenap ikhwah –dan saya kira perkara ini tidak tersamar atas banyak dari kalian– mereka pun bersatu di akhir-akhir ini dan mereka mengadakan berbagai pertemuan dan mereka melebur menjadi satu wadah. Hal ini tidak aneh atas mereka sejak zaman dulu. Hanya saja di akhir-akhir ini mereka semua bersatu dengan berbagai latar belakang kelompok dan bid’ah mereka baik yang besar maupun yang kecil. Mereka bersatu untuk menghadapi musuh yang satu yaitu para pemikul manhaj Salaf, para dai yang menyerukan manhaj Salaf, dan para ulama manhaj Salaf.

Dan sangat disayangkan –saya katakan dengan penuh kepahitan dan juga dengan tegas– kita dalam keadaan lemah dan ada sikap meremehkan yang muncul dari kita disebabkan kelemahan kita dan baik sangka kita terhadap diri kita, sehingga tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk merasa dirinya aman dari fitnah, karena Ibrahim alaihis shalatu was salam yang merupakan ayah dari para nabi dan beliau adalah seorang yang ma’shum,

walaupun demikian beliau masih berdoa:

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ.

“Dan jauhkanlah diriku serta anak-anakku agar jangan sampai kami menyembah berhala.” (QS. Ibrahim: 35)

Jadi beliau memohon kepada Rabbnya agar menjaga beliau dari menyembah berhala, padahal beliau adalah seorang nabi yang tentunya ma’shum. Maka bagaimana kiranya dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah beliau?! Bagaimanakah kiranya dengan orang-orang yang tidak ma’shum.

Ibrahim At-Taimy sebagaimana yang kalian ketahui pernah mengatakan:

فَمَنْ يَأْمَنُ الْبَلَاءَ بَعْدَ إِبْرَاهِيْمَ.

“Siapa yang dirinya merasa aman dari bala’ (fitnah dan kesesatan –pent) setelah Ibrahim.”

Footnote:
[1] HR. Al-Bukhary no. 459 dan Muslim no. 4684.
[2] HR. Al-Bukhary no. 5552 dan Muslim no. 4685.
[3] Shahih Abu Dawud no. 547 dan Shahih An-Nasa’iy no. 847.

Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=119887

Alih bahasa: Abu Almass
Selasa, 5 Sya’ban 1435 H

forumsalafy.net