Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram (Bag ke-9)

Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram (Bag ke-9)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

 Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

ZIARAH KUBUR UNTUK MENGINGAT AKHIRAT

473- وَعَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ الْحُصَيبِ الْأَسْلَمِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا – رَوَاهُ مُسْلِم ٌ. زَادَ اَلتِّرْمِذِيُّ: – فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ –  . زَادَ ابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ: – وَتُزَهِّدُ فِي الدُّنْيَا –

Dari Buraidah bin al-Hushaib al-Aslamy radhiyallaahu anhu beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Dulu aku melarang kalian dari berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah (Riwayat Muslim). Dan dalam riwayat atTirmidzi ada tambahan: karena hal itu mengingatkan akan akhirat. Dalam riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud ada tambahan: dan membuat zuhud terhadap dunia

PENJELASAN:

Dulu Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam melarang para Sahabat untuk berziarah kubur pada saat masa-masa awal Islam, karena dikhawatirkan mereka akan mengagungkan, memohon berkah, dan berdoa kepada penghuni kubur. Namun, setelah keimanan para Sahabat telah kokoh, dan melihat maslahat bahwa ziarah kubur bisa mengingatkan pada kematian dan kehidupan akhirat, beliau kemudian memerintahkan untuk berziarah.

Nampak jelas dari hadits ini tujuan utama berziarah kubur agar mengingatkan seseorang pada kematian, kehidupan akhirat, dan membuat seseorang lebih zuhud terhadap kehidupan dunia. Dalam lafadz hadits lain dinyatakan bahwa berziarah kubur bisa melembutkan hati.

Hal yang tidak disadari oleh sebagian kaum muslimin adalah tentang tujuan utama ini. Sebagian mereka menyengaja ziarah kubur hanya untuk berdoa di kubur dan itu dilakukan sebagai kebiasaan tahunan saja. Padahal, semestinya jika seseorang sudah merasa terlalu sibuk pikirannya dengan urusan dunia, luangkan waktu untuk berziarah kubur. Di hari apapun itu. Berziarahlah pada makam orang-orang yang anda kenal dekat dulu saat masih hidup di dunia. Ingatlah, bahwa ia pernah mengalami masa-masa hidup bersama anda dan sekarang ia sudah meninggal, sedangkan anda akan menyusulnya.

CATATAN:

Nabi pernah berziarah ke makam ibundanya yang meninggal dalam keadaan kafir. Nabi meminta ijin kepada Allah untuk memohon ampunan untuk ibundanya, tapi tidak diijinkan Allah. Beliaupun menangis. Nabi meminta ijin kepada Allah untuk berziarah, Allah ijinkan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu ia berkata: Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam pernah berziarah ke kubur ibunya kemudian beliau menangis, sehingga menangislah para Sahabat lain di sekeliling beliau. Kemudian beliau bersabda: Aku meminta ijin kepada Tuhanku untuk memohon ampunan untuknya (ibunda Nabi) tapi tidak diijinkan. Kemudian aku meminta ijin (kepada Allah) untuk berziarah ke kuburnya, diijinkan. Maka berziarahlah ke kubur, karena hal itu mengingatkan kepada kematian (H.R Muslim no 1622)

Nabi juga pernah keluar di akhir malam ke kuburan Baqi’, mengucapkan salam untuk penghuni kubur dan kemudian berdoa memohon ampunan untuk mereka:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَهْلِ بَقِيعِ الْغَرْقَدِ

Ya Allah ampunilah penghuni kubur Baqi’ al-Ghorqod (H.R Muslim no 1618).

 

WANITA YANG BERZIARAH KUBUR

474- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه –  أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لَعَنَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ – أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ

dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu bahwasanya Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam melaknat wanita-wanita yang berziarah kubur (riwayat atTirmidzi dan dishahihkan Ibnu Hibban)<< dilemahkan oleh Syaikh al-Albany, lafadz yang terjaga (shahih) adalah zawwaaroot (wanita yang banyak berziarah)(Ahkaamul Janaaiz (1/186))>>

PENJELASAN:

Hadits ini dijadikan dalil oleh sebagian Ulama yang berpendapat bahwa wanita diharamkan untuk berziarah kubur.

Sebagian Ulama’ lain berpendapat bahwa wanita tidak diharamkan untuk berziarah kubur. Namun, tidak diperbolehkan bagi mereka untuk sering-sering melakukan ziarah kubur, karena Nabi bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu anhu- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melaknat wanita-wanita yang sering/ banyak berziarah kubur (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah)

Karena itu, ada dua lafadz hadits. Yang pertama: Zaa-iroot (wanita yang berziarah). Yang kedua: Zawwaaroot (wanita yang banyak berziarah).

