You are currently viewing Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan

Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan

Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan

Kalau jasmani seseorang dapat menjadi kuat disebabkan latihan fisik, maka puasa dapat memperkuat jiwa. Pada diri seseorang yang berpuasa, suplai bahan makanan dan minuman yang merupakan bahan bakar aktifitas kehidupan manusia berkurang sehingga pembuluh-pembuluh darah menyempit. Seiring dengan menyempitnya pembuluh-pembuluh darah itu berarti menyempit pula tempat aliran setan dalam tubuh.

Keadaan seperti ini akan membuat nafsu syahwat terpenjara (dari hubungan sex atau persetubuhan) dan memenangkan anggota badannya dengan cara yang menakjubkan. Inilah hakikat puasa. Dengan demikian puasa adalah perisai dari serangan nafsu syahwat bagi orang-orang yang bertaqwa.

Puasa memiliki dua keutamaan khusus yang tidak ditemukan pada ibadah badan lainnya, yaitu:

  1. Puasa merupakan amal tersembunyi. Pada umumnya orang lain tidak mengetahuinya dan kemungkinan besar sedikit tercampur dengan unsur riya’.
  2. Puasa sebagai benteng bagi orang-orang yang bertaqwa dari musuh Allah yaitu setan yang jalannya dalam rangka menguasai manusia adalah hawa nafsu syahwat.

Allah berfirman dalam hadits qudsi tentang keutamaan puasa:

الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Puasa itu untukKu dan Aku yang akan membalasnya. (HR. Bukhari 3/3, 9/175 dan Muslim 157-158)

Sebenarnya cukuplah satu hadits qudsi yang mulia itu menunjukkan keutamaannya.

Akan tetapi orang-orang yang berpuasa itu berbeda dan bertingkat-tingkat dalam hal mendapatkan pahala dan keutamaannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ

Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan dari puasanya selain dari rasa lapar dan dahaga. (HR. Ibnu Majah 1/539, Ad-Darimi 2/21, Ahmad 2/446, 373 dan Al-Baihaqi 4/270 dari jalan Sa’id Al-Muqbiri dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)

Hal ini terjadi disebabkan orang yang berpuasa tidak mengerti hakekat puasa sehingga tidak melaksanakannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya dan puasanya tidak mendatangkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga.

Dalam kaitan ini kami kutipkan fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Fauzan yang berhubungan dengan puasa berupa tanya jawab sekitar puasa dan Ramadlan. Semoga bermanfaat.

Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab beliau Haqiqatus Shiyam hal. 87-100:

Tanya:
Beberapa orang melakukan safar (bepergian) pada bulan Ramadlan. Dalam rombongan itu ada yang berbuka dan ada yang berpuasa. Di antara yang berbuka mengejek yang berpuasa dengan alasan bahwa berbuka itu lebih utama. Pertanyaan: Berapakah jarak boleh mengqashar shalat? Apakah bila seseorang safar pada suatu hari boleh berbuka puasa? Apakah perbedaan safar maksiat dan safar ketaatan kepada Allah?

Jawab:
Menurut kesepakatan kaum muslimin (ulama) berbuka puasa diperbolehkan bagi musafir jika safar itu bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya seperti haji, jihad, berdagang, dan yang semisalnya. Para ulama masih bersilang pendapat bila safarnya untuk bermaksiat pada Allah seperti safar dengan niat merampok.

Orang yang safar boleh mengqashar shalat dan berbuka puasa menurut kesepakatan ulama meskipun tidak merasa haus dan lapar, baik tersedia makanan minuman atau tidak. Orang yang mengatakan bahwa orang yang safar tidak boleh berbuka kecuali yang lemah untuk berpuasa, maka orang tersebut diminta bertaubat. Jika tidak bertaubat, maka dibunuh. Begitu pula orang yang mengingkari orang yang berbuka (ketika safar), maka dia diminta untuk bertaubat dari pendapatnya itu.

Juga orang yang mengatakan bahwa orang yang berbuka (ketika safar) itu berdosa, ia harus bertaubat dari ucapannya itu. Karena semua itu bertentangan dengan Kitabullah, sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ umat.

