Menyambut Daurah Masyayikh di Bantul : Nasihat Syaikh Rabi’

Menyambut Daurah Masyayikh di Bantul : Nasihat Syaikh Rabi’

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

WASIAT DAN NASEHAT AL-‘ALLAMAH ASY-SYAIKH RABI’ BIN HADI AL-MADKHALI Hafizhahullah Tabaraka wa Ta’ala

Kepada Saudara-saudaranya Para Penuntut Ilmu As-Salafiyyin di Indonesia

Beliau sampaikan pada acara Daurah Ilmiah Asatidzah ke-4

di Ma’had Al-Anshar Yogyakarta – Indonesia

malam Rabu, 4 Sya’ban 1429 H

Sungguh suatu kesempatan yang sangat istimewa saya bisa berjumpa dengan saudara-saudara, orang-orang yang saya sayangi, dan anak-anak kami dari kalangan para penuntut ilmu as-salafiyyin di Indonesia dalam pertemuan yang penuh barakah ini, yang saya mohon kepada Allah agar menjadikannya sebagai pertemuan yang bermanfaat.

Saudara-saudaraku menunggu dariku nasehat yang aku sampaikan untuk mereka.

Maka saya katakan :

® Aku wasiatkan kepada diriku sendiri dan kalian semua untuk bertaqwa kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan muraqabah (senantiasa merasa diawasi) oleh-Nya, baik ketika bersendiri maupun terang-terangan (di hadapan orang banyak).

® Aku wasiatkan kepada diriku sendiri dan mereka untuk berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya r, baik dalam aqidah, ibadah, maupun manhaj.

® Saya wasiatkan pula kepada mereka untuk mencintai as-salafush shalih dan menghormati mereka serta berjalan di atas jalan mereka, berteladan dengan bimbingan mereka, yang paling utama dari mereka adalah para shahabat ridhwanallah ‘alaihim.

[sambungan telepon terputus. kemudian beliau mengulangi lagi nasehatnya dari awal]

Sungguh telah membuat saya gembira bisa berjumpa dengan anak-anak, saudara-saudara, dan orang-orang yang saya sayangi, yaitu para thullabul ilmi (penuntut ilmu) as-salafiyyin di Indonesia. Saya memohon kepada Allah agar menjadikan pertemuan ini sebagai pertemuan yang diberkahi dan bermanfaat.

Mereka meminta kepada saya sebuah nasehat yang ditujukan untuk mereka. Maka akan saya penuhi sebatas yang mampu saya lakukan untuk saudara-saudaraku. Kami memohon kepada Allah semoga menjadikan nasehat ini bermanfaat untuk mereka.

Maka saya berkata :

[ Nasehat Pertama ][1]) :

® Aku wasiat kepada diriku dan saudara-saudaraku di Indonesia dan semua saudaraku di berbagai negeri untuk selalu bertaqwa kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan muraqabah (senantiasa merasa diawasi) oleh-Nya, baik ketika bersendiri maupun terang-terangan (di hadapan orang banyak). Sebagaimana Allah Tabara wa Ta’ala memerintahkan kita semua untuk bertaqwa kepada-Nya dalam banyak ayat-Nya, dan Allah telah menjelaskan kepada kita tentang balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang bertaqwa, yaitu berupa jannah yang luasnya seluas seluruh langit dan bumi, dan juga Allah telah memuji orang-orang yang bertaqwa. Saya berharap kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang bertaqwa.

Aku juga berharap dari diriku sendiri dan saudara-saudaraku untuk senantiasa merasa dalam pengawasan Allah Tabaraka wa Ta’ala, dalam segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan segala tindakan kita dalam segala urusan kita, semuanya harus ditegakkan dia atas sikap selalu merasa di bawah pengawasan (muraqabah) Allah Tabaraka wa Ta’ala. Bahwasanya :

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (mencatat). [Qaf : 18]

Hendaknya kita merasa senantiasa diawasi oleh Allah dalam shalat kita, dan hendaknya kita beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya, jika kita tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia (Allah) selalu melihat kita.
[ Nasehat Kedua ]