Lafadz yang pertama adalah lemah, dan yang lebih tepat adalah lafadz kedua. Sehingga, yang sebenarnya dilaknat Nabi adalah wanita-wanita yang sering/banyak berziarah kubur, bukan wanita yang sekedar pernah berziarah. Ini adalah pendapat al-Qurthuby, asy-Syaukany, dan Syaikh al-Albany.

Dalil-dalil lain yang menunjukkan tidak adanya larangan bagi wanita untuk berziarah kubur adalah:

  1. Hadits Ibnu Abi Mulaikah tentang Aisyah yang berziarah ke kubur saudaranya, Abdurrahman. Aisyah ditanya: Bukankah Nabi shollallahu alaihi wasallam melarang dari ziarah kubur? Beliau menjawab:

نَعَمْ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا

Ya, kemudian beliau memerintahkannya (H.R Ibnu Abid Dunya, al-Iraqy menyatakan bahwa sanadnya jayyid (baik)).

  1. Nabi tidak mencela perbuatan ziarah wanita yang menangis di sisi kubur anaknya (H.R alBukhari no 1203 dan Muslim no 1535).

Namun, jika seorang wanita hendak berziarah kubur, ia harus memperhatikan syarat-syaratnya, di antaranya: tidak sering melakukannya, memperhatikan adab-adab keluar rumah bagi wanita (ijin kepada suami, menutup aurat, tidak berhias dan memakai wewangian), tidak ikhtilath dengan laki-laki bukan mahram, bukan merupakan perjalanan safar (keluar kota), dan tidak melakukan perbuatan jahiliyyah seperti meratap, dsb di pekuburan. Larangan yang lebih utama adalah berdoa kepada penghuni kuburan (bukan mendoakan penghuni kubur) yang merupakan kekufuran yang nyata sebagaimana dinyatakan asy-Syaukany dalam Nailul Authar (4/131).

Faidah:

Hadits tentang berziarahnya Fathimah ke kubur pamannya tiap Jumat dan menangis di sisi kuburnya diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak adalah hadits yang lemah, dilemahkan oleh adz-Dzahaby. Adz-Dzahaby menyatakan: ini adalah hadits yang munkar, perawi yang bernama Sulaiman adalah lemah (Mir’aatul Mafaatiih Syarh Misykaatul Mashoobiih 5/518).

 DOSA BESAR BAGI YANG MERATAPI KEMATIAN

475- وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ : – لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اَلنَّائِحَةَ , وَالْمُسْتَمِعَةَ – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد

dari Abu Said alKhudry radhiyallaahu anhu beliau berkata: Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam melaknat wanita yang meratap dan wanita yang mendengarkannya (riwayat Abu Dawud)<< al-Munawy menyatakan sanadnya lemah (atTaisiir bi syarhi Jaamiis Shoghir(2/570), dilemahkan juga oleh Syaikh al-Albany>>

PENJELASAN:

Hadits ini adalah lemah, namun terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa meratap adalah perbuatan dosa besar.

النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

Wanita yang meratap jika tidak bertaubat sebelum meninggal, pada hari kiamat akan diberdirikan (di hadapan para makhluk) dengan memakai pakaian dari ter dan pakaian kudis(H.R Muslim 1550).

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

Bukan termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul pipi, merobek saku, dan berseru dengan seruan Jahiliyyah (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Meratap adalah perbuatan menangis yang diiringi dengan ucapan, teriakan, atau perbuatan yang menunjukkan ketidakrelaan atas musibah yang ditakdirkan Allah. Termasuk meratap adalah menangisi kematian mayit sambil menyebutkan kebaikan-kebaikannya dengan harapan juga semakin banyak yang menangisinya.

Yang diperbolehkan adalah sekedar menangis (berlinang air mata) dan menahan ucapan agar tidak keluar kata-kata yang bisa menimbulkan kemurkaan Allah.

Ketika putra Nabi Muhammad shollallaahu alaihi wasallam yang bernama Ibrahim meninggal dunia, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menangis dan ditanya oleh Abdurrahman bin Auf: dan engkau (menangis) juga wahai Rasulullah? Rasul menjawab: sesungguhnya ini adalah rahmat (kasih sayang), kemudian beliau menyatakan:

إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا

Sesungguhnya mata berlinang, hati bersedih, dan kami tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai oleh Tuhan kami (H.R alBukhari no 1120).

إِنَّ اللَّهَ لَا يُعَذِّبُ بِدَمْعِ الْعَيْنِ وَلَا بِحُزْنِ الْقَلْبِ وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ أَوْ يَرْحَمُ

Sesungguhnya Allah tidaklah mengadzab karena air mata yang berlinang ataupun hati yang bersedih. Namun Ia mengadzab karena ini (beliau mengisyaratkan pada lisannya) atau Allah merahmati (H.R al-Bukhari dan Muslim).

476- وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – أَخَذَ عَلَيْنَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ لَا نَنُوحَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه

dari Ummu Athiyyah radhiyallaahu anha beliau berkata: Rasulullah mengambil perjanjian dari kami agar kami tidak bersikap meratap(menceritakan kebaikan-kebaikan mayit agar kerabat yang ditinggalkan menangisinya (Muttafaqun alaih)

PENJELASAN:

Demikian besarnya dosa meratap sampai Nabi shollallahu alaihi wasallam jika membaiat wanita yang masuk Islam, beliau juga mengambil perjanjian (baiat) agar wanita tersebut tidak meratapi kerabat/orang dekat  yang meninggal .

عَنْ أَسِيدِ بْنِ أَبِي أَسِيدٍ عَنْ امْرَأَةٍ مِنَ الْمُبَايِعَاتِ قَالَتْ كَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَعْرُوفِ الَّذِي أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ لَا نَعْصِيَهُ فِيهِ أَنْ لَا نَخْمُشَ وَجْهًا وَلَا نَدْعُوَ وَيْلًا وَلَا نَشُقَّ جَيْبًا وَأَنْ لَا نَنْشُرَ شَعَرًا

Dari Asid bin Abi Asid dari wanita yang dibaiat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, ia berkata: Di antara perjanjian yang diambil oleh Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dari kami  adalah agar kami tidak bermaksiat kepadanya, tidak mencakar wajah, tidak berseru : Celaka!, tidak merobek saku, tidak menjambak rambut (pada saat bersedih)(H.R Abu Dawud)

 

MAYIT TERSIKSA KARENA DIRATAPI

 

477- وَعَنْ عُمَرَ – رضي الله عنه – عَنِ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – اَلْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ. وَلَهُمَا: نَحْوُهُ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَة

dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam : Mayit diadzab di kuburnya karena diratapi (Muttafaqun alaih). Diriwayatkan juga oleh alBukhari dan Muslim yang semisal dengan itu dari alMughirah bin Syu’bah radhiyallaahu anhu

PENJELASAN:

Mayit akan tersiksa di kuburnya jika kematiannya diratapi oleh orang-orang dekatnya. Hal itu terjadi jika:

  1. Ia mewasiatkan bahwa jika ia meninggal hendaknya ia diratapi (berharap agar orang yang masih hidup meratapi kepergiannya).
  2. Ia tahu kondisi keluarganya bahwa jika ia meninggal, keluarganya akan meratapinya, namun ia tidak mencegahnya.

Namun, siksaan yang dimaksud dalam hadits ini bukanlah siksaan hukuman, namun siksaan penderitaan tidak bisa beristirahat dengan tenang seperti safar yang disebut dalam sebagian hadits sebagai adzab juga (asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram karya Syaikh al-Utsaimin(4/67)).

Bentuk siksaan yang lain adalah celaan dari Malaikat kepada mayit setiap kali ia diratapi dan disebut-sebut kebaikannya. Malaikat akan berkata: Apakah engkau seperti itu?! Hal ini seperti yang terjadi pada Sahabat Nabi Abdullah bin Abi Rowaahah tatkala ia pingsan akan meninggal, saudara perempuannya meratapinya. Ketika ia siuman dari pingsan ia berkata bahwa ketika pingsan dan ia diratapi, Malaikat bertanya kepadanya: apakah engkau seperti itu. Dengan sebab penjelasannya tersebut, pada saat ia benar-benar meninggal dunia, tidak ada yang meratapinya (H.R alBukhari dari anNu’man bin Basyiir no 3934).


BOLEHNYA MENANGISI KEMATIAN ORANG YANG DICINTAI

478- وَعَنْ أَنَسٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – شَهِدْتُ بِنْتًا لِلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – تُدْفَنُ , وَرَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَالِسٌ عِنْدَ اَلْقَبْرِ، فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ – رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ

Dari Anas radhiyallaahu anhu beliau berkata: Saya menyaksikan jenazah putri Nabi shollallaahu alaihi wasallam dimakamkan sedangkan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam duduk di sisi kubur dan aku melihat kedua mata beliau berurai air mata (riwayat alBukhari)

PENJELASAN:

Hadits ini merupakan dalil tentang bolehnya menangis berlinang air mata saat sedih dengan kematian orang yang tercinta. Sekedar menangis sebagai bentuk kesedihan adalah diperbolehkan, karena Nabi shollallahu alaihi wasallam  juga menangis ketika kematian putri beliau sebagaimana dalam hadits ini.

