Termasuk ke dalam pokok Aqidah al Islamiyyah, bahwa seorang muslim wajib berpegang teguh dengan Aