PENJELASAN SYARHUSSUNNAH LIL MUZANI (BAG 8.b)

PENJELASAN SYARHUSSUNNAH LIL MUZANI (BAG 8.b)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ditulis Oleh Ustadz Kharisman

HAKIKAT KEIMANAN

Tidak Ada Amal Kecuali dengan Iman

 

Al-Muzani menyatakan: dan tidak ada amal kecuali dengan Iman.

Tidak akan diterima amal baik perbuatan seseorang jika tidak beriman dengan keimanan yang benar.

Orang yang kafir dengan kufur akbar atau melakukan syirik akbar tidak akan diterima amalannya. Bahkan amalannya yang pernah dilakukan menjadi terhapus.

…وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu bahwa jika engkau berbuat kesyirikan, niscaya akan terhapus amalanmu dan sungguh engkau termasuk orang yang merugi (Q.S az-Zumar:65).

Seseorang harus memiliki keimanan yang benar terhadap seluruh rukun iman yang enam jika ingin amalannya diterima. Sebagai contoh, jika ia tidak beriman dengan takdir, amal perbuatannya tidak akan diterima.

وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ وَلَوْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَدَخَلْتَ النَّارَ

Kalau seandainya engkau berinfaq emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah, tidak akan Allah terima hingga engkau beriman dengan taqdir, dan engkau mengetahui bahwasanya apa yang menimpamu tidak akan luput darimu, dan apa yang luput darimu tidak akan menimpamu. Kalau engkau meninggal tidak dengan (akidah) ini, niscaya engkau masuk neraka (H.R Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany)

Ada juga tidak diterimanya amalan tertentu dalam waktu tertentu karena perbuatan tertentu, seperti seseorang yang mendatangi paranormal/dukun; tukang ramal dan sekedar bertanya meski tidak meyakini jawabannya, maka akan tidak diterima sholatnya 40 malam. Mungkin saja sholatnya sah dan gugur kewajiban, namun tidak berbuah pahala sama sekali dalam jangka waktu itu.

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

Barangsiapa mendatangi ‘Arrof (mengaku mengetahui perkara ghaib), kemudian ia bertanya tentang sesuatu, tidaklah diterima sholatnya 40 malam (H.R Muslim 4137).

Demikian juga orang yang meminum khamr atau mengkonsumsi hal-hal yang memabukkan seperti narkoba dan semisalnya, maka juga tidak diterima sholatnya selama 40 hari.

مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ وَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا وَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ رَدَغَةِ الْخَبَالِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا رَدَغَةُ الْخَبَالِ قَالَ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ

Barangsiapa yang meminum khamr dan mabuk tidak diterima sholatnya 40 pagi, jika ia mati, maka masuk neraka. Jika ia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya. Jika dia mengulangi, minum khamr dan mabuk, tidak diterima sholatnya 40 pagi. Jika ia mati, masuk neraka. Jika ia bertaubat, Allah akan terima taubatnya. Jika ia mengulangi, sehingga minum dan mabuk, tidak diterima sholatnya 40 pagi. Jika mati, masuk neraka. Jika ia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya. Jika mengulangi lagi, maka hak bagi Allah untuk memberinya minum dari rodaghotul khobaal pada hari kiamat. Para Sahabat bertanya: Apakah rodaghotul khobaal itu wahai Rasulullah? Nabi menyatakan: ampas (sisa perasan) penduduk neraka (berupa darah, nanah, muntah, dan hal-hal yang menjijikkan dari penduduk neraka)(H.R Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Albany).

Keimanan Bertingkat-Tingkat

 

Al-Muzani menyatakan: Kaum mukminin bertingkat-tingkat keimanannya

Orang yang beriman memiliki tingkat keimanan yang berbeda-beda. Keimanan para Nabi dan Rasul tidak sama dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan keimanan orang beriman lainnya secara umum.

Dalam Surat Faathir ayat 32 Allah Subhaanahu Wa Ta’ala membagi orang beriman menjadi 3 bagian (tingkatan sesuai keimanannya), yaitu : dzhalimun li nafsihi (orang yang mendzhalimi diri sendiri), muqtashid (orang yang pertengahan), dan saabiqun bil khoiroot (orang yang bersemangat/ terdepan dalam kebaikan).

