Aqidah Para Ulama tentang turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam

Aqidah Para Ulama tentang turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Diangkatnya Nabi Isa Úáíå ÇáÓáÇã dan akan turunnya beliau di akhir zaman merupakan aqidah para shahabat, para tabi’in, para ulama serta para imam Ahlus Sunnah sepanjang zaman.
Ibnu Katsir ÑÍãå Çááå berkata: “Telah mutawatir hadits-hadits dari Rasulullah bahwa Nabi Isa akan turun sebelum hari kiamat sebagai imam yang adil dan hakim yang bijaksana (Tafsir Ibnu Katsier, juz 7 hal. 223)

Berkata Shiddiq Hasan Khan: “Hadits-hadits tentang turunnya Isa Úáíå ÇáÓáÇã sangat banyak. Telah disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani, di antaranya ada 29 hadits antara shahih, hasan dan hadits lemah yang terdukung. Di antaranya ada yang disebut bersama kisah Dajjal, ada pula yang disebut bersama hadits-hadits tentang Imam Mahdi, ditambah lagi atsar-atsar yang diriwayatkan oleh para shahabat yang tentunya memiliki hukum marfu’ (sampai kepada Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã), karena perkara Dajjal bukanlah masalah ijtihad”. Kemudian beliau menyebutkan semua hadits tentang Dajjal. Setelah itu beliau ÑÍãå Çááå berkata: “Seluruh apa yang kami nukilkan ini telah mencapai derajat mutawatir sebagaimana dipahami oleh orang-orang yang memiliki ilmu” (Al-Idza’ah, hal. 160, melalui nukilan Yusuf al-Waabil dalam Asyratu as-Sa’ah)

Telah ditulis oleh para ulama hadits tentang Isa , ternyata didapati dari 25 para shahabat dinukil dari mereka oleh 30 tabiin dan dinukil dari tabi’in oleh atba’ut tabi’in lebih banyak lagi.
Berkata Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq al‘Adhim Abadiy: “Telah mutawatir berita-berita dari Nabi tentang turunnya Isa dari langit dengan jasadnya ke bumi ketika telah dekat hari kiamat. Ini merupakan madzhab ahlus sunnah. (Aunul Ma’bud, 11/457)
Berkata Syaikh Ahmad Syakir ÑÍãå Çááå: “Turunnya Isa Úáíå ÇáÓáÇã di akhir zaman adalah perkara yang tidak diperselisihkan sedikit pun oleh kaum muslimin, karena tersebutnya berita-berita yang shahih dari Nabi tentangnya. Ini perkara yang sudah dimaklumi dalam agama secara aksiomatis, dan tidak beriman orang yang mengingkarinya. (Footnote Tafsir ath-Thabari dengan tahqiq Mahmud Syakir, cet. Daarul Ma’arif, Mesir, juz 6 hal. 460)
Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani ÑÍãå Çááå: “Ketahuilah bahwa hadits-hadits tentang Dajjal, dan turunnya Isa Úáíå ÇáÓáÇã adalah berita-berita yang mutawatir, waka kita wajib beriman dengannya. Jangan tertipu dengan orang-orang yang menyatakan hadits-hadits tersebut adalah hadits aahaad, karena mereka adalah orang-orang yang bodoh tentang ilmu ini. Tidak ada di antara mereka yang menelusuri dan meneliti hadits-hadits tersebut dengan jalan-jalannya. Kalau saja ada yang mau menelitinya, niscaya dia akan mendapati hadits-hadits tentang ini mutawatir, sebagaimana telah dipersaksikan oleh para ulama seperti Ibnu Hajar dan lain-lainnya.

Sungguh sangat disayangkan munculnya orang-orang yang lancang, terlalu berani berbicara pada perkara-perkara yang bukan pada bidangnya. Apalagi urusannya adalah urusan aqidah dan agama. (Takhrij Syaikh al-Albani terhadap Syarh Aqidah ath-Thahawiyah oleh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi, hal. 501)

