Dampak Ketidaktahuan atas Tauhid kepada ALLAH

Dampak Ketidaktahuan atas Tauhid kepada ALLAH

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Tauhid menurut ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah dapat dibagi menjadi tiga bagian, sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Imam Ibnu Abi al-‘Izz Radiyallahu ‘anhu., “Sesungguhnya tauhid itu mencakup 3 bagian, yaitu:
1. Tauhid yang menjelaskan sifat-sifat Allah (Asma’ dan Sifat ALLAH);

2. Tauhid Rububiyyah, yaitu tauhid yang menjelaskan bahwa hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala pencipta segala sesuatu; dan

3. Tauhid Uluhiyyah, yaitu tauhid yang menjelaskan bahwa hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Dari pembagian tersebut yang akan menjadi perhatian kita dalam pembahasan ini adalah toleransi karena ketidaktahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masing-masing bagian dari ketiga bagian tersebut di atas yang secara keseluruhan merupakan hakikat tauhid yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Batasan Toleransi akan Ketidaktahuan dengan Tauhid Rububiyah

Berkenaan dengan tauhid ini, tidak satu kelompok pun dari keturunan Adam (manusia) yang menentangnya. Bahkan, pengakuan hati yang suci tentang hal ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pengakuannya kepada yang lainnya. Hal itu sebagaimana yang telah dikatakan oleh para rasul–semoga keselamatan tercurah kepada mereka–dalam permasalahan yang telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkaitan dengan mereka, “Berkata rasul-rasul mereka: ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi’?” (Ibrahim: 10).

Orang yang sangat terkenal kebodohannya yang mengingkari keberadaan Allah sebagai pencipta adalah Firaun, walaupun dalam hatinya dia meyakini-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Musa ‘alaihis salam., “Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang Memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata.” (Al-Isra: 102). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman berkenaan dengan Nabi Musa ‘alaihis salam. dan kaumnya, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-Nya.” (An-Naml: 14).

Tidak pernah ada satu kelompok pun yang mengatakan bahwa sesungguhnya alam ini memiliki dua pencipta yang memiliki kesamaan dalam sifat dan perbuatannya. Aliran dualisme dari kalangan Majusi dan para penyembah benda-benda hanya mengatakan tentang dua sumber, yaitu cahaya dan kegelapan, dan alam ini keluar dari keduanya. Mereka sepakat bahwa cahaya itu lebih utama dari kegelapan, dan dia merupakan tuhan yang terpuji, sementara kegelapan itu merupakan kejelekan yang tercela.

Mereka berbeda pendapat dalam masalah kegelapan ini, apakah ia merupakan sesuatu yang qadim (sudah ada sejak dulu dan keberadaannya itu tidak didahului dan diakhiri dengan ketiadaan) atau hadits (adanya itu baru dan keberadaannya itu didahului dan diakhiri dengan ketiadaan). Mereka tidak pernah menetapkaan adanya dua tuhan yang serupa (memiliki kesamaan dalam sifat dan perbuatannya).

Adapun orang-orang Nasrani yang mengatakan tentang trinitas. Sebenarnya mereka tidak menetapkan bahwa alam ini memiliki tiga tuhan yang terpisah antara yang satu dengan lainnya. Bahkan, mereka sepakat untuk menetapkan bahwa pencipta alam ini adalah satu. Mereka mengatakan bahwa tuhan bapak, tuhan anak, dan roh yang qudus itu adalah tuhan yang satu.

Orang-orang musyrik Arab mengakui tentang tauhid rububiyah ini. Mereka menetapkan bahwa Tuhan pencipta langit dan bumi itu adalah satu. Hal ini sebagaimana telah disinyalir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’.” (Luqman: 25).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak ingat’?” (Al-Mukminun: 84-85).

Dengan demikian, tidak perlu diragukan lagi bahwa keimananan itu ditujukan hanya kepada Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan hanya Allahlah yang berhak atas ketuhanan yang merupakan fitrah manusia sejak mereka berada di alam benih.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’ Atau agar kamu tidak mengatakan; ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dulu’.” (Al-A’raf: 172-173).

Al-Hafidz Ibnu Katsir Radliyallahu ‘anhu. berkata, “… Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menunjukkkan bahwa fitrah yang dimiliki oleh manusia itu memiliki kecenderungan untuk mengesakan-Nya.”

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. , “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Ibnu Abi al-‘Izz Radliyallahu ‘anhu berkata, “Tidak dapat dikatakan bahwa pengertian hadis tersebut menunjukkan bahwa anak itu dilahirkan dalam keadaan polos yang tidak mengetahui perbedaan Tauhid dan syirik, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang.

Selain itu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. bersabda, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan fitrah (suci), lalu setan mengotorinya …’.”

Bertitik-tolak dari keterangan di atas yang bersumber dari dalil-dalil syariah dan bukti-bukti yang bersifat realitas menunjukkan bahwa manusia itu diciptakan dengan memiliki kecenderungan untuk mengesakan Allah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa dalil yang menunjukkan akan keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menunjukkan kemadirian-Nya dari makhluk sudah sangat jelas bagi mereka, yaitu dalil yang menolak seseorang yang mengingkari ketuhanan Allah Subhanahu wa Ta’ala atau menyekutukan-Nya dengan sesuatu atau dengan lainnya atau mengaku tidak mengetahui tentang hal itu.