Menurut pendapat imam yang empat, Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, bagi musafir diperbolehkan mengqashar shalat yang empat rakaat dan hal ini lebih afdhal.

Para ulama tidak bersilang pendapat dalam hal pembolehan berbuka puasa bagi musafir. Sedangkan yang masih diperselisihkan justru pembolehan berpuasa bagi musafir. Sekelompok ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa orang yang sedang safar harus berbuka, bahkan tidak diperbolehkan berpuasa sehingga meskipun ia berpuasa tetap wajib mengqadlanya. Pendapat ini dipegang oleh Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan lain-lain radliyallahu ‘anhum. Sebagaimana pula madzhab Dhahiri. Mereka berdalil dengan hadits:

لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ

Tidak termasuk kebaikan puasa dalam safar (bepergian). (HR. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan madzhab yang empat membolehkan puasa bagi musafir dengan dasar ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Anas radliyallahu ‘anhu:

كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ، وَلاَ المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ

Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa. (HR. Bukhari)

Hal ini karena mereka memahami firman Allah:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara hak dan bathil). Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al-Baqarah: 185)

Adapun ukuran safar yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat dan berbuka puasa menurut Imam Ahmad dan Syafi’i adalah jarak perjalanan dua hari dengan kendaraan unta atau jalan kaki sejauh lebih kurang 16 farsakh (satu farsakh lebih kurang 8 km –pent) seperti jarak antara Mekah-Ashfahan atau Mekah-Jedah. Sedangkan Abu Hanifah dan kelompok ulama salaf dan khalaf lainnya menentukan jarak perjalanan 3 hari.

Menurut pendapat yang paling kuat adalah boleh berbuka dan menqashar shalat pada bepergian kurang dari dua hari[1]. Disebutkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqashar shalat ketika di Arafah dan Muzdalifah serta Mina yang diikuti oleh penduduk Mekah dan beliau tidak memerintahkan mereka menyempurnakan shalat mereka.

Tanya:
Apakah seorang safar pada pertengahan hari boleh berbuka?

Jawab:
Ada dua pendapat yang masyhur mengenai masalah ini. Keduanya dari Imam Ahmad. Yang paling benar adalah seseorang diperbolehkan berbuka ketika safar di pertengahan hari (sebelumnya ia berpuasa –pent). Sebagaimana hal ini tertera dalam kitab-kitab Sunan. Para shahabat berbuka bila keluar safar pada pertengahan hari dan disebutkan bahwa yang demikian itu sunnah yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat puasa waktu safar. Kemudian beliau dijamu dan beliau makan. Para shahabat melihat beliau.

Sedangkan apabila seorang tiba di tempat tujuan pada pertengahan hari, para ulama masih berselisih pendapat dalam menentukan kewajiban berpuasa. Akan tetapi dia wajib mengqadla baik berpuasa atau tidak. Orang yang sering bepergian ke suatu tempat tertentu boleh berbuka seperti pedagang yang pergi ke kota lain, tukang pos yang bepergian untuk kemaslahatan kaum muslimin dan lain-lain. Sedangkan orang yang bepergian jauh dengan naik kapal besar ditemani istrinya, membawa perbekalan lengkap dan dia terus-menerus demikian maka dia tidak boleh mengqashar shalat maupun berbuka puasa.

Orang-orang pedalaman seperti Badui Arab, Turki dan selainnya yang bermukim pada musim panas di suatu tempat, bila mereka dalam perjalanan dari tempat musim dingin ke tempat musim panas atau sebaliknya, maka boleh mengqashar shalat. Sedangkan bila telah singgah di tempat musim dingin atau tempat musim panas tidak boleh berbuka dan mengqashar shalat.

Tanya:
Ada seorang yang safar di bulan Ramadlan tidak merasa lapar, haus maupun lelah. Apakah yang lebih utama baginya puasa atau tidak?

Jawab:
Menurut ijma’ ia lebih utama berbuka meskipun dia tidak merasa berat dan berpuasa juga diperbolehkan. Walaupun ada sebagian ulama mengatakan tidak berpahala bila ia puasa.