MENGUBURKAN DI WAKTU MALAM

479- وَعَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – لَا تَدْفِنُوا مَوْتَاكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَّا أَنْ تُضْطَرُّوا – أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَه. وَأَصْلُهُ فِي “مُسْلِمٍ”, لَكِنْ قَالَ: زَجَرَ أَنْ يُقْبَرَ اَلرَّجُلُ بِاللَّيْلِ, حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهِ.

dari Jabir radhiyallaahu anhu bahwasanya Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bersabda: Janganlah kalian makamkan mayit kalian di waktu malam kecuali jika sangat mendesak (riwayat Ibnu Majah dan asalnya dalam riwayat Muslim, dengan lafadz: Nabi melarang dikuburkannya jenazah di waktu malam , sampai disholatkan.

PENJELASAN:

Makruh menguburkan di waktu malam, jika mengakibatkan penyelenggaraan jenazah tidak dilakukan dengan baik dan banyak kekurangan. Misalnya, proses pengkafanan tidak sempurna atau jumlah orang yang mensholatkan di waktu malam sedikit. Jika demikian kondisinya, sebaiknya ditunda hingga esok pagi/ siangnya.

Namun, jika hal-hal tersebut tidak terjadi dan proses penyelenggaraan jenazah tetap sempurna dilaksanakan pada waktu malam, maka yang demikian tidak mengapa. Nabi shollalaahu alaihi wasallam dimakamkan di waktu malam. Demikian juga dengan beberapa Sahabat Nabi di antaranya Abu Bakr, Fathimah, dan Utsman (Syarh Sunan Abi Dawud li Abdil Muhsin al-Abbad (17/8))

Jika dilakukan di waktu malam, tidak mengapa menggunakan penerangan lampu untuk memudahkan proses penguburan. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ketika menguburkan seorang Sahabat yang dikenal suka mengeraskan bacaan dzikirnya.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَأَى نَاسٌ نَارًا فِي الْمَقْبَرَةِ فَأَتَوْهَا فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقَبْرِ وَإِذَا هُوَ يَقُولُ نَاوِلُونِي صَاحِبَكُمْ فَإِذَا هُوَ الرَّجُلُ الَّذِي كَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالذِّكْرِ

Dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: (suatu malam) orang-orang melihat api di pekuburan, kemudian mereka mendatanginya. Ternyata di sana Rasullah shollallahu alaihi wasallam di kubur. Nabi kemudian menyatakan: Berikan kepadaku teman kalian (untuk dimakamkan). Ternyata orang tersebut (yang akan dimakamkan) adalah seseorang yang biasa mengeraskan suara dalam berdzikir (H.R Abu Dawud dan al-Hakim dishahihkan oleh adz-Dzahaby)

Sedangkan waktu yang terlarang untuk menguburkan jenazah ada 3, yaitu:

  1. Dari terbit matahari hingga masuk waktu Dhuha. Waktu Dhuha bermula sekitar 15-20 menit setelah terbit matahari.
  2. Matahari persis berada di tengah langit (sekitar 10 menit sebelum masuk waktu Dzhuhur).
  3. Menjelang tenggelamnya matahari.

ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ

Tiga waktu yang Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam melarang kami untuk sholat di waktu tersebut dan melarang kami menguburkan jenazah, yaitu : ketika matahari tepat terbit hingga naik, ketika matahari tepat berada di tengah-tengah langit (tidak ada bayangan benda ke timur atau barat) sampai matahari condong (ke barat), dan ketika menjelang terbenamnya matahari hingga tenggelam (H.R Muslim no 1373).

(Abu Utsman Kharisman)


LARANGAN MENCELA ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

 

483- وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ, فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا – رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ ُ . وَرَوَى اَلتِّرْمِذِيُّ عَنِ اَلمُغِيرَةِ نَحْوَهُ, لَكِنْ قَالَ: – فَتُؤْذُوا الْأَحْيَاءَ –

Dari Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata: Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bersabda: Janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, karena telah lewat apa yang sudah mereka perbuat (riwayat alBukhari).  Dan diriwayatkan oleh atTirmidzi dari alMughirah radhiyallaahu anhu semisalnya, akan tetapi ada lafadz: sehingga kalian menyakiti yang masih hidup

PENJELASAN:

Nabi shollallahu alaihi wasallam memberi bimbingan adab untuk tidak mencela orang yang sudah meninggal dunia. Karena orang yang mati sudah berlalu amal perbuatannya. Nabi juga melarang mengungkit-ungkit kesalahan dari orang yang sudah mati kepada teman dekat atau karib kerabatnya karena itu menyakiti mereka yang masih hidup.

Tidak termasuk larangan ini adalah ilmu jarh wat ta’dil dalam ilmu hadits. Tidak mengapa menyebutkan keadaan perawi-perawi yang lemah, suka berdusta, dan sebagainya sebagai bentuk penjagaan terhadap syariat (Lihat Syarh Bulughil Maram li Athiyyah Muhammad Salim)