Dengan demikian, jika kita bermaksud membatasi batasan sampainya dalil kepada manusia dalam masalah tauhid rububiyah ini, kita mesti mengambil ungkapan yang pasti tentang permasalahan ini, dan bahwa tauhuid rububiyah ini merupakan sesuatu yang fitrah. Karena itulah, perlu didatangkan dalil syar’i untuk mengingatkan akidah yang bersifat fitrah ini. Demikian juga halnya dengan dalil menciptakan yang sesuai dengan dalil-dalil yang menunjukkan tentang keesaan Allah sebagai pencipta dan pengatur.

Ibnu Qayyim Radliyallahu ‘anhu. berkata berkenaan dengan ayat pengakuan di dalam surah Al-A’raaf, “Ketika ayat Al-A’raaf ini dikategorikan sebagai ayat makiyah (yang diturunkan di Mekah), maka di dalamnya diceritakan perjanjian dan pengakuan yang bersifat umum bagi seluruh orang mukalaf (dewasa) yang termasuk dari orang-orang yang mengakui kerububiyahan Allah, keesaan-Nya, dan batalnya perbuatan syirik.

Perjanjian dan pengakuan yang dimaksud adalah perjanjian dan pengakuan yang menunjukkan dalil bagi mereka, putusnya toleransi (pemberian maaf), patutnya mendapatkan siksaan dan berhaknya mendapatkan kehancuran bagi orang yang menentangnya. Dengan demikian, sudah semestinya bagi orang-orang mukalaf untuk mengingat dan mengetahuinya, karena hal itu merupakan sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah bagi mereka, berupa pengakuan akan kerububiyahan (ketuhanan) Allah, dan mengakui-Nya sebagai Tuhan dan yang menciptakan mereka, serta mereka harus mengakui bahwa mereka itu merupakan makhluk yang diatur oleh-Nya.

Selanjutnya, Allah mengutus para rasul kepada mereka yang bertugas untuk mengingatkan mereka tentang sesuatu yang sesuai dengan fitrah dan akal mereka, dan memberitahukan mereka tentang perintah, larangan, janji, dan ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syekh Al-Hukami rahimahumullah berkata berkenaan dengan penjelasan tentang berbagai macam perjanjian yang telah dibuat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan Bani Adam (manusia), sehingga dapat ditentukan mengenai batasan sampainya dalil kepada manusia, seraya beliau berkata, “… seluruh perjanjian ini telah diciptakan oleh Alquran dan sunah.

Perjanjian yang diambil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari manusia ketika mereka dikeluarkan dari tulang punggung bapaknya yaitu Nabi Adam ‘alaihis salam. dan mereka bersaksi kepada diri mereka sendiri, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” Inilah perjanjian yang dikatakan oleh mayoritas mufasir dalam ayat ini, sedangkan perjanjian yang didasarkan kepada nas hadis sebagaimana terdapat dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim terdapat pula dalam hadis-hadis lainnya.

Perjanjian yang bersifat fitrah, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan manusia sebagai saksi atas perjanjian yang diambil-Nya dari mereka berkenaan dengan perjanjian yang pertama tadi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Ar-Ruum: 30).

Perjanjian yang dibawa oleh para rasul dan yang dikandung oleh kitab-kitab suci Allah dengan tujuan untuk memperbarui perjanjian yang pertama dan mengingatkannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya: “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membentah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 165).

Dengan demikian, orang yang menemukan perjanjian ini dan dia tetap pada fitrahnya, yang mengakui sesuatu yang telah ditetapkan pada perjanjian yang pertama, maka dia akan menerima perjanjian tersebut sejak awal dan tidak akan berhenti, karena hal itu akan sesuai dengan sesuatu yang ada dalam fitrahnya dan sesuatu yang Allah telah ciptakan baginya. Sehingga, dengan hal tersebut keyakinannya akan semakin bertambah dan keimanannya akan semakin kuat tanpa melalui proses pertimbangan yang seksama dan keraguan.

Orang yang menemukan perjanjian tersebut, sementara fitrahnya sudah mengalami perubahan dari sesuatu yang Allah ciptakan, berupa pengakuan terhadap sesuatu yang telah ditetapkan perjanjian yang pertama disebabkan disesatkan oleh setan atau diyahudikan, dinasranikan, dan dimajusikan oleh kedua orang tuanya, maka jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbaikinya dengan cara memberikan rahmat-Nya, niscaya dia akan kembali kepada fitrahnya dan membenarkan sesuatu yang dibawa oleh para rasul dan yang dikandung oleh kitab-kitab suci, sehingga perjanjian yang pertama dan yang kedua akan memberikan manfaat baginya.

Akan tetapi, jika dia mendustakan perjanjian yang ini, niscaya dia pun akan mendustakan perjanjian yang pertama, sehingga pengakuannya pada hari perjanjian itu diminta pertangungjawabannya oleh Allah darinya, maka tidak akan memberikan manfaat baginya sekiranya dia menjawab “benar” sebagai jawaban atas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” dan telah disampaikannya dalil Allah kepadanya, telah ditetapkan penderitaan yang akan menimpanya, dan telah ditetapkannya siksaan baginya. Karena, orang yang dihinakan oleh Allah, niscaya tidak akan ada seorang pun yang akan memuliakannya dan sesungguhnya Allah akan melaksanakan sesuatu yang dikehendaki-Nya.

Adapun orang yang tidak menemukan perjanjian tersebut karena meninggal ketika masih kecil sebelum dikenai kewajiban, maka dia dianggap meninggal berdasarkan perjanjian pertama menurut fitrahnya. Seandainya termasuk seorang anak dari orang-orang muslim, dia disertakan beserta orang tuanya (dihukumi sebagai orang Islam), dan seandainya dia seorang anak dari orang-orang musyrik, Allah Maha Mengetahui tentang perbuatan yang akan dilakukan anak tersebut seandainya dia menemui perjanjian tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas Radliyallahu ‘anhu. seraya berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. ditanya mengenai anak-anak dari orang-orang musyrik, maka beliau menjawab, ‘Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menciptakan mereka Maha Mengetahui terhadap apa yang akan diperbuat oleh mereka’.”

Dengan demikian, berkenaan dengan tauhuid rububiyah ini, dalil yang ada telah memutuskan
adanya toleransi (pemberian maaf). Oleh karena itu, inti sari ajaran Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam. itu adalah menyeru kepada kemestian tauhid ini, yaitu tauhid uluhiyah (tauhid yang menjelaskan akan ketuhanan Allah Subhanahu wa Ta’ala), yang mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

Pada umumnya manusia itu menyimpang dalam tauhid jenis ini. Karena itulah mereka sudah selayaknya tunduk kepada seruan para rasul yang menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu’.” (An-Nahl: 36). Dalam ayat yang lain Allah berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” (Adz-Dzaariyat: 56).

Syekh Abdurrahman bin Hasan Radliyallahu ‘anhu. berkata, “Yang dimaksud dengan tauhid di sini bukanlah hanya tauhid rububiyah, yang seseorang hanya meyakini bahwa hanya Allahlah pencipta alam, sebagaimana yang disangka oleh ahli kalam dan taShalallahu ‘alaihi wassalamuf, yang mereka menyangka bahwa apabila telah menetapkan hal itu berdasarkan dalil, mereka dianggap telah menetapkan tujuan dari tauhid, dan mereka menyangka bahwa apabila telah mengakui hal ini dan telah membahasnya dianggap telah membahas tujuan tauhid.

Padahal, seandainya seseorang mengakui tentang sesuatu yang menjadi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa sifat-sifat-Nya dan membersihkan-Nya dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya, serta mengakui bahwa hanya Allahlah pencipta segala sesuatu, maka dia belum disebut sebagi orang yang bertauhid sehingga dia harus bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, lalu dia mengakui bahwa hanya Allahlah Tuhan yang berhak disembah, dan dia mengharuskan ibadah itu hanya kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.”

Sebagai kesimpulan bahwa walaupun orang-orang musyrik mengakui tauhid rububiyah, tetapi hanya mengakui sebagian rinciannya, maka yang pantas diperbuat oleh orang-orang Islam adalah mengakuinya secara menyeluruh.

Dengan demikian, tidak layak bagi seorang muslim untuk tidak mengetahui tauhid ini dan merasa samar dalam sebagian rinciannya, terlebih lagi tidak layak baginya seandainya dia mengingkari sesuatu yang menjadi kekhususan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti tunggal dalam keesaan-Nya, Pencipta, Pengatur, atau menisbahkan keagungan dan kemulyaan-Nya kepada kekurangan, seperti menisbahkan anak, teman, kelemahan, dan kekurangan lainnya kepada-Nya, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Tinggi dan Maha Agung dari penisbahan tersebut atau mencaci Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua ini merupakan sesuatu yang tidak pantas bagi seorang muslim untuk tidak mengetahuinya.

Oleh karena itu, apabila ada sesuatu dari kekufuran ini yang keluar dari seorang muslim, dia dikategorikan sebagai orang kafir, dan tidak ada toleransi baginya, baik karena kebodohannya atau karena sebab yang lainnya.

Akan tetapi, di antara orang-orang Islam itu ada orang yang tidak mengetahui tauhid Uluhiyah. Hal ini merupakan sesuatu yang mungkin terjadi, bahkan bisa jadi telah terjadi, dan hal ini merupakan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Karena itulah kita harus melihat batasan sesuatu yang dapat dimaafkan apabila dilakukan oleh seorang muslim berkenaan dengan sesuatu yang dianggap bertentangan dengan tauhid Uluhiyah ini.

Sumber : Al-Jahlu bi Masaa’ilil I’tiqaad wa Hukmuhu, Abdurrozzaq bin Thahir bin Ahmad Ma’asy.