Tanya:
Ada seorang imam masjid bermadzhab Hanafi menyebutkan bahwa dia membaca kitab bahwa bila seseorang berpuasa di bulan Ramadlan tidak berniat pada akhir waktu isya’ atau sahur maka puasanya tidak berpahala. Apakah pendapat ini dibenarkan?

Jawab:
Setiap muslim yang mengetahui bahwa puasa Ramadlan itu wajib hukumnya, ia tentu berpuasa bulan itu dengan niat. Bila ia tahu besok akan puasa haruslah ia meniatkan puasa. Niat itu tempatnya di hati. Setiap orang akan mengetahui apa yang ia inginkan mesti meniatkannya dengan dilafalkan atau tidak. Melafalkan niat bukan wajib menurut ijma’ kaum muslimin. Keumuman kaum muslimin berpuasa dengan diiringi niat.

Yang menjadi perselisihan adalah pengkhususan (ta’yin) niat untuk bulan Ramadlan, apakah hal ini wajib atau tidak?

Ada tiga pendapat dalam madzhab Imam Ahmad: Pertama, tidak cukup niat mutlak[2], harus meniatkan puasa Ramadlan. Kedua, boleh secara mutlak seperti pendapat Abu Hanifah. Ketiga, cukup secara mutlak tidak dengan niat tertentu (ta’yin) selain niat puasa Ramadlan. Riwayat yang ketiga ini dari Ahmad dipilih oleh Al-Hiraqi dan Abul Barkat. Maka saya katakan bahwa orang yang mengetahui keinginannya mesti akan berniat. Bila ia tahu besok Ramadlan maka ia akan menta’yin (menentukan niatnya) artinya tidak cukup berniat secara mutlak karena Allah ta’ala memerintahkannya niat menunaikan kewajibannya yaitu puasa bulan Ramadlan. Maka bila ia tidak melakukan berarti belum terbebas dari kewajiban.

Adapun bila seseorang tidak mengetahui bahwa besok bulan Ramadlan tidak wajib atasnya ta’yin dan barangsiapa mewajibkan ta’yin tanpa ia mengetahui yang dita’yin sungguh berarti ia mewajibkan dua perkara yang berlawanan. Berpuasa dengan cara seperti itu, yaitu dengan niat mutlak, cukup baginya. Apabila berpuasa dengan cara seperti itu diniatkan puasa sunnah lalu diketahui bahwa hari itu adalah bulan Ramadlan, maka yang lebih mendekati kebenaran adalah cukup baginya niat mutlak tersebut. Seperti seorang yang dititipi barang atau uang miliknya sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa titipan itu miliknya lalu ia sedekahkan pada orang lain. Lalu tak lama kemudian ia mengetahui bahwa ternyata titipan itu miliknya, maka ia tidak perlu menyerahkan barang itu kedua kalinya, tetapi ia hendaknya mengatakan: Titipan yang kuberikan padamu itu adalah milikku. Dan riwayat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad menyatakan bahwa manusia itu mengikuti niat imamnya yaitu bahwa berbuka atau berpuasa ditentukan oleh ulama. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa, Idul Fithri kalian adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Idul Adlha adalah hari kalian menyembelih[3]. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan: Hadits ini hasan gharib. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Ash-Shahihah no. hadits 224 dan Al-Irwa no. hadits 905)

Tanya:
Apakah seseorang yang berpuasa bulan Ramadlan memerlukan niat tiap hari atau tidak?

Jawab:
Setiap orang yang mengetahui bahwa besok Ramadlan dan dia menginginkan puasa maka dia pasti telah berniat, baik dilafalkan atau tidak. Hal ini merupakan perbuatan kebanyakan kaum muslimin.

Tanya:
Apakah seseorang diperbolehkan berbuka puasa dengan semata melihat terbenamnya matahari?