® Berikutnya aku wasiatkan kepada diriku sendiri dan mereka untuk selalu ikhlash kepada Allah, dalam setiap ucapan dan amalan. Karena semua ucapan tersebut selalu diperhitungkan dan diawasi (oleh Allah). Baik terkait dengan urusan agama kita maupun terkait dengan urusan dunia kita. Hendaknya setiap orang berbicara (dalam urusan agama Allah) dengan ucapan yang ia yakini sebagai suatu kebenaran, setelah upaya tatsabbut (klarifikasi) dan ta`akkud (memastikan) kebenarannya. Bahwa perkataan yang ia ucapankan adalah sebuah kebenaran. Kalau tidak ia lakukan upaya tersebut, maka sungguh ia telah termasuk orang-orang yang berucap atas nama (agama) Allah tanpa berdasarkan ilmu. Allah I berfirman :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Sesungguhnya Rabbku hanya mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, serta melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, dan (Rabbku juga mengharamkan) perbuatan syirik terhadap Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) berkata atas nama (agama) Allah dengan sesuatu yang tidak kalian ketahui.” [Al-A’raf : 33]

Atas dasar itu (perlu diketahui bahwa) segala ucapan kita diawasi dan diperhitungkan. Seluruh hati kita juga diawasi. Tidaklah tersembunyi bagi Allah perkara yang samar sekalipun.

Perkara-perkara penting di atas banyak tidak diketahui oleh mayoritas manusia, baik dalam berbagai tindakan dan ucapan, maupun sikap-sikap mereka. Mereka tidak lagi merasakan muraqabah (pengawasan) Allah terhadap mereka. Sehingga mereka berbicara dengan ucapan yang tidak diridhai Allah, atau ucapan yang membuat Allah marah, bisa jadi dalam rangka memuaskan hawa nafsunya atau dalam rangka membuat senang orang lain. Kita berlindung kepada Allah dari tindakan (tercela) semacam itu. Saya mintakan perlindungan (kepada Allah) untuk diriku dan saudara-saudaraku semua dari sikap tersecela tersebut, dan saya nasehatkan kepada diri saya sendiri dan mereka untuk selalu menjauhinya.
[ Nasehat Ketiga ]

® Ketiga : saya nasehatkan kepada diri saya sendiri dan juga mereka untuk selalu berpegang teguh kepada tali (agama) Allah Tabaraka wa Ta’ala, sebagaimana Allah Tabaraka wa Ta’ala memerintahkannya dalam firman-Nya :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

“Dan berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai. Hendanya kalian ingat akan nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian ketika kalian dahulu (masa jahiliyah) saling bermusuhan, kemudian Allah mempersatukan hati kalian, lalu jadilah kalian dengan nikmat tersebut Allah, sebagai orang-orang yang bersaudara.” [Ali ‘Imran : 103]

Sebagaimana pula wasiat yang Rasulullah e sampaikan kepada kita, dalam sabdanya yang mulia :

‘Wajib atas kalian untuk berpegang kepada sunnahku dan sunnah para al-khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. Waspadalah dari amalan baru yang diada-adakan dalam agama, karena setiap amalan baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” [2])

Maka hendaknya kita semua senantiasa berpegang teguh kepada tali (agama) Allah, dan hendaknya kita senatiasa mengikuti petunjuka Allah, dalam seluruh urusan aqidah, ibadah, dan metode pemahaman kita dalam seluruh urusan agama kita. Hendaknya kita senantiasa berpegang kepadanya, kita menggigitnya dengan gigi geraham. Kita tidak akan bisa merealisasikan hal itu kecuali dengan bimbingan ilmu yang shahih (benar), yang bersumber dari Kitabullah dan sunnah Rasulullah r, dengan metode pemahaman para shahabat yang mulia, dan metode pemahaman orang-orang yang mengikuti jejak para shahabat dengan baik. Bukan dengan cara mengikuti hawa nafsu, tidak pula dengan cara mengikuti para pengikut hawa nafsu, atau orang-orang yang bodoh. Melainkan kita hanya mengikuti jejak Rasulullah e, dalam perjelasan beliau -’alaihish shalatu was salam- terhadap Al-Qur`anul Karim, rincian beliau terhadap perkara-perkara yang masih bersifat global dalam Al-Qur`an, penjabaran beliau terhadap perkara-perkara yang sulit, dan pengecualian beliau terhadap perkara-perkara yang bersifat mutlak dalam Al-Qur`an. Sebagaimana pula kita mengikuti metode pemahaman para shahabat dalam hal itu, yang mereka itu adalah orang-orang telah menyaksikan Rasulullah r, menyaksikan praktek amaliah beliau, dan menyaksikan proses turunnya wahyu, sekaligus mereka mengetahui dalam perkara apa suatu surat (dari Al-Qur`an) diturunkan, serta dalam perkara apa ayat tersebut diletakkan. Maka mereka (para shahabat) adalah manusia yang paling paham dan paling berilmu tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah r.

Kemudian generasi tabi’in, telah mengambil ilmu dan metode pemahaman tersebut dari para shahabat dengan penuh kebaikan. Berikutnya, para imam (’ulama) yang mendapat petunjuk juga mengambil (ilmu dan metode pemahaman) tersebut dari para tabi’in.

Maka kita semua harus mengetahui hal tersebut, dan hendaknya kita menggigitnya dengan gigi geraham. Hendaknya kita mengikut jejak pemahaman kaum mu`minin serta tidak menentang mereka sedikitpun, baik dalam urusan bidang aqidah, maupun ibadah, serta urusan yang lainnya. Allah I berfirman :

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, serta mengikuti jalan yang bukan jalan kaum mu`minin, maka Kami biarkan ia tersesat dalam kesesatannya, kemudian Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa` : 115]
[ Nasehat Keempat ]

® Wajib atas kita untuk mempelajari kitab-kitab tafsir salafy, yang bersih dari berbagai bid’ah dan kesesatan. Seperti : Tafsir Ibni Jarir [3]), Tafsir Ibni Katsir [4]), Tafsir Al-Baghawi [5]), Tafsir As-Sa’di [6]). Wajib pula atas kita semua untuk mempelajari Sunnah (hadits-hadits) Rasulullah ‘alaihish shalatu was salam dengan metode pemahaman generasi salaf yang shalih, seperi kitab Shahih Al-Bukhari [7], Shahih Muslim [8]), Kitab-kitab Sunnan yang empat [9]), Musnad Al-Imam Ahmad [10]), dan kitab-kitab sunan lainnya. Kemudian kita mengamalkan semua hadits yang terdapat dalam Ash-Shahihahin (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dan hadits-hadits shahih yang terdapat kitab-kitab lainnya, yang tingkat keabsahannya telah mencapai tingkat kepastian dan derajat hasan.[11]) Namun bersama itu, mungkin saja didapati hadits-hadits yang lemah, maka tidak boleh kita menentukan hukum berdasarkan hadits-hadits dha’if tersebut. Karena tidak boleh bagi kita semua menisbahkan (suatu perkataan) kepada Allah dan Rasul-Nya kecuali sesuatu yang telah kita yakini bahwa perkataan bersumber bersumber dari Allah dan Rasul-Nya e, yang sampai kepada kita melalui jalur periwayatan para perawi yang tsiqah (terpercaya), adil, kokoh, dan kuat (hafalannya).

Kita juga wajib mempelajari kitab-kitab aqidah salafiyyah, seperti kitab Ushulus Sunnah karya Al-Imam Ahmad, Ushulus Sunnah karya Ibnu Abi Hatim, yang ia riwayatkan dari ayahnya (Abu Hatim) dan dari Abu Zur’ah (Ar-Razi), kemudian kitab As-Sunnah karya Al-Khallal [12]), Asy-Syari’ah [13]) karya Al-Ajurri [14], Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah karya Al-Lalika`i [15]), dan kitab-kitab aqidah lainnya. Kita juga mempelajari Kitabut Tauhid [16]) karya Muhammad bin ‘Abdil Wahhab [17]), kitab Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah (karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) [18], dan segenap kitab-kitab karya Ibnul Qayyim [19]) dan Ibnu Taimiyyah [20]), semoga Allah merahmati mereka semua. Karena kitab-kitab tersebut menambah pemahaman kita terhadap Kitabullah, dan pengetahuan terhadap manhaj as-salafush shalih dalam bidang aqidah, ibadah, dan akhlaq.
[ Nasehat Kelima ]

® Wajib atas kita semua untuk mengikhlashkan (niat) kepada Allah dalam menuntut ilmu. Karena sesungguhnya menuntut ilmu termasuk ibadah yang terbesar, bahkan termasuk jihad fi sabilillah Tabaraka wa Ta’ala yang terbesar. Orang yang menuntut ilmu ikhlash karena Allah, pasti ia menginginkan untuk mendapatkan bimbingan dengan ilmu tersebut kepada amalan yang diridhai Allah Tabaraka wa Ta’ala, serta menginginkan untuk mengajak manusia kepada bimbingan hidayah. Sehingga dia berupaya menyelamatkan dirinya dari kesesatan dan kejahilan sekaligus ia berupaya serius untuk menyelamatkan orang lain dengan bimbingan ilmu yang dibawa oleh Nabi Muhammad e.
[ Nasehat Keenam]

® Kemudian, saya wasiatkan kepada mereka untuk saling bersaudara, saling bersikap bijak, saling mencintai, saling menyayangi, dan saling mengunjungi ikhlash karena Allah, dan menghidupkan manhaj salaf dalam ukhuwwah dan mahabbah (sikap mencintai) tersebut. Kecintaan yang didasarkan ikhlash karena Allah memiliki kedudukan yang tinggi. Kecintaan yang didasarkan ikhlash karena Allah dan di jalan Allah memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Tabaraka wa Ta’ala, setelah rasa cinta kepada Allah dan cinta kepada Rasul-Nya e.

Rasulullah r bersabda :

“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana kecintaan dia terhadap dirinya sendiri.” [21])

Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian tidak akan masuk al-jannah sampai kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan pada suatu amalan yang bila kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” [22])

Maka tebarkanlah salam ikhlash karena mengharap wajah Allah, dengan engkau bertujuan untuk menyatukan hati saudara-saudaramu dan menampakkan kepada mereka bahwa engkau mencintai dan menghormati mereka. Maka mereka akan membalas sikap tersebut dan mengucapkan salam pula kepadamu, dalam rangka mewujudkan mahabbah (sikap cinta karena Allah) tersebut, sekaligus menjadikan amalan tersebut sebagai wasilah (perantara) yang mengantarkan kepada keridhaan Allah dan mengantarkan untuk masuk al-jannah, karena amalan ini (menebarkan salam) di antara jalan terbesar untuk bisa masuk al-jannah, yang telah diberitakan kepada kita oleh Rasulullah e bahwa kita tidak akan masuk al-jannah kecuali kalau kita mengamalkan dengan sungguh-sungguh sebab-sebab (yang mengantarkan kepada al-jannah) tersebut.

Maka hendaknya kalian berupaya untuk saling memahami, dan saling bersikap lembut, serta saling mengujungi antara kalian. Jauhilah sebab-sebab perpecahan, perselisihan, saling membenci, saling hasad, dan yang semisalnya.

Rasulullah r bersabda :

“Janganlah kalian saling hasad, saling benci, saling menipu (dalam jual beli) [23]), namun jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.” [24])

Jadilah kalian demikian, sebagaimana Rasulullah e mewasiatkan kepada kalian.

Inilah yang bisa saya nasehatkan dan aku wasiatkan serta saya tekankan kepada kalian. Dengan itu Insya Allah dalam merealisasikan tujuan mulia yang diridhai oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Saya memohon kepada Allah untuk mempersatukan qalbu-qalbu ini, dan menjauhkan dari kami dan kalian semua berbagai fitnah, dan menjauhkan kami dan kalian semua dari sebab-sebab perpecahan dan perselisihan. Sesungguhnya Rabb kita Maha Mendengar do’a.

Sampaikan salamku kepada ikhwah semuanya, dan tekankan nasehat ini kepada saudara-saudara kalian. Hayyakumullah wa ahlan wa sahlan …

Selesai diterjemahkan dan diberi catatan kaki

Pada hari Senin, 16 Sya’ban 1429 H / 18 Agustus 2008 M.