Para ulama memasukkan masalah turunnya Isa Úáíå ÇáÓáÇã dalam kitab-kitab aqidah dan prinsip-prinsip sunnah yang mereka susun seperti Abu Ja’far ath-Thahawi ÑÍãå Çááå dalam Aqidah ath-Thahawiyah, Abu Bakar Muhammad bin Husein al-Aajurri ÑÍãå Çááå dalam asy-Syari’ah dan Imam Ahmad ÑÍãå Çááå dalam ushuulus Sunnahnya.
Berkata Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wad’iy ÑÍãå Çááå (ahlul hadits dari negeri Yaman): “Hadits-hadits tentang turunnya Isa Úáíå ÇáÓáÇã dan keluarnya Dajjal menurut para ulama adalah mutawatir. Namun mereka yang menjalani jalannya Jamaluddin, orang Iran yang mengaku afghani, sangat bermudah-mudahan dalam menolak dan mencerca hadits-hadits tersebut atau menyelewengkan maknanya kepada makna lain. Aku peringatkan kepada para penduduk Mesir dan tokoh-tokoh ulama Mesir untuk membersihkan negerinya dari pemikiran-pemikiran liberalis. Semoga Allah memberikan taufiq, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ruduud Ahlul Ilmi, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wad’i, hal. 25)
Berkata Qadli ‘Iyad ÑÍãå Çááå: “Turunnya Isa dan dibunuhnya Dajjal olehnya adalah haq dan shahih menurut para ulama ahlus sunnah, karena hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini. Dan tidak ada sesuatu pun yang bisa diingkari dalam syari’at maupun dalam akal yang sehat. Maka Wajib menetapkannya. (Lihat Syarh Shahih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 18, hal. 75)

Bantahan terhadap para pengingkar dengan alasan bahwa Rasulullah adalah penutup para nabi.
Berkata Imam Nawawi ÑÍãå Çááå: “Perkara ini telah diingkari oleh sebagian mu’tazilah, aliran Jahmiyah dan orang-orang yang mencocoki mereka dengan menganggap bahwa hadits-hadits ini tertolak dengan ayat Allah :

وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّي

Dan dia adalah penutup para nabi. (al-Ahzaab: 40)
Dan dengan ucapan Nabi:

Tidak ada nabi setelahku. (HR. Muslim)
Dan dengan ijma’ kaum muslimin bahwa tidak ada nabi setelah nabi kita Muhammad . Dan bahwasanya syariat Islam ini kekal sampai hari kiamat dan tidak dimansuhkan (tidak dibatalkan).
Ini adalah pendalilan yang rusak, karena tidaklah yang dimaksud dengan turunnya Isa adalah turun sebagai Rasul yang membawa syariat yang baru, yang memabatalkan syariat kita. Tidak ada dalam hadits-hadits ini maupun yang lainnya dalil yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan telah shahih hadits-hadits tersebut dan dalam Kitabul Iman dan lain-lainnya bahwa Nabi Isa turun sebagai hakim yang adil dengan hukum syariat kita. Dan menghidupkan perkara-perkara syariat-syariat kita yang sudah mulai ditinggalkan oleh manusia. (Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz 18, hal. 278)

Imam adz-Dzahabi ÑÍãå Çááå memasukkan Isa dalam kitabnya Tajridu As-mai ash-Shahabah (tentang nama-nama shahabat Nabi ), kemudian beliau berkata: “Isa adalah seorang shahabat dan sekaligus seorang nabi. Karena ia sempat bertemu dan melihat Nabi pada malam Isra’ dan Mi’raj. Maka beliau adalah shahabat Rasulullah yang paling terakhir wafatnya. (Tajridu Asmai ash-Shahabah Hal. 432; melalui nukilan Yusuf al-Waabil dalam Asyrathu as-Sa’ah, hal. 356)

Berkata Imam al-Qurthubi : “Suatu kaum berpendapat bahwa dengan turunnya Isa berarti akan terangkat beban syariat (nabi Muhammad Õáì Çááå Úáíå æÓáã –pen.), karena Isa turun sebagai Rasul yang terakhir di zaman tersebut, memerintahkan mereka dengan wahyu dari Allah. maka tentunya yang ini adalah batil dan tertolak karena Allah menyatakan bahwa Rasulullah adalah penutup para nabi (dalam Q.S. al-Ahzaab ayat 40). Dan juga terbantah dengan hadits: “Tidak ada nabi setelahku” (Shahih Muslim) dan hadits: “Saya adalah penutup” (Shahih Bukhari). Yang dimaksud adalah beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã adalah nabi terakhir dan penutupnya”.