Jawab:
Bila seorang telah melihat hilang seluruh bulatan matahari maka ia harus berbuka tanpa menghiraukan masih ada warna merah yang tampak di ufuk barat. Yaitu ketika seluruh bulatan matahari telah hilang dan langit bagian timur akan tampak hitam. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

Apabila malam telah datang dari sini dan siang telah menghilang dari sini serta matahari telah terbenam dari sini (barat) maka berbukalah orang yang berpuasa. (HR. Bukhari 4/171 dan Muslim no. 1100)

Tanya:
Bolehkah makan sahur setelah adzan subuh pada bulan Ramadlan?

Jawab:
Bila muadzin adzan sebelum terbit fajar sebagaimana adzan pertama Bilal pada jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Damaskus, maka seorang boleh makan dan minum beberapa saat setelah adzan itu. Apabila ia ragu apakah sudah terbit fajar atau belum maka hendaknya ia makan dan minum hingga tampak jelas terbit fajar. Walaupun setelah itu ia tahu bahwa makan setelah terbit fajar masih diperselisihkan para ulama tentang wajib qadla` baginya.

Pendapat yang paling benar adalah tidak diwajibkan mengqadla`. Riwayat ini adalah riwayat dari Umar, sekelompok ulama salaf dan khalaf. Sedangkan menurut pendapat ahli fiqih yang empat, wajib qadla` atasnya.

Tanya:
Ada seorang yang pingsan setiap kali berpuasa, pilek dan mulutnya berbuih terus-menerus sampai berhari-hari belum sadar hingga dikira gila dan tidak jelas keadaannya, bagaimana tentang hal ini?

Jawab:
Apabila puasanya menyebabkan ia sakit seperti itu maka hendaknya ia berbuka dan mengqadla`. Bila hal ini terus menimpanya tiap kali ia berpuasa dan dia tidak mampu untuk puasa maka ia harus memberi makan tiap hari seorang miskin.

Tanya:
Seorang perempuan hamil melihat darah serupa haidl dan darah haidl. Para bidan
memutuskan ia harus berbuka karena untuk memberi makan janin yang dikandungnya tetapi wanita itu tidak sakit, apakah ia boleh berbuka atau tidak?

Jawab:
Bila wanita hamil itu mengkhawatirkan keadaan janinnya maka ia wajib berbuka dan wajib mengqadla` serta memberi makan tiap hari satu orang miskin 1 liter roti dan lauknya.

*****

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah bin Al-Fauzan (anggota Kibaril Ulama Arab Saudi) dalam kitab Nur ‘ala Darbi Fatawa hal. 73-81:

Tanya:
Apakah hukum bersiwak pada bulan Ramadlan?

Jawab:
Tidak diragukan lagi bahwa siwak merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dianjurkan pelaksanaannya. Banyak keutamaan bersiwak. Bersiwak pernah dilakukan maupun diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersiwak sangat baik terutama pada tempat-tempat yang dibutuhkan seperti sebelum wudlu, ketika akan shalat, ketika membaca Al-Qur`an, ketika bau mulut mulai berubah, ketika bangun tidur sebagaimana biasa dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bersiwak disunnahkan pada semua waktu termasuk waktu Ramadlan. Yang benar adalah seseorang disunnahkan bersiwak tiap hari di bulan Ramadlan pada pagi hari dan sore dan tidak benar anggapan bahwa seseorang disunnahkan hanya bersiwak pada sore hari saja. Bahkan para shahabat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak terus menerus sampai tak terhitung jumlahnya dalam keadaan berpuasa. Maka bersiwak itu hukumnya sunnah, boleh dikerjakan oleh yang berpuasa ataupun tidak berpuasa. Akan tetapi dalam hal ini seorang harus berhati-hati ketika menggosok gigi dengan miswak (alat siwak) agar tidak melukai gusi yang dapat mengakibatkan pendarahan.

Tanya:
Apakah seorang yang berpuasa qadla` dan puasa sunnah boleh memutuskan puasanya?

Jawab:
Apabila ia berpuasa qadla` tidak boleh memutuskannya dan wajib menyempurnakannya. Adapun bila ia berpuasa sunnah boleh memutuskan puasanya itu, tidak ada kewajiban menyempurnakan puasa sunnah. Pernah suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah dalam keadaan puasa sunnah lalu menjumpai makanan yang dihadiahkan para shahabat lalu beliau makan (dan memutus puasanya). Hal ini menunjukkan bahwa puasa sunnah tidak wajib disempurnakan.