Al-Faqir ilallah, Abu ‘Abdillah Luqman bin Muhammad Ba’abduh

[1] Pemberian sub judul di antara dua kurung siku [ ] dari penerjemah, untuk memudahkan.

[2] HR. Ahmad (IV/126), Abu Dawud (4607), At-Tirmidzi (2676), Ibnu Majah (42,43) dari shahabat Al-’Irbadh bin Sariyah t. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 937, dan Al-Irwa’ no. 2455.

[3] Judul selengkapnya adalah Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an karya Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (w. 310 H). Kitab tafsir beliau merupakan rujukan utama dalam bidang tafsir. Para ‘ulama besar sepakat bahwa tidak ada kitab tafsir yang sebanding dengannya. Di antaranya, Al-Imam An-Nawawi mengatakan : “Tidak seorang pun yang mampu menyusun (kitab tafsir) seperti beliau.” Beliau banyak membawakan riwayat-riwayat dalam tafsirinya.

[4] Judul selengkapnya adalah Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim karya Al-Hafizh ‘Imadudin Abu Fida` Isma’il bin Katsir Ad-Dimasyqi (w. 774 H). Kitab tafsir beliau merupakan kitab refensi penting dalam perbendaharaan tafsir salafiyyah. Kitab beliau banyak dipuji oleh para ‘ulama ahlus sunnah.

[5] Judulnya adalah Ma’alamut Tanzil karya Muhyis Sunnah Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi (w. 516 H).

[6] Judulnya adalah Taisiril Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan karya Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di (1376 H). Kitab tafsirnya beliau susun dengan ringkas dan mudah, namun terdapat sekian banyak istinbath beliau yang sangat jeli dan cermat dalam menunjukkan berbagai hikmah, faidah, dan hukum dari suatu ayat.

[7] Yaitu kitab Al-Jami’ Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah r wa sunanihi wa ayyamihi yang dikenal dengan (Shahih Al-Bukhari), karya Al-Imam Al-Hafizh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (w. 256). Beliau adalah seorang ‘ulama muhaddits (pakar hadits) besar. Al-Imam Adz-Dzahabi berkata ketika memuji beliau : “Seorang imam, penyusun kitab ash-shahih, beliau seorang imam, hafizh, hujjah, terkemuka dalam bidang fiqh dan hadits, mujtahid, termasuk salah satu ‘ulama istimewa, diiringi dengan agama (keimanan) yang kokoh, sifat wara’, dan ibadah.” [lihat Al-Kasyif]. Kaum muslimin sepakat bahwa kitab Shahih Al-Bukhari merupakan kitab tershahih setelah Al-Qur`anul Karim. Beliau menyusun kitab shahihnya selama 16 tahun, kemudian beliau merapikan susunan hadits dan bab-bab fiqh yang beliau letakkan di Raudhah Masjid Nabawi (tepat antara kamar Nabi dan mimbar beliau). Kitab tersebut terdiri atas 7563 hadits.

[8] Yaitu kitab Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar minas Sunan binaqli Al-’Adl ‘an Al-’Adl ‘an Rasulillah r yang dikenal dengan (Shahih Muslim), karya Al-Imam Al-Hafizh Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyari An-Nasaburi (w. 261 H). beliau merupakan seorang hafizh besar, murid besar Al-Imam Al-Bukhari. Sampai-sampai dikatakan : “Huffazh-nya dunia ini ada empat : Abu Zur’ah di negeri Ar-Ray, Muslim bin Al-Hajjaj di negeri Naisabur, ‘Abdullah Ad-Darimi di negeri Samarqand, dan Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari di negeri Bukhara.” Kaum muslimin sepakat bahwa kitab Shahih Muslim merupakan kitab tershahih setelah kitab Shahih Al-Bukhari. Beliau menyusun kitab shahihnya selama 15 tahun, terdiri atas 7275 hadits.