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar (Q.S Faathir:32)

Dzhalimun li nafsih adalah orang-orang beriman yang masih mengerjakan sebagian perbuatan yang diharamkan atau meninggalkan sebagian hal yang diwajibkan. Muqtashid adalah orang-orang yang mengerjakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan. Sedangkan Saabiqun bil khoiroot adalah orang-orang yang tidak hanya mengerjakan kewajiban namun juga mengerjakan amalan-amalan nafilah (sunnah), tidak hanya meninggalkan hal yang diharamkan namun juga hal-hal yang makruh. Muqtashid dan Saabiqun bil khoiroot adalah para Wali Allah (disarikan dari atTuhfatul Iroqiyyah fil A’maalil Qolbiyyah karya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah).

Setiap orang yang beriman dan bertaqwa adalah Wali Allah.

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)

Ingatlah bahwa para Wali Allah tidak ada perasaan takut pada mereka dan tidak pula mereka merasa bersedih. Yaitu orang-orang yang beriman dan bertaqwa (Q.S Yunus:62)

Balasan kebaikan di surga juga bertingkat-tingkat. Secara umum, dalam surat al-Waaqi’ah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala membagi penduduk surga menjadi 2 bagian yaitu Ashaabul Yamiin dan al-Muqorrobuun. Fasilitas yang didapatkan di surga berbeda. Al-Muqorrobun tingkatnya lebih tinggi dan mendapat kenikmatan-kenikmatan yang lebih besar.

Surga bertingkat-tingkat. Antar tingkatan jauhnya antara langit dan bumi. Seratus tingkatan disediakan untuk orang yang berjihad di jalan Allah.

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

Sesungguhnya di surga terdapat 100 tingkatan yang disediakan untuk orang yang berjihad di jalan Allah. Di antara tiap tingkatan (jaraknya) bagaikan langit dengan bumi (H.R al-Bukhari no 2581).

Sebagian riwayat (lebih dari satu) menunjukkan bahwa banyak tingkatan di surga seperti banyaknya jumlah ayat dalam al-Quran.

Sebagaimana surga bertingkat-tingkat, neraka juga bertingkat-tingkat. Semakin besar kekafiran, kejahatan dan dosanya di dunia, semakin rendah tingkatannya di neraka.

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا…

Dan setiap (orang) mendapatkan tingkatan sesuai (amalan) yang dikerjakannya….(Q.S al-An’aam:132)

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka (Q.S anNisaa’:145)

 

Amal Ketaatan Meningkatkan Keimanan

 

Al-Muzani menyatakan: Amalan sholeh meningkatkan keimanan

 

Keimanan seseorang bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Al-Imam al-Bukhari menuliskan bab tersendiri dalam Shahihnya berjudul Ziyaadatul Imaan wa Nuqshoonihi (Bertambah dan Berkurangnya Keimanan) pada Kitaabul Iman. Pada bagian itu al-Imam al-Bukhari menyebutkan 3 ayat al-Qur’an:

…وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

…dan Kami tambahkan untuk mereka petunjuk (Q.S al-Kahfi:13, penambahan petunjuk adalah berarti penambahan iman)

…وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا…

… dan bertambahlah keimanan pada orang yang beriman…(Q.S al-Muddatsir:31)

…الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ…

…pada hari ini Aku sempurnakan agama untuk kalian…(Q.S al-Maaidah:3, sebagian Ulama menjelaskan bahwa pada tahun diturunkannya ayat ini, dilaksanakan ibadah haji yang pertama, sehingga menjadi sempurnalah rukun Islam, sekaligus menyempurnakan keimanan)

 

Penambahan iman juga bisa didapatkan dengan berserah diri tunduk dan patuh terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana pada saat perjanjian Hudaibiyah para Sahabat Nabi menerima ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka Allah tambah keimanan mereka karena mereka tenang menerima apa yang telah diputuskan.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ…

Dialah Allah yang menurunkan ketenangan pada hati orang-orang yang beriman, agar keimanan mereka bertambah….(Q.S alFath:4)

Seorang yang mengingkari kemungkaran dengan tangannya berbeda pengaruh penambahan imannya dibandingkan dengan yang mengingkari dengan lisannya. Pengingkaran dengan lisan lebih baik dan lebih berpengaruh pada peningkatan keimanan dibandingkan pengingkaran dengan hati. Pengingkaran dengan hati disebut oleh Nabi sebagai selemah-lemahnya iman (hadits riwayat Muslim no 70).