Oleh karena itu jangan dianggap bahwa Isa turun sebagai rasul dengan syariat yang baru selain syariat Rasulullah . Bahkan beliau turun sebagai pengikut Nabi Muhammad sebagaimana dikabarkan dalam hadits, ketika Rasulullah bersabda kepada Umar :

Jika saja Isa masih hidup, niscaya tidak ada pilihan lain baginya kecuali mengikutiku.
Maka turunnya Isa dalam keadaan telah mengetahui perintah Allah sejak di langit sebelum turunnya. Yaitu mengetahui ilmu syariat ini untuk menghukumi di antara manusia dan beramal bagi dirinya. Maka berkumpullah orang-orang beriman mengikutinya dan dia menghukumi mereka dengan syariat Islam. (at-Tadzkirah, hal. 67-68, melalui nukilan Yusuf al-Waabil dalam Asyrathu as-Sa’ah, hal. 360-361).

Bantahan bagi para pengingkar dengan alasan ayat Allah dalam surat Ali Imran ayat 55: Inni Mutawaffiika
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ÑÍãå Çááå: “Adapun ucapan Allah yang menyatakan:

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَىٰ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا

Ketika Allah berfirman kepada Isa: “Aku me”’wafat”kanmu dan mengangkatmu kepada-Ku serta mensucikanmu dari orang-orang kafir…(Ali Imran: 55)
bukanlah berarti mematikan Isa Úáíå ÇáÓáÇã , karena kalau yang dimaksudkan adalah kematian, maka berarti Isa sama dengan orang-orang mukmin lainnya, yakni dicabutnya ruh mereka dan dibawanya ke langit. Hal ini berarti Nabi Isa tidak memiliki keistimewaan apapun. Demikian pula ucapan Allah “wa muthahiruka minaladziina kafaru”, kalau ruhnya terpisah dari jasadnya berarti jasadnya tetap di bumi seperti badannya para nabi yang lain…. (Majmu’ Fatawa, juz IV hal. 322-323)
Berarti jasadnya tetap disalib dan dihinakan oleh orang-orang kafir, yang tentunya berarti tidak disucikan dari orang-orang kafir dan ini adalah mustahil. Karena Allah dalam ayat di atas menyatakan “Dan Aku mensucikanmu dari orang-orang kafir”.
Bahkan kalimat wafat dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, karena diambil dari kata-kata qaabiduka yang bermakna menggenggam atau mengambil. Maka bisa bermakna mengambil ruh dan jasadnya (seperti Isa Úáíå ÇáÓáÇã), atau mengambil ruh tanpa jasadnya (yaitu kematian) atau mengambil kesadarannya dalam keadaan ruh dan jasadnya masih di tempatnya (yakni ketika tidur) sebagaimana Allah pergunakan kalimat wafat dalam ayat-ayat berikut:

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَ

Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya …(az-Zu-mar: 42)

وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِالنَّهَارِ

Dan Dialah yang “menidurkan”mu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari… (al-An’aam: 60)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ÑÍãå Çááå selanjutnya: “…Oleh karena itu berkata para ulama bahwa makna mutawaffiika adalah qaabidluka (mengambil kamu), yakni mengambil ruh dan jasadmu. Tidak mesti lafadz tuwaffa bermakna mengambil ruh saja tanpa jasad. Tidak mesti pula jasad dengan ruh bersama-sama. Keduanya harus dipahami sesuai dengan konteks kalimatnya. (Majmu’ Fatawa, juz IV hal. 323)

Kita katakan: bahwa konteks kalimat dalam ayat tentang Isa di atas sangat jelas. Karena Allah menyebut seiring dengan kalimat wafat kalimat raafi’uka yang bermakna mengangkatmu.
Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan makna wafat dalam ayat di atas sebagai berikut: “Yang lebih utama dari pendapat-pendapat ini untuk dikatakan shahih menurut kami adalah ucapan yang berkata bahwa makna mutawaffiika adalah “Aku memegangmu dan mengangkatmu (ruh dan jasadnya) kepada-Ku”, karena mutawatirnya hadits-hadits dari Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã yang memberitakan bahwa Isa akan turun dan membunuh Dajjal. (Tafsir ath-Thabari, juz 3, hal. 291)

(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi 71/Th. II tgl 15 Jumadi tsani 1426 H/22 J u l i 2005 M, judul asli Aqidah Para Ulama tentang turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed)