Ikhlas dan keutamaanya (bag1)

Ikhlas dan keutamaanya (bag1)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Diantaranya faktor utama dalam keberhasilan sebuah dakwah ialah apabila da’i yang mengajak manusia kembali kepada Allah menghiasi dirinya dengan niat ikhlas dalam dakwahnya , mengharap keridhaan Rabbnya serta keberuntungan dengan janji yang disediakan oleh Allah untuk para wali ( kekasih)Nya yang bertaqwa dan beriman.

Tidak ada keberhasilan bagi dakwah kepada Allah kecuali jika dakwah itu memang betul-betul karena Allah. Sebab dakwah adalah ibadah sehingga sahnya atau tidaknya dakwah tergantung kepada syarat ibabah itu sendiri, yaitu ikhlas dan mutaba’ah ( sesuai dengan Sunnah Rasulullah). Jadi ibadah itu dibangun diatas keikhlasan dan mutaba’ah. Ini di tegaskan pula oleh Syaikh Al Allamah As Sa’di dengan menyatakan :

“ ibadah itu semua sama baik ibadah batiniyah seperti mahabbatullah ( cinta kepada Allah ), takut kepadaNya, mengharapkanNya, bertawakkal kepadaNya, mencintai apa yang dicintaiNya apakah itu amalan, sosok pribadi tertentu serta memuliakan apa yang di muliakan oleh Allah. Atau ibadah lahiriyah seperti pelaksanaan syari’at lahiryah, apakah yang berhubungan dengan murni hak Allah maupun yang berhubungan dengan hak sesama makhlukNya”

Semua itu harus terisi dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala dan mutaba’ah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. Siapapun yang menghimpun keduanya niscaya dia beruntung dan bahagia. Sebaliknya, bila hilang salah satu dari keduanya maka dia akan sengsara dan menderita kerugian yang nyata.

Oleh sebab  itu, tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang manusia daripada menjadikan ikhlas dan mutaba’ah ini senantiasa tertanam di setiap yang di kerjakan dan ditinggalkan serta dalam semua ucapan dan perbuatan. Sehingga betul – betul ikhlas itu menjadi kepribadianya dan mutaba’ah itu perilakunya.

Siapa saja yang memperhatikan ayat-ayat Al Qur’an dan bukti-bukti nyata yang dipaparkannya dengan pemikiran yang dalam perhatian dan pemahaman yang seksama serta betul-betul mempelajarinya, tentu dia akan melihat dengan bashirah yang tajam betapa agungnya nilai ikhlas dalam agama ini. Allah berfirman :

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ , أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al Qur’an) dengan ( membawa ) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan (dien) kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih ( dari syirik) ( Az Zumar:2-3)

Dan

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“ padahal mereka tidak di suruh kecuali supanya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus ( Al Bayyinah : 5)

Maka, suatu amalan perbuatan tidak dianggap sebagai amalan shaleh kecuali bila amalan itu ikhlas dan shawab ( benar, sesuai sunnah Rasulullah). Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Muhammad Al Amiin, mengatakan :

“ Sesungguhnya Al Quranul’Azhiim telah menerangkan bahwa amalan shaleh itu menjadi sempurna karena tiga hal. Apabila salah satu dari ketiga hal itu hilang, maka tidak artinya amalan itu bagi pelakunya pada hari kiamat. Ketiga hal itu ialah ikhlas mengharap wajah Allah yang mulia.

Syaikh Sulaiman Alu Syaikh mengatakan :

“ keduanya ( ikhlas dan shawab ) ini merupakan dua rukun diterimanya amalah shaleh. Sehingga amalan yang diterima itu mesti disertai ikhlas dan shawab ( sesuai dengan sunnah Rasulullah ). Adapun shawab artinya amalan tersebut dikerjakan berdasarkan tuntunan sunnah Rasulullah. Amalah yang khalish ( murni ) artinya perbuatan yang bersih dari syirik yang tampak maupun tersembunyi.

