HAJI MABRUR: DEFINISI DAN CARA MENCAPAINYA

HAJI MABRUR: DEFINISI DAN CARA MENCAPAINYA

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Dalam bab sebelum ini (Keutamaan Ibadah Haji dan Umrah) telah disebutkan beberapa hadits keutamaan haji yang mabrur, di antaranya terhapuskannya seluruh dosa sehingga suci bagaikan terlahir kembali. Demikian juga balasan bagi haji yang mabrur adalah Surga.

✅Definisi Haji Mabrur Secara Bahasa

Secara bahasa, kata mabrur memiliki makna:

  1. Diterima, tidak ditolak.
  2. Berisi ketaatan, bukan kemaksiatan
    (Hasyiyah al-Bujayromiy alal Minhaaj (6/121)
  3. Jujur, tidak mengandung pengkhianatan. Seperti jual beli yang mabrur: jual beli yang didasari kejujuran, tidak ada aib pada barang yang disembunyikan
    (Fathu Dzil Jalaali wal Ikraam bi syarhi Bulughil Maraam (3/459)).

✅Penjelasan al-Quran, Nabi dan Para Ulama tentang Haji Mabrur

Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجّ

Barangsiapa yang melakukan haji di bulan itu maka janganlah berbuat rofats (perbuatan atau ucapan kotor), kefasikan (dosa), dan perdebatan dalam haji (Q.S al-Baqoroh ayat 197)

Az-Zujaj mendefinisikan rofats sebagai: segala sesuatu yang diinginkan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan (Umdatul Qoori Syarh Shahih al-Bukhari 16/314). Sehingga, apa pun bentuknya: apakah itu ucapan, perbuatan, maupun isyarat yang mengarah pada konteks hubungan suami istri, hal ini masuk dalam kategori yang bisa merusak/ menciderai mabrurnya ibadah haji. Hal yang dikhawatirkan, saat sama-sama bergurau antar jamaah haji kemudian pembicaraan mengarah pada hal-hal yang mesum/ kotor, meski hanya candaan tentang hubungan halal antar seorang suami pada istrinya saat di tanah air, hal itu bisa juga tergolong yang terlarang.

Demikian juga dengan perdebatan. Seringkali kita mendebatkan sesuatu hal yang tidak prinsip. Hanya untuk menyatakan suatu barang ini lebih baik dari barang itu, kadang kita berdebat. Mestinya hal semacam itu dijauhi, terutama di masa berhaji. Agar tidak merusak kemabruran ibadah haji kita. Seandainya pun pendapat kita benar, kita tidak perlu berdebat. Sekedar menyampaikan saja. Sudah cukup. Terdapat sebuah hadits Nabi yang menunjukkan balasan kebaikan bagi orang yang menahan diri tidak berdebat, meski ia berada dalam posisi yang benar:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا

Aku menjamin sebuah rumah di tepian Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meski ia benar (H.R Abu Dawud)

Kembali melanjutkan pembahasan tentang definisi haji yang mabrur. Di dalam sebuah hadits, Nabi shollallahu alaihi wasallam ditanya tentang haji yang mabrur, apakah itu? Beliau shollallahu alaihi wasallam menjawab:

إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ

(Dermawan) memberikan makanan, dan baik dalam tutur kata (ucapan)(H.R Ahmad, atThobaroniy, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dihasankan Syaikh al-Albaniy)

Hadits itu menunjukkan bahwa haji mabrur didapatkan dengan akhlak yang mulia kepada sesama muslim: dermawan dalam memberi serta tutur kata yang menyenangkan lawan bicara.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah ditanya tentang apakah haji mabrur itu? Beliau menjawab:

أَنْ يَدْفَعَ زَاهِدًا فِي الدُّنْيَا رَاغِبًا فِي الْآخِرَةِ

(Amalan haji yang) membuat pelakunya semakin zuhud terhadap dunia dan semakin bersemangat menggapai kebahagiaan di akhirat (riwayat Ibnu Abdil Bar dalam al-Istidzkar)

Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa haji yang mabrur adalah haji yang memiliki kriteria sebagai berikut:

Pertama: Melaksanakannya secara ikhlas karena Allah Azza Wa Jalla semata. Dalam berhaji tidak mengharapkan pujian, gelar haji, atau keuntungan duniawi lainnya. Ia hanya mengharapkan balasan kebaikan di akhirat.

Kedua: Mengikuti tuntunan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dalam berhaji

Ketiga: Biaya berhaji didapatkan dari penghasilan yang baik.

Keempat: Meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa. Baik dosa yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ihram (larangan-larangan dalam berihram), maupun dosa secara umum seperti menggunjing (ghibah), mengadudomba (namimah), dusta, dan semisalnya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Barangsiapa yang mengerjakan haji (di bulan-bulan itu) maka janganlah ia melakukan rofats (ucapan atau perbuatan kotor), kefasikan (kemaksiatan) dan perdebatan dalam haji (Q.S al-Baqoroh ayat 197)

Termasuk yang harus dihindari adalah menyakiti kaum muslimin lain saat berdesakan ketika tawaf, sa’i, melempar jumrah, dan lainnya. Karena menyakiti orang lain termasuk yang terlarang:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً مُبِيناً

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang beriman laki-laki maupun wanita tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka (yang menyakiti itu) telah memukul kebohongan dan dosa yang nyata (Q.S al-Ahzab ayat 58)
(disarikan dari penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin dalam Fataawa Nuurun alad Darb (227/19-21))

✅Kesimpulan Kriteria Haji Mabrur:

  1. Ikhlas karena Allah Ta’ala
  2. Tata cara manasiknya sesuai tuntunan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, terpenuhi dengan baik syarat, rukun, dan kewajiban haji, yang disempurnakan dengan sunnah-sunnah dalam haji.
  3. Biaya hajinya berasal dari penghasilan yang halal.
  4. Menjauhi ucapan dan perbuatan kotor/ mesum, dosa-dosa, maupun perdebatan.
  5. Berakhlak mulia kepada sesama manusia: tutur katanya baik, sabar, pemaaf, dermawan, tidak mengganggu atau menyakiti yang lain.
  6. Perbuatan setelah berhaji menjadi semakin baik, semakin berkurang ambisi (tidak tamak) terhadap urusan duniawi dan semakin bersemangat menggapai kebahagiaan di akhirat.

(dikutip dari buku “Hadiah untuk Ikhwan, Manasik Haji dan Umrah Menggapai Ridha ar-Rahmaan”, karya Abu Abdirrahman Sofian dan Abu Utsman Kharisman)