[9] Yaitu kitab :

a. Sunan Abi Dawud karya Al-Imam Al-Hafizh Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq Al-Azdi (w. 275 H). padanya terdapat kurang lebih 5274 hadits.

b. Al-Jami’ Al-Mukhtashar min As-Sunan ‘an Rasulillah r wa Ma’rifatish Shahih wal Ma’lul wa ma ‘alaihi Al-’Amal (Sunan At-Tirmidzi) karya Al-Imam Al-Hafizh Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa At-Tirmidzi (w. 279 H). Padanya terdapat 3956 hadits.

c. As-Sunan Ash-Shughra Al-Mujtaba min As-Sunan (Sunan An-Nasa`i) karya Al-Imam Al-Hafizh Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib An-Nasa`i (w. 303 H). Padanya terdapat 5761 hadits.

d. Sunan Ibni Majah karya Al-Imam Al-Hafizh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah (w. 273 H). Padanya terdapat 4341 hadits.

Semua kitab sunan di atas tersusun berdasarkan peletakan bab-bab fiqh ibadah dan berbagai permasalahan dalam bidang aqidah, mu’amalah dan akhlaq berdasarkan metode pemahaman generasi as-salafush shalih.

[10] Karya Al-Imam Al-Hafizh Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy-Syaibani (w. 241). Beliau bergelar Imam Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Salah seorang imam madzhab yang empat, murid besar Al-Imam Asy-Syafi’i. Kitab ini beliau susun berdasarkan susunan para shahabat yang meriwayatkan hadits, diawali dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, kemudian para shahabat yang telah dijamin dengan al-jannah, … dst.

[11] Terlebih lagi kalau haditsnya shahih.

[12] Al-Imam Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin Harun bin Yazid Al-Khallal Al-Hanbali (w. 311 H).

[13] Berjudul Kitab Asy-Syari’ah. Kitab ini membahas tema aqidah islamiyyah berdasarkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu dengan menjelaskannya berdasarkan Kitabullah, Sunnah Nabi-Nya dan sunnah para Al-Khulafa Ar-Rasyidin, kemudian metode para tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ‘ulama ahlus sunnah yang mulia setelah mereka. Di samping juga berisi bantahan terhadap kelompok-kelompok sesat yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

[14] Beliau adalah Al-Imam Al-Muhaddits Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Ajurri (w. 360 H). Al-Imam Ahmad memuji beliau dengan mengatakan : “Beliau telah mengumpulka ilmu dan sifat zuhd, serta beliau menyusun banyak karya tulis.” Al-Imam Adz-Dzhahabi berkata ketika memuji beliau : “Al-Imam Al-Muhaddits (pakar hadits), Al-Qudwah (panutan), Syaikhul Haram Asy-Syarif.”

[15] Beliau adalah Abul Qasim Hibatullah bin Al-Hasan bin Manshur Ath-Thabari Ar-Razi Asy-Syafi’i Al-Lalika`i (w. 418 H).

[16] Kitabut Tauhid alladzi Huwa Haqqullah ‘alal ‘Abid. Merupakan kitab yang beliau susun menjelaskan tentang hak Allah terhadap hamba, sekaligus menjelaskan secara detail tentang tauhidul uluhiyyah, tauhidur rububiyyah, dan tauhid al-asma wash shifat beserta segala yang terkait dengannya. Merupakan kitab terbaik dalam bidang tauhid. Ciri khas beliau dalam cara penyusunan adalah mirip dengan metode Al-Imam Al-Bukhari dalam menyusun kitab Shahih Al-Bukhari.

[17] Beliau adalah Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bin Sulaiman At-Tamimi (w. 1206 H). Beliau adalah pengibar bendera tauhid. Mujaddid abad ke-12 hijriah. Dakwah tauhid yang beliau tegakkan mendapat sambutan luar biasa dari kaum muslimin, baik di jazirah arab maupun di luar jazirah arab. Di antara wujud nyata keberhasilan dakwah tauhid yang beliau bawa adalah :

a. Tegaknya Daulah Islamiyyah, yaitu Al-Mamlakah As-Su’udiyyah Al-A’rabiyyah (Kerajaan Saudi ‘Arabia).

b. Pembersihan aqidah umat dari berbagai kotoran syirik, bid’ah, dan khurafat.

c. Tersebarnya dakwah aqidah salafiyyah di segenap penjuru alam.

Dan masih banyak lagi hasil-hasil nyata dakwah tauhid penuh barakah yang beliau tegakkan.

[18] Kitab Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah merupakan kitab aqidah ringkas yang disusun oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam waktu yang sangat singkat yaitu antara ba’da ‘ashar hingga maghrib. Namun demikian kitab tersebut memiliki bobot ilmiah yang sangat tinggi, yang menunjukkan bobot dan kualitas keilmuah dan keshalihan penulisnya. Kitab tersebut beliau susun memenuhi permintaan seorang qadhi negeri Wasath. Dalam kitab tersebut beliau menjelaskan aqidah ahlus sunnah wal jama’ah dalam tauhid al-asma wash shifat , rukun-rukun iman, Hari Akhir, sekaligus bantahan terhadap kelompok-kelompok sesat yang menyimpang dari aqidah dan manhaj yang haq.

[19] Beliau adalah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’d (w. 751 H), yang terkenal dengan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Beliau adalah murid besar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. beliau memiliki banyak karya tulis. Di antara karya monumental beliau adalah :

– I’lamul Muwaqqi’in – Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyyah

– Ash-Shawa’iqul Mursalah – Ightsatul Lahafan

– Zadul Ma’ad – Thariqul Hijratain

– Madarijus Salikin – dan masih sangat banyak lagi.

[20] Beliau adalah Syaikhul Islam Al-Hafizh Al-Mujtahid Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdil Halim bin ‘Abdis Salam bin Taimiyyah Al-Harrani (w. 728 H). beliau adalah seorang ‘ulama brilian dan jenius. Seorang mujtahid besar sekaligus mujaddid. Kewibaan dan kepiawaian ilmiahnya diakui kawan dan lawan. Perjalanan hidup dan sejarah beliau sangat harum dan layak ditulis dengan tinta emas. Sangat kuat dalam mendakwah manhaj yang haq dan sangat kuat pula dalam membantah kebatilan sekligus mematahkan hujjah-hujjah para pembelanya. Beliau sangat dimusuhi oleh para pengusung paham menyimpang dan kebatilan dari semua kalangan, baik Syi’ah, Jahmiyyah, Khawarij, Mu’tazilah, Ahlul Kalam, Shufiyyah, dan sebagainya. Digambarkan oleh Al-Hafizh Ibnu Daqiq Al-’Ied tentang kepiawaian beliau dalam memaparkan ilmu, berargumen dan mematahkan hujjah-hujjah lawan, bahwa segala perbendaharaan ilmu ada di antara kedua matanya, yang beliau mengambilnya sesuai dengan apa yang beliau mau. Beliau memiliki banyak karya tulis dan risalah-risalah ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu, baik aqidah, tafsir, hadits, fiqh ushul, lughah, dll. Di antaranya :

– Minhajus Sunnah – Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah

– Al-Furqan Baina Auliya`ir Rahman wa Auliya`isy Syaithan – Al-Fatawa Al-Hamawiyyah

– I`qtidha`ush Shiratil Mustaqim – Kitabul Iman

– Dar`ut Ta’arudhil ‘Aql wan Naql – Al-Kalimuth Thayyib

– Muqaddimah fit Tafsir – Al-’Ubudiyyah

Dan masih sangat banyak lagi. Kemudian, karya-karya dan risalah-risalah ilmiah beliau dikumpulkan dalam Majmu’ul Fatawa.

[21] Muttafaqun ‘alaihi (Al-Bukhari no.13, Muslim no. 45). Kemudian dalam riwayat An-Nasa`i no. 5017 terdapat tambahan lafazh : ãä ÇáÎíÑ (dari perkara yang baik).

[22] HR. Muslim no. 54.

[23] Dalam bentuk menampakkan dirinya seolah-oleh hendak membeli barang yang sedang ditawarkan padahal ia tidak ingin membelinya. Hal itu ia lakukan dalam rangka meninggikan harga, sehingga para pembeli lainnya tertipu, dan membeli barang tersebut dengan harga yang sangat tinggi. Hal ini sering terjadi pada jual beli lelang.

[24] Muttafaqun ‘alaihi (Al-Bukhari no. 6066, Muslim no. 2563).

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=220. Versi PDF http://www.assalafy.org/suara/nasihat%20rabi%201429%20H.pdf Transkrip Asli di http://www.assalafy.org/suara/nasehat_Syaikh_RabiRevisi.pdf)