Meninggalkan kemaksiatan karena Allah bisa menambah keimanan dan semakin bersihnya hati. Jika suatu fitnah datang pada hati kemudian ditolak, akan menimbulkan bintik putih dalam hati. Sebaliknya, jika fitnah itu diikuti, maka akan timbul bintik hitam pada hati.

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتْ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ

Fitnah-fitnah diunjukkan pada hati bagaikan anyaman tikar, selembar demi selembar. Hati yang menyerapnya akan diberi tanda titik hitam. Hati yang mengingkarinya akan diberi tanda titik putih. (Jika itu terjadi terus menerus), akan terjadi 2 hati (yang jauh berbeda). Satu hati putih cemerlang yang tidak akan terpengaruh fitnah selama masih ada langit dan bumi, yang satu lagi menjadi hitam legam, bagaikan mangkuk yang ditelungkupkan. Tidaklah bisa mengenal yang baik dan tidak mengingkari yang munkar, kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya (H.R Muslim no 207)

Itu semua menunjukkan bahwa keimanan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

 

Sekedar Perbuatan Dosa (Selain Kufur atau Syirik Akbar) Tidak Mengeluarkan Seseorang dari Keimanan

 

Al-Muzani menyatakan: Tidaklah mengeluarkan dari keimanan (sekedar) perbuatan dosa. Tidaklah (seorang mukmin) dikafirkan dengan melakukan perbuatan dosa besar atau kemaksiatan

 

Perbuatan dosa yang di bawah kesyirikan seperti membunuh, mencuri, berzina, minum khomr, dan semisalnya, tidak menyebabkan seseorang menjadi kafir. Kecuali jika ia menghalalkan perbuatan tersebut.

Seorang yang berbuat dosa yang di bawah kesyirikan, jika dia meninggal sebelum sempat bertaubat, ada dua kemungkinan: Allah adzab ia dengan dosa itu atau Allah ampuni dosanya.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni dosa kesyirikan, dan mengampuni dosa yang di bawah itu bagi orang-orang yang dikehendakiNya (Q.S anNisaa’:48 dan anNisaa’:116).

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ أَخَذَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا أَخَذَ عَلَى النِّسَاءِ أَنْ لَا نُشْرِكَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا نَسْرِقَ وَلَا نَزْنِيَ وَلَا نَقْتُلَ أَوْلَادَنَا وَلَا يَعْضَهَ بَعْضُنَا بَعْضًا فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَتَى مِنْكُمْ حَدًّا فَأُقِيمَ عَلَيْهِ فَهُوَ كَفَّارَتُهُ وَمَنْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ

Dari Ubadah bin as-Shoomit ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengambil perjanjian (baiat) kepada kami sebagaimana beliau mengambil perjanjian kepada para wanita, yaitu: agar kami tidak mensekutukan Allah dengan suatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, atau membunuh satu sama lain. Barangsiapa yang memenuhi perjanjian itu maka pahalanya ada di sisi Allah. Barangsiapa yang ditegakkan padanya hukum had, maka itu adalah penghapus dosanya. Barangsiapa yang Allah tutup kesalahannya (tidak diketahui oleh yang lain, dan tidak ditegakkan hukum had), maka urusannya (dikembalikan) kepada Allah. Jika Allah berkehendak, Allah adzab dia, jika Allah berkehendak, Allah ampuni dia (H.R al-Bukhari dan Muslim no 3224).

 

Karena itu, tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa pezina adalah kafir, pemabuk adalah kafir, orang yang mati bunuh diri adalah mati kafir. Semua anggapan itu tidak benar. Segala perbuatan dosa yang berada di bawah kekufuran akbar atau kesyirikan tidaklah mengeluarkan seseorang dari keimanan. Kecuali jika ia menghalalkan atau menganggap kemaksiatan itu adalah halal setelah ditegakkan hujjah terhadapnya.