JANGAN PUTUS ASA UNTUK SELALU MEMOHON AMPUNAN KEPADA ALLAH

JANGAN PUTUS ASA UNTUK SELALU MEMOHON AMPUNAN KEPADA ALLAH

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman)

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَالَ: وَعِزَّتِكَ يَا رَبِّ لَا أَبْرَحُ أُغْوِي عِبَادَكَ مَا دَامَتْ أَرْوَاحُهُمْ فِي أَجْسَادِهِمْ، فَقَالَ الرَّبُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: وَعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَزَالُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِي

Sesungguhnya Syaithan berkata: Demi kemuliaanMu, wahai Rabbku. Aku akan senantiasa menyesatkan para hambaMu selama ruh berada di jasad mereka. Allah Tabaaroka wa Ta’ala berfirman: Demi kemuliaan dan keagunganKu, Aku akan senantiasa mengampuni mereka selama mereka memohon ampunan kepadaKu (H.R Ahmad, atThobaroniy, dari Abu Said, dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahabiy dan Syaikh al-Albaniy)

????PENJELASAN:

Syaithan bersumpah dengan kemuliaan Allah untuk selalu berupaya menyesatkan manusia selama ruh masih berada dalam jasadnya. Namun Allah Ta’ala akan senantiasa melimpahkan ampunan selama seorang hamba masih beristighfar dan bertobat kepadaNya.

Beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari hadits ini:

  1. Demikian kuatnya tekad Syaithan untuk selalu menyesatkan manusia. Seseorang yang mengetahui hal ini hendaknya bersemangat mempelajari bimbingan Quran dan Sunnah dalam menghindari tipu daya Syaithan itu serta bergantung kepada Allah meminta keselamatan kepadaNya. Seseorang yang telah Allah beri hidayah keislaman, janganlah merasa aman dan tenang dari ketergelinciran dan kesesatan. Karena selama nyawa masih berada di badan, Syaithan akan terus berusaha menyesatkan dia. Teruslah berupaya istiqomah dengan meneladani Nabi dan para Sahabatnya, serta berdoa kepada Allah Ta’ala. Jika tergelincir, segera bertobat kepada Allah.
  2. Syaithan tidaklah beriman, namun ia begitu mengenal kemuliaan dan keagungan Allah. Karena itu ia sampai bersumpah dengan keagungan Allah, karena ia tahu bahwa Allah benar-benar mulia. Namun, pengenalan terhadap Allah tidak menghantarkannya menjadi beriman. Ini juga bantahan terhadap kelompok Murjiah yang mendefinisikan keimanan dengan pengenalan. Mereka menganggap bahwa cukup mengenal Allah itu sudah masuk dalam keimanan. Keyakinan ini adalah keyakinan yang batil. Ahlussunnah meyakini bahwasanya keimanan itu adalah yang ada dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan. Tidak cukup hanya mengenal Allah saja sudah membuat seseorang sebagai mukmin.
  3. Janganlah putus asa dari rahmat dan ampunan Allah. Sebesar apapun dosa itu, bertobat dan beristighfarlah kepada Allah. Tinggalkan seluruh perbuatan dosa itu, sesali dengan sebenarnya, dan bertekadlah untuk tidak melakukan lagi selamanya. Jika terkait dengan hak hamba Allah yang lain, kembalikan hak itu atau minta dihalalkan.
  4. Dosa sebesar apapun, termasuk kesyirikan dan kekafiran besar, jika seseorang bertobat kepada Allah, Allah akan mengampuninya. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah wahai para hambaKu yang bersikap melampaui batas terhadap dirinya sendiri, janganlah kalian putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa seluruhnya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S az-Zumar ayat 53)

Al-Imam Ibnu Jarir atThobariy rahimahullah menyatakan: Allah Ta’ala memaksudkan dengan menyebutkan seluruh pihak yang melampaui batas terhadap dirinya, baik orang yang beriman atau musyrik. Karena Allah telah menyebutkan secara umum dalam firmanNya:”Wahai para hambaKu yang telah bersikap melampaui batas terhadap dirinya sendiri”. Ini berlaku untuk setiap pihak yang melampaui batas. Dia tidak mengkhususkan pihak tertentu. Jika ada yang berkata: Apakah Allah mengampuni kesyirikan? Dijawab kepada mereka: Ya, jika orang musyrik itu bertobat darinya (Jami’ul Bayaan fi Ta’wiilil Quran karya Ibnu Jarir atThobariy (21/310)).