Bai’at dalam timbangan syariat Islam – Imam

Bai’at dalam timbangan syariat Islam – Imam

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Siapa Imam yang dimaksud ?

Apakah setiap yang mengaku imam dimanapun ia berada berarti dia Imam/pimpinan yang boleh kita berikan bai’at padanya? Tentu tidak.

Sebagaimana kata Shiddiq Hasan Khan: “Tidak terdapat di dalam kitab (al Qur’an), sunnah (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), ucapan sahabat ataupun Ijma’ bahwa seseorang yang mengajak manusia untuk membai’atnya kemudian ia dianggap sebagai Imam sekedar dengan itu, yang harus ditaati dan haram diselisihi. Bahkan yang ada dalam hadits itu (bunyinya) orang yang berbai’at kepada seorang Imam maka ia wajib mentaatinya dan haram menyelisihinya, demikian pula yang terjadi pada para Khulafaurrasyidin (para Khalifah yang diberi petunjuk, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, red) sesungguhnya tidak seorangpun dari mereka mengajak (manusia) kepada dirinya dan mengatakan: ‘Aku adalah Imam aku mengajak kalian untuk taat kepadaku dan berbai’at kepadaku’. Bahkan mereka membenci yang demikian…”[Iklilul Karamah:127]

Pimpinan yang dimaksud wajib ditaati adalah pimpinan yang ada pada negara atau kerajaan, yang diketahui serta yang memiliki kekuasaan dan kekuatan. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentaati para pimipinan yang ada dan diketahui (keberadaanya) yaitu yang punya kekuasaan (dan) mampu dengan kekuasaan itu untuk mengatur manusia (masyarakatnya), bukan mentaati orang yang tidak ada atau tidak diketahui keberadaanya bukan pula orang yang tidak punya kekuasaan dan kemampuan atas sesuatu sama sekali [Minhajussunnah Nabawiyyah:1/115 dinukil dari Mu’amalatul Hukkam:39] yakni yang punya kekuatan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kepemimpinan, jika dia memerintahkan untuk mengembalikan hasil perbuatan dhalim maka akan dikembalikan dan jika seandainya ia memberikan hukum had maka akan ditegakkan, serta jika memberikan hukuman ta’zir (Ta’zir adalah hukuman yang tidak ada ketentuan tetapnya, bahkan hukuman yang disesuaikan dengan keadaan pelaku pelanggarannya dan pelanggarannya itu sendiri dan ditentukan sesuai kebijakan hakim- pen) akan diterapkan pula pada rakyatnya [Mu’amalatul hukam:40, perhatikan pula ucapan-ucapan ulama sebelumnya]

Pada Perkara Apa Ditaati
Tentu ketaatan itu sebatas pada perkara yang baik menurut syari’at, apakah dengan tegas dinyatakan baik oleh syari’at atau pada perkara yang tidak secara tegas dinyatakan baik namun menurut kaedah-kaedah umum dalam syari’at bahwa itu baik. Adapun perintah maksiat maka tidak perlu didengar dan ditaati. Sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
áÇó ØÇóÚóÉ áöãóÎúáõæúÞò Ýöí ãóÚúÕöíóÉö ÎóÇáöÞò
Tidak ada ketaatan pada makhluq dalam bermaksiat kepada Khaliq [Shahih, HR Ahmad, at Thabrani, al Hakim dan yang lain dengan lafadz at Tabrani disahihkan oleh syekh al Albani dalam Silsilah ash Shahihah:179]
áÇ ØÇóÚóÉ Ýöí ÇáãóÚúÕöíóÉö ó ÅöäøóãóÇ ÇáØøóÇÚóÉõ Ýöí ÇúáãóÚúÑõæúÝö
Tidak ada ketaatan pada maksiat, ketaatan itu hanya dalam kebaikan [Shahih, HR Bukhari dan Muslim]

ÝóÅöäú ÃóãöÑó ÈöãóÚúÕöíóÉò ÝóáÇó ÓóãúÚó æóáÇó ØóÇÚóÉó
Maka jika diperintahkan dengan perbuatan maksiat maka tidak dipatuhi dan tidak ditaati [Shahih, HR Muslim]

Bagaimana jika berbuat kejam?
Walaupun jahat, dhalim, bermaksiat, fasiq, mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok atau kepentingan asing, tapi selama ia masih muslim dan belum keluar dari keislamannya maka wajib ditaati pada perkara yang baik. Berdasarkan sabda Nabi berikut ini:
ÔöÑóÇÑõ ÃóÆöãøóÊößõãú ÇáøóÐöíúäó ÊõÈúÛöÖõæúäóåõãú æó íõÈúÛöÖõæúäóßõãú æóÊóáúÚóäõæúäóåõãú æóíóáúÚóäõæúäóßõãú . Þöíúáó íóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö ÃóÝóáÇó äõäóÇÈöÐõåõãú ÈöÇáÓøóíúÝö¿ ÝóÞóÇáó:áÇó ãóÇ ÃóÞóÇãõæúÇ Ýöíúßõãú ÇáÕøóáÇóÉ óæó ÅöÐóÇ ÑóÃóíúÊõãú ãöäú æõáÇóÊößõãú ÔóíúÆðÇ ÊóßúÑóåõæúäóåõ ÝóÇßúÑóåõæÇ Úóãóáóåõ æóáÇó ÊóäúÒöÚõæÇ íóÏðÇ ãöäú ØóÇÚóÉò
Sejelek-jelek pimpinan kalian adalah yang kalian membencinya dan mereka membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan melaknati kalian. Dikatakan kepada beliau; Wahai Rasulullah tidakkah kita melawannya dengan pedang (senjata)? Beliau mengatakan: “Jangan! selama ia mendirikan shalat pada kalian, dan jika kalian melihat pada pimpinan kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan [Shahih, HR Muslim]

Ubadah bin ash Shamit mengatakan:
ÈóÇíóÚúäóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö Õáì Çááå Úáíå æÓáã Úóáóì ÇáÓøóãúÚö æó ÇáØøóÇÚóÉö Ýöí ãóäúÔóØöäóÇ æóãóßúÑóåöäóÇ æó ÚõÓúÑöäóÇ æóíõÓúÑöäóÇ æó ÇóËóÑóÉò ÚóáóíúäÇ æó ÃóáÇøó äõäóÇÒöÚó ÇúáÃóãúÑó Ãóåúáóåõ ¡ ÞóÇáó ÅöáÇøó Ãóäú ÊóÑóæÇ ßõÝúÑðÇ ÈóæóÇÍðÇ ÚöäúÏóßõõãú Ýöíúåö ãöäó Çááåö ÈõÑúåóÇäñ

Kami berbaiat kepada Rasulullah untuk patuh dan taat baik dalam keadaan kami giat atau terpaksa, susah atau mudah dan dalam keadaan mereka mengutamakan diri mereka dari pada kami dan agar kami tidak merebut urusan (kepemimpinan) dari pemiliknya. Beliau bersabda: Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti tentangnya dari Allah [Shahih, HR Bukhari dan Muslim]

(Bersambung ke Ba’iat dalam timbangan Syariat Islam – Ba’iat Model lain & Solusi yang terlanjur Bai’at)

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Qomar Su’aidi, Lc, judul asli “Bai’at”, yang diberikan via disket oleh al Akh Abu Muhammad Syu’bah)