Maka wajib atas para da’i Islam untuk senantiasa di atas keterangan yang jelas tentang pokok ajaran Islam yang asasnya adalah tauhid, dalam berdakwah maupun pendidikan. Sebab, tidaklah diterima satu amalan kecuali dengan asas dan prinsip pokok ini. Berkaitan dengan hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan:
“Karena itulah pokok ajaran Islam itu ialah syahadat (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah), yang intinya adalah beribadah hanya kepada Allah satu-satunya dan meninggalkan semua bentuk ibadah kepada selain Allah. Inilah (pengertian) Islam secara umum yang tidak akan Allah terima agama apapun baik dari orang-orang yang terdahulu maupun yang terakhir selain Islam.”
Di antara hal-hal yang menunjukkan betapa pentingnya dakwah kepada prinsip utama ini serta menjadikannya sebagai titik awal dan akhirsuatu dakwah ialah, apa yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas:
“Engkau akan mendatangi sekelompok masyarakat dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), maka hendaklah yang pertama sekali kau ajak mereka adalah Laa ilaha illallah (Bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah). Kalau mereka mentaatimu dalam hal itu maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu.” Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi: (Mengesakan Allah Ta’ala). (HR. Bukhari Kitab Zakat 4/3 no 1395)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan pula kedudukan dakwah kepada prinsip paling utama ini berdasarkan apa yang tampak bagi beliau dari kandungan hadits ini. Beliau mengisyaratkan bahwa Allah mengutus para Rasul itu shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihim untuk mengajak manusia kepada ushul tersebut(tauhid), beliau memperkuat keterangannya ini dengan firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (Al Anbiya’ 25)
Dan firman Allah:
وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرَّحْمَٰنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ
“Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: “Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?.” (Az Zukhruf 45)
Bahkan, para Rasul shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihim itu memulai dakwah mereka dengan tauhid ini, sebagaimana firman Allah tentang apa yang dikatakan Nabi Nuh:
اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ
“sembahlah Allah, sekali-kali tak ada sesembahan bagimu selain-Nya.” (Al A’raf 59)
Demikian pula nabi Huud, Shaleh dan Syu’aib (atau yang lainnya- ed)
Dan Allah telah menceritakan secara ringkas dakwah Nabi Nuh yang menghabiskan waktu 950 tahun. Betul-betul merupakan dakwah yang digerakkan dengan kesungguhan yang luar biasa dalam mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah dan beribadah hanya kepada-Nya.
Tidak satupun sarana yang dapat diterapkan melainkan beliau manfaatkan untuk memperjuangkan dakwah ini, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Dengan targhib atau tarhiib, janji ataupun ancaman, argumentasi maupun dalil-dalil ‘aqli dan inderawi. Semua itu karena dakwah tauhid mengikis kesyirikan dan membersihkan bumi Allah ini dari kesyirikan itu, memang pantas membutuhkan hal-hal tersebut. Inilah yang dikatakan hikmah, sesuai dengan fitrah dan akal manusia (yang bersih dan sehat- ed).
Maka wajib bagi para da’i yang mengajak manusia kembali kepada Allah memahami manhaj dan dakwah ilahiyah yang mulia ini. Dan wajib bagi kita meyakini, seandainya ada manhaj lain yang lebih utama dan lebih lurus daripada manhaj ini, tentulah Allah pilihkan dia untuk para Rasul-Nya dan Allah istimewakan mereka dengan manhaj tersebut.
Oleh sebab itu, apakah pantas seorang mukmin mempunyai rasa tidak senang dengan manhaj ini, kemudian memilih manhaj lain untuk dirinya dan merasa sombong terhadap manhaj rabbani dan para da’i (yang berjalan di atas manhaj ini)?
Bahkan, seyogyanya dia mengerti bahwa tauhid dan pemurniannya dari semua kekotoran (syirik) adalah hukum yang lebih utama untuk diterapkan dan disyari’atkan. (Karena) tidak akan diterima amalan (sebaik dan sebanyak apapun) kecuali (bila disertai) dengan tauhid ini. Lantas, bagaimana mungkin mereka yang telah mengerti tentang tauhid dan keutamaannya lalu meletakkan tauhid ini pada urutan kedua (sebagai pelengkap- ed) dalam dakwah mengajak manusia kembali kepada Allah?
Tentunya, yang wajib ialah menjadikan tauhid ini sebagai poros atau titik pangkal dan landasan dasar persatuan dan kesatuan barisan kaum muslimin. Tidak sepantasnya seorang da’i menyibukkan diri dengan hal-hal lain. Seperti dakwah kepada politik yang berdiri di atas slogan persatuan kaum muslimin di bawah pemikiran politik (yang justru merupakan) bid’ah, namun mereka menganggapnya sebagai (bagian dari) ajaran agama dan syari’at (yang berlaku). Bahkan sama sekali tidak menempatkan tauhid sebagai hal yang utama diperhatikan dalam berdakwah, memberikan nasehat ddan bimbingan.
Tidak ada yang lebih tepat menunjukkan hal ini daripada ketika kita melihat di dalam barisan gerakan dakwah yang tersebar saat ini sejumlah tokoh yang menyimpang dan mempunyai pemahaman bid’ah apalagi dalam masalah ‘aqidah (prinsip keyakinan, keimanan). Di dalam barisan itu ada sufi, jahmi dan Asy’ari.
Adapun sebab terjadinya hal demikian ialah kerena gerakan-gerakan dakwah tersebut, sama sekali tidak menganggap tauhid sebagai persoalan yang paling pokok. Ketimpangan pada sejumlah gerakan dakwah ini terlihat ketika mengarahkan dakwah illallahini kepada sebagian perkara yang justru menimbulkankekacauan. Melakukan kecaman (secara terbuka) terhadap para pemimpin (penguasa) kaum muslimin dan membangkitkan keinginan rakyat untuk memberontak.
Semua itu terjadi melalui penyebaran syubhat (kerancuan) yang kadang-kadang disambut baik oleh orang-orang awam dan jahil. Masalah ini, diterangkan oleh Syaikh Shaleh Al Fauzan:
“Sesungguhnya, dakwah apapun juga yang tidak berdiri di atas asas-asas ini, manhajnya tidak tegak di atas manhaj para Rasul, niscaya akan berujung dengan kerugian dan kesuraman. Bahkan hanya mendatangkan kepayahan tanpa faedah sedikitpun. Dalil yang paling tepat terhadap hal ini ialah, keberadaan beberapa jama’ah di zaman ini. Di mana semuanya telah menggariskan satu anggaran dasar atau manhaj bagi gerakan dakwah mereka yang ternyata berbeda dengan manhaj para Rasul…(Insya Allah Bersambung)
( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)