NASIHAT DAN CATATAN TENTANG LI KHOMSATUN (bag.2)

NASIHAT DAN CATATAN TENTANG LI KHOMSATUN (bag.2)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ditulis Oleh Al Ustadz abu Utsman Kharisman

Beberapa catatan tentang dzikir tersebut:

Pertama: Apakah dzikir tersebut ilmiah? Sebatas pengetahuan saya, dzikir tersebut tidak memiliki sanad riwayat baik dalam hadits Nabi ataupun atsar Sahabat. Mohon dikoreksi jika saya salah. Apabila ia tidak berlandaskan sanad riwayat, ia tidaklah ilmiah. Sebagaimana pernyataan al-Imam asy-Syafi’i di atas.

Sekali lagi, mohon diinformasikan jika ada yang mengetahui apakah dzikir itu ada dalam kitab-kitab kumpulan hadits bersanad? Mungkin di Shahih al-Bukhari kah? Atau Shahih Muslim? Adakah dalam Kutubut Tis’ah (9 Kitab induk hadits)? Atau di luar Kutubut Tis’ah, mungkin pada Mushonnaf, atau Musnad, atau Mu’jam, Sunan, dan  kitab-kitab bersanad lainnya. Mohon diberitahukan pada saya, agar jika riwayatnya shahih saya juga ingin mengamalkan.

Kedua: Jika memang ternyata dzikir itu tidak pernah diamalkan oleh Sahabat Nabi, berdasarkan pernyataan Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu anhu yang telah dikemukakan di atas, berarti kita tidak bisa dan tidak boleh mengamalkannya.

Apakah tidak boleh membaca doa umum dengan lafadz yang disusun sendiri? Tentu boleh selama tidak masuk dalam lafadz-lafadz yang terlarang. Namun, menjadi masalah jika doa yang disusun sendiri itu kemudian dimasyhurkan, diajarkan turun temurun disertai keyakinan akan fadhilah atau keutamaannya – padahal tidak ada nash shahih tentang itu- hingga membuat doa itu lebih masyhur dan lebih sering diamalkan dibandingkan doa-doa yang diajarkan Nabi.

Meskipun suatu doa umum boleh disusun dengan kalimat sendiri bahkan bahasa yang dimengerti, tidak harus bahasa Arab, namun jika pada permintaan kita itu sudah ada doa yang diajarkan oleh Nabi, semestinya kita lebih memilih lafadz doa yang diajarkan Nabi. Karena lafadz doa dari Nabi itu terjaga dari kesalahan. Kalau kita atau orang lain yang menggubah susunan kalimat dari doa, tidak ada jaminan selamat dari kesalahan. Selain itu, doa yang diajarkan Nabi adalah bagian dari sebaik-baik petunjuk.

وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Dan setiap bid’ah adalah sesat (H.R Muslim dari Jabir bin Abdillah)

Ketiga: Kandungan makna dzikir tersebut bertentangan dengan tauhid yang tersebut dalam alQuran maupun hadits-hadits Nabi shollallahu alaihi wasalam.

Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam sendiri tidak mampu memberikan manfaat maupun menolak kemudaratan. Jangankan untuk orang lain, terhadap diri beliau sendiri, beliau tidak mampu. Allah Ta’ala berfirman dalam alQuran yang merupakan pedoman hidup bagi setiap orang beriman:

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah: Aku tidak memiliki kemampuan terhadap diriku sendiri untuk (mendatangkan) manfaat ataupun (menolak) kemudaratan kecuali yang dikehendaki oleh Allah. Jika aku mengetahui hal yang ghaib, niscaya aku akan banyak melakukan (sebab yang membawa maslahat dan) kebaikan dan tidak akan menimpaku keburukan (sama sekali). Tidaklah aku melainkan hanya pemberi peringatan dan kabar gembira bagi kaum beriman (Q.S al-A’raaf ayat 188)

Tidak hanya satu ayat alQuran. Pada ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk menyampaikan:

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرًّا وَلَا نَفْعًا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّه…

Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tidaklah memiliki kemampuan terhadap diriku sendiri (untuk menolak) kemudaratan maupun (mendatangkan) manfaat kecuali yang dikehendaki oleh Allah…(Q.S Yunus ayat 49)

Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam sendiri pernah menyampaikan kepada putrinya Fatimah radhiyallahu anha bahwasanya beliau tidak memiliki kekuasaan sedikitpun untuk menyelamatkan seseorang dari neraka jika seandainya Allah berkehendak memasukkan orang itu ke dalam neraka selamanya.

Dalam sebuah hadits dinyatakan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ } قَالَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bangkit ketika Allah turunkan ayat (yang artinya): << dan berilah peringatan kepada kerabat dekatmu (Q.S asy-Syu’aroo’ ayat 214) >> beliau berkata: Wahai sekalian orang Quraisy, atau kalimat semakna itu: Selamatkan diri kalian sendiri. Aku tidak mampu menyelamatkan kalian dari Allah sedikitpun. Wahai Bani Abdi Manaaf, aku tidak mampu menyelamatkan kalian dari Allah sedikitpun. Wahai Abbas bin Abdil Muththolib, aku tidak mampu menyelamatkanmu dari Allah sedikitpun. Wahai Shofiyyah bibi Rasulullah, aku tidak mampu menyelamatkanmu dari Allah sedikitpun. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah sekehendakmu dari hartaku. Aku tidak mampu menyelamatkanmu dari Allah sedikitpun (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Keempat: Justru, Ali bin Abi Tholib sendiri jika mengalami keadaan genting atau kesulitan yang berat, beliau berdzikir dengan dzikir yang diajarkan oleh Nabi yang isinya murni tauhid. Pujian dan sanjungan hanya untuk Allah, tidak disebut makhluk lain dalam dzikir itu.

Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu pernah mengajarkan suatu dzikir kepada Abdullah bin Ja’far yang beliau baca saat beliau mengalami keadaan kesulitan yang berat. Dzikir itu diajarkan oleh Nabi kepada beliau. Ali bin Abi Tholib menyatakan:

لَقَّنَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ وَأَمَرَنِي إِنْ نَزَلَ بِي كَرْبٌ أَوْ شِدَّةٌ أَنْ أَقُولَهُنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْكَرِيمُ الْحَلِيمُ سُبْحَانَهُ وَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mendiktekan kepadaku kalimat-kalimat ini dan beliau memerintahkan kepadaku jika aku ditimpa keadaan yang berat atau kesempitan yang dahsyat untuk membacanya, yaitu: LAA ILAAHA ILLALLAHUL KARIIMUL HALIIM SUBHAANAHU WA TABAAROKALLAAHU ROBBUL ‘ARSYIL ‘ADZHIIM WALHAMDU LILLAAHI ROBBIL ‘AALAMIIN (Tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Penyantun. Maha Suci Dia dan Maha banyak keberkahan-Nya. Rabb Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam) (H.R Ahmad, dinyatakan sanadnya shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir)

Kelima: Jika kita tidak menganjurkan pembacaan LI KHOMSATUN, bukan berarti kita tidak mencintai Ahlul Bait. Bahkan kita seharusnya mencintai Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, Ali bin Abi Tholib, al-Hasan, al-Husain, dan Fatimah radhiyallahu anhum ajmain. Tentunya kecintaan yang sesuai dengan syariat.

Berikut ini akan dikutipkan beberapa hadits tentang keutamaan Ali bin Abi Tholib, kedua putranya itu, dan istrinya, Fatimah, semoga bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita akan keutamaan mereka berdasarkan hadits yang shahih.

Mencintai Ali tanda keimanan, sedangkan membencinya adalah tanda kemunafikan.