Syaikh Al ‘Allamah Hafizh Al Hakimi menerangkan :

“ Ikhlas artinya membersihkan atau memurnikan amalan dengan niat yang benar dari semua kotoran syirik”

Dengan demikian suatu perbuatan meskipun shawab ( benar sesuai dengan sunnah) tidak akan dianggap memiliki kebaikan kecuali jika lurusnya maksud dan tujuan ( niat) amal perbuatan  tersebut. Dalam hal ini Syaikh Al Alamah As Sa’di menyatakan :

“ Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam telah menerangkan bahwa shaleh atau tidaknya suatu amalan tergantung pada niat yang melandasi perbuatan tersebut. Dan setiap orang akan memperoleh hasil dan amalan itu sesuai dengan niatnya. Perlu juga diketahui bahwa semua ibadah tidak akan shah kecuali dengan niat. Selanjutnya mesti dengan niat, maksud dan tujuan amalan atau ibadah adalah karena mengharap wajah Allah dan pahalaNya, dan melaksanakan kewajiban yang Allah perintahkan dan dicintaiNya bagi hambaNya.”

Jelaslah bahwa semua itu tidak lain dinilai dari hati dan kebaikan yang ada padanya, ketergantungan kepada Rabbnya,  harapan kepada pahalaNya, Rasa takut kepada hukumanNya. Dan mengenai hal itu Allah befirman :

لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ

“  daging – daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai ( keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” ( Al Hajj : 37)

Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menerangkan dengan jelas dan tegas bahwasannya tidak akan berguna sedikitpun amalan seorang manusia kecuali jika amalan tersebut disertai dengan ketaqwaan dan keikhlasan. Dan Allah sama sekali tidaklah mendapat manfaat sedikitpun ketaatan oran-orang yang taat kepadanya, sebaliknya tidaklah merugikanNya sedikitpun kedurhakaan orang – orang yang durhaka terhadapNya. Allah Subhanahuwata’ala juga berfirman :

مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“ barang siapa yang mengerjakan amal shaleh maka ( pahalanya ) untuk dirinya sendiri dan barang siapa  yang berbuat jahat maka ( dosanya ) atas dirinya sendiri ( Fushshilat : 46 )

Berkaitan dengan hal ini , Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menerangkan :

“ sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada bentuk dan harta benda kalian. Akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amalan kalian ( HR. Muslim, Kitabul Birri wa shilah 16/183)”

Termasuk hal hal yang menjelaskan betapa pentingnya kedudukan niat yang lurus ini ialah bahwasanya tiadanya keikhlasan kepada Allah Ta’ala  dalam mengajak manusia ke jalan Allah termasuk ke dalam lingkup kesyirikan yang dilarang oleh Allah dan diperingatkan oleh para Rasul agar dijauhi, bahkan menjadi sebab perseteruan antara para Rasul dengan masyarakat meraka.

Maka Riya’ dan tidak ikhlas merupakan salah sari cabang dari kesyirikan, sebagaimana firman Allah yang diriwayatkan oleh Nabi :

“ aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa yang mengerjakan amal dan menyekutukan sesuatu Selain Aku dalam amalan itu, Aku biarkan dia bersama sekutunya itu “. [ HR. Muslim, Kitabuz Zuhd 18/156 no 2985)

Allah Subhanahuwata’ala telah menetapkan tidak adanya kekuatan atau kekokohan ( tsabat ) pada semua amalan yang tidak ikhlas mengaharapkan wajahNya, dengan memberikan sebuah tamtsiil ( permisalan ) dalam kitabnya yang mulia. Firman Allah Ta’ala :

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَّجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِّرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا ۚ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“ Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui “( Az Zumar : 29)

Dengan demikian semua dakwah yang dibangun di atas niat yang tidak ikhlas, seperti ingin didengar (sum’ah ), pamer, agar di puji orang lain atau kedudukan. Maka pantaslah membuat orang yang seperti itu terjungkal, gagal dan sia – sia urusannya.

( di ambil dari buku, Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al Haura’ )