Di Tulis Oleh Al Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Saat kematian hendak menjemput Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menghampiri paman beliau tersebut. Saat itu, telah hadir disisi Abu Thalib dua orang temannya, yaitu Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Jahal. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meminta kepada pamannya untuk mengucapkan kalimat tauhid Laa ilaah illallah. “Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah. Satu kalimat yang kelak saya bisa berhujjah bagimu disisi Allah,” pinta Rasulullah kepada pamannya.
Namun, apa yang diminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung dihalangi oleh kedua teman Abu Thalib. Keduanya berkata kepada Abu Thalib, “Apakah engkau akan membenci ajaran Abdul Muththalib?” Rasulullah pun lantas mengulangi lagi permohonannya kepada sang paman dengan mengucapkan kata yang sama. Maka, kedua orang teman Abu Thalib itu pun mengulangi lagi kalimat yang sama kepada Abu Thalib.
Akhir dari kisah itu, Abu Thalib meninggal dalam keadaan tiada mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah sebagimana yang diminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia meninggal dalam keadan berpegang teguh dengan ajaran Abdul Muththalib.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan kisah di atas (dalam Al-Qaulu al-Mufid), terkait pada bahaya pertemanan yang buruk pada seseorang. Pengaruhnya, tak semata dalam masalah kesyirikan. Akan tetapi, memberi pengaruh kepada segenap perilaku seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi perumpamaan teman duduk yang buruk dengan pandai besi. Seseorang yang dekat dengan pandai besi, bisa jadi (ia terkena percikan api sehingga) pakaiannya terbakar. Bisa jadi, seseorang akan mendapatkan aroma yang tak sedap (HR. Al-Bukhari, dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu).
Pertemanan memberi dampak yang luar biasa. Manakala teman tersebut teranggap sebagai teman yang buruk, tentu bisa memberi pengaruh yang tidak baik. Contoh dalam kisah di atas, bagaimana saat ajal tiba, kedua teman Abu Thalib yang jelek itu menanamkan syubuhat (kesamaran) dalam bentuk kata-kata, “Apakah engkau akan membenci ajaran Abdul Muththalib?”. Sehingga, dengan kata-kata dari sang teman tersebut – ba’dallah — cara pandang dan keyakinan Abu Thalib tak mau berubah. Abu Thalib terpengaruh kedua temannya untuk tidak mengikuti apa kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengabaikan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggal dalam kekafiran.
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
“Seseorang itu atas agama teman dekatnya. Maka, perhatikan olehmu siapa yang menjadi teman dekat(nya). (HR. Ahmad)
Sebagai orang tua tentu memiliki kewajiban untuk memilihkan teman bagi buah hatinya. Teman yang bisa membangun semangat dan sikap berislam yang baik dan benar. Teman yang bisa memberi dorongan untuk beramal salih. Teman yang bisa memberi pengaruh dalam berperilaku dan bertutur kata yang baik dan benar disertai tata kesantunan. Bukan teman yang menanamkan kebebasan nilai dalam beragama. Sehingga, seorang anak memiliki cara pandang yang salah dalam beragama. Bukan pula teman yang bisa menyeret anak pada keyakinan dan perilaku yang menyimpang dari Islam. Yang akhirnya, sang anak durhaka kepada Allah dan berbuat nista kepada kedua orang tuanya. Wal-‘iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari hal itu)
Teman yang diidamkan adalah teman yang bisa menumbuhkan semangat untuk menghidupkan sunnah Rasul-Nya. Bukan teman yang suka mencemooh manakala syiar-syiar sunnah ada dihadapannya. Karenanya, mari selamatkan anak-anak Islam dari pertemanan yang buruk. Pertemanan yang buruk lebih berbahaya dari asap rokok. Wallahu ‘a’lam.