Tanya:
Apabila seorang berpuasa suatu hari kemudian ia safar pada pertengahan hari apakah ia berbuka pada hari itu?

Jawab:
Bila seseorang berniat puasa dan telah mengerjakannya lalu bepergian pada pertengahan hari maka hendaknya ia berbuka jika jarak perjalanan dari rumah ke tempat tujuan kurang lebih 80 km. Akan tetapi kalau ia mau menyempurnakannya maka lebih afdlal sebab sebagian ulama ada yang mewajibkan menyempurnakan puasa model ini.

Tanya:
Apakah keutamaan hari-hari 10 akhir bulan Ramadlan?

Jawab:
Hari-hari ini memiliki keutamaan yang besar dan agung. Pada hari-hari itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah dibandingkan malam-malam sebelumnya. Beliau melakukan i’tikaf pada malam akhir Ramadlan dan tidak keluar dari masjid selain menunaikan hajatnya. Banyak kaum muslimin mengharapkan menjumpai malam lailatul qadar pada 10 hari terakhir bulan mubarak itu.

Tanya:
Apakah keutamaan bersedekah pada bulan Ramadlan?

Jawab:
Bersedekah pada bulan Ramadlan lebih utama (afdlal) daripada bersedekah pada bulan-bulan lainnya. Pada bulan itu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat dermawan, sangat mudah mengeluarkan sedekah ibarat angin yang bertiup kencang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan dan lebih dermawan pada bulan Ramadlan ketika Jibril menemuinya untuk mengajari Al-Qur`an pada setiap malam pada bulan itu. Kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu lebih baik daripada angin sepoi-sepoi (angin yang bertiup terus-menerus dan bermanfaat).[4] (HR. Bukhari dengan 1/30 Fath dan Muslim no. 2307). Dalil ini menunjukkan keutamaan sedekah bulan Ramadlan di mana pada bulan ini banyak orang yang miskin berpuasa. Bila seorang berbuat baik kepada mereka berarti ia membantu ketaatan kepada Allah terhadap mereka. Amal itu dilipatkan pahalanya karena kemuliaan waktu dan tempatnya (berdasarkan nash -pent) sebagaimana amal-amal dilipatkan pahalanya pada dua masjid Mekah dan Madinah (masjid Nabawi) yaitu shalat di dua masjid tersebut berpahala 1000 kali lipat dibanding shalat di tempat lainnya.

Tanya:
Bagaimana keterangan tentang keutamaan lailatul qadr dan ayat-ayat yang menerangkannya!

Jawab:
Allah memuliakan keadaan malam itu dan menamakannya lailatul qadr karena pada malam itu ditentukan ajal, rezki seorang makhluk dan apa-apa yang akan terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman: “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (Ad-Dukhan: 4). Disebut juga lailatul qadr karena dia adalah malam yang ditentukan dan dimuliakan di sisi-Nya. Juga disebut malam lailatul mubarak (malam yang diberkahi). Allah berfirman: “Kami menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam penuh barakah.” (44:33). “Dan tahukah kamu apakah malam lailatul qadr itu. Lailatul qadr lebih baik daripada 1000 bulan.” (Al-Qadr: 2-3). Artinya beramal pada malam yang penuh berkah itu dilipatgandakan pahalanya semisal 1000 bulan beramal pada malam-malam selain bulan ini. Seribu bulan lebih kurang 83 tahun. Ayat ini menunjukkan tentang keutamaannya oleh karena itu beliau selalu menunggu-nunggu datangnya malam itu. Beliau bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam lailatul qadr dengan mempercayai adanya malam itu dan mengharap pahalanya maka akan diampuni dosanya yang telah lewat dan yang akan datang. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu).

Hal lain yang juga menunjukkan keutamaan dan kebesarannya ialah pada malam itu turun para malaikat dan Jibril (pemimpin para malaikat) untuk mengatur segala urusan. Malaikat-malaikat Allah tidak turun ke bumi kecuali untuk menyelesaikan urusan besar. Kemudian Allah mensifati malam tersebut dengan malam yang penuh kesejahteraan sampai fajar. Maka barangsiapa tidak mendapatkan kebaikan pada malam itu, sungguh Allah tidak memberinya kebaikan yang banyak.

Allah dengan hikmah-Nya yang maha luas merahasiakan malam itu pada bulan Ramadlan agar kaum muslimin bersungguh-sungguh mencarinya pada tiap malam. Sehingga mereka mempunyai banyak amal dan terkumpullah amal-amal pada semua malam bulan itu dengan malam lailatul qadr.

Tanya:
Apakah makna ayat “… tetapi janganlah kamu campuri para istri itu sedang kamu beri’tikaf.” (Al-Baqarah: 187)

Jawab:
Allah melarang mencampuri istri dalam keadaan i’tikaf di masjid setelah membolehkan mencampurinya pada bulan Ramadlan. Orang-orang yang beri’tikaf tidak boleh mencampuri istri-istrinya, baik dengan jimak maupun mubasyarah[5], baik pada malam atau siang hari jika orang yang beri’tikaf itu tidak berpuasa. Karena makna i’tikaf secara bahasa ialah meninggalkan perkara-perkara yang banyak dan meluangkan waktu untuk beribadah. Apabila seseorang mencampuri istrinya maka batallah i’tikafnya. Demikian pula bila ia keluar masjid tanpa ada kebutuhan mendesak juga membatalkan i’tikaf. Seperti pergi ke pasar dan lainnya.

Ayat di atas menunjukkan bahwa i’tikaf itu harus diadakan di masjid yang dipakai untuk shalat berjama’ah dan memiliki imam rawatib. Tidak boleh i’tikaf menyendiri di mushalla, rumah atau tanah lapang atau masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah. Orang yang beri’tikaf di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah di dalamnya berada di antara dua keadaan yaitu antara i’tikaf dan meninggalkan shalat jama’ah. Bila ia tetap di dalam masjid berarti ia meninggalkan shalat berjama’ah padahal shalat berjama’ah wajib hukumnya. Atau ia keluar dari masjid untuk shalat berjama’ah di masjid yang didirikan shalat jama’ah tiap shalat 5 waktu yang hal ini menghilangkan makna i’tikaf. Maka i’tikaf harus diadakan di masjid-masjid yang didirikan padanya shalat jama’ah karena lafadh ayat menyebutkan fil masajid (di masjid-masjid).

I’tikaf disebutkan pada akhir-akhir ayat puasa i’tikaf seharusnya dan lebih baik dilakukan ketika seorang dalam keadaan berpuasa dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak i’tikaf selain bulan Ramadlan yakni ketika puasa.

Tanya:
Saya seorang pemuda yang pernah tidak melaksanakan puasa tahun yang lalu sedangkan puasa tahun berikutnya saya berpuasa dengan sempurna. Bagaimana saya mengqadla` puasa pada bulan yang aku tinggalkan? Apakah saya harus berpuasa tiap bulan atau memberi makan 60 orang miskin? Aku ingin berpuasa tahun ini selama tiga bulan apakah hal itu dibenarkan? Bagaimana cara melaksanakannya dengan bersambung atau terputus (berselang-seling)?

Jawab:
Jawaban dari pertanyaan anda perlu perincian. Yaitu jika anda meninggalkan puasa itu karena meninggalkan shalat (meninggalkan shalat menurut beliau kafir -pent) maka anda tidak berkewajiban mengqadla` puasa yang telah anda tinggalkan. Karena waktu itu anda belum masuk Islam. Adapun setelah anda bertaubat yakni setelah melaksanakan shalat maka anda wajib mengqadla` puasa dan menunaikan seluruh syi’ar Islam yang diwajibkan. Bila anda menunda mengqadla` puasa tanpa udzur maka anda wajib memberi makan seorang miskin tiap hari sebagai ganti puasa yang anda tunda qadla`nya itu. Apabila anda tunda qadla` puasa karena ada udzur hingga datang Ramadlan berikutnya maka anda wajib mengqadla`nya setelah Ramadlan.

Tanya:
Apa hukum bercelak, memakai parfum bagi seorang muslimah pada bulan Ramadlan?

Jawab:
Adapun celak, obat tetes mata dan apa-apa yang diletakkan di mata bagi orang yang berpuasa terkadang dapat masuk ke tenggorokan sehingga membatalkan puasanya. Sebagian ulama melarang memakai celak bagi orang yang berpuasa atau meletakkan sesuatu pada matanya seperti obat tetes mata, karena hal ini bisa menembus mata hingga ke tenggorokan tanpa disadarinya. Sedangkan harum-haruman, kosmetik yang biasa dipakai wanita tidak membatalkan puasa. Namun bagi muslimah hendaknya memakai harum-haruman atau parfum dan kosmetik di dalam rumah saja dan menjauhi benda-benda itu untuk dipakai di luar rumah. Bahkan ia harus menutup wajahnya bila keluar rumah. Allah berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Dan hendaklah kamu (para wanita muslimah) tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan tunaikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 33).

Walaupun wanita itu keluar menuju masjid untuk beribadah tetap dilarang bertabaruj (berhias) dan memakai parfum. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا تمنعوا إماء الله مساجد الله، وليخرجن تفلات

Janganlah kamu mencegah wanita-wanita menuju masjid Allah dan hendaklah mereka keluar tanpa berhias dan berharum-haruman. (Mutafaq ‘alaihi; lihat Umdatul Ahkam, hadits no. 58, hal. 31)

Syarat mereka boleh keluar menuju masjid adalah tidak berhias dan tidak memakai parfum atau wangi-wangian. Kaum muslimah sekarang banyak melakukan perbuatan melanggar syariat Allah, keluar rumah dengan berhias, membuka aurat dan wajah, memakai parfum dan celak mata yang tidak dilakukannya ketika di dalam rumah (untuk suaminya, pent).

——————————————————
[1] Yakni kembali pada makna safar secara umum.

[2] Niat mutlak adalah meniatkan berpuasa tanpa menentukan puasa apa yang ia lakukan. Sedangkan niat ta’yin adalah meniatkan dengan detail puasa apa yang ia akan lakukan esok harinya, wajib atau sunnah, puasa ramadlan atau qadla atau nadzar dan lain-lain.

[3] Maksudnya puasa dan berbuka bersama kebanyakan kaum muslimin.

[4] Bahjatun Nadhirin, Syaikh Salim Al-Hilali.

[5] Mubasyarah bermakna dua yaitu mempergauli isteri dengan jimak dan mempergauli isteri tanpa jimak dengan menutupkan kain di atas farjinya yang meskipun suami mengeluarkan mani, tidak membatalkan puasa. Sebagaimana keterangan Aisyah radliyallahu ‘anha ketika seorang bertanya tentang mubasyarah:

مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنَ امْرَأَتِهِ صَائِمًا؟ قَالَتْ: كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الْجِمَاعَ

“Apa yang boleh dilakukan seorang yang berpuasa terhadap istrinya?” Beliau menjawab: “Semuanya boleh dilakukan selain jimak.(Jimak atau jima’ adalah hubungan seks/sex atau bersetubuh/persetubuhan,red)” (HR Abdur Razak dalam bukunya Al-Mushanaf 4/190/8439 dengan sanad shahih)

Akan tetapi hendaknya yang perlu diperhatikan bahwa keluarnya mani (tanpa jimak) tidak membatalkan puasa dan mubasyarah itu perkara lain. Kita tidak menganjurkan orang yang berpuasa Ramadlan ketika syahwat jimak sedang memuncak untuk mubasyarah dengan istrinya. Hal ini dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalam larangan (yakni berjimak –pent). Biasanya orang yang mendekati daerah terlarang akan memasukinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ومن حام حول الحمى أوشك أن يقع فيه

Barangsiapa berada di sekitar daerah penjagaan, dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya. (Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani hal. 420).

Wallahu a’lam.

(Dikutip dari Majalah Salafy edisi XXIII/Ramadlan/1418 H/1998 M, penulis Ustadz Ahmad Hamdani, judul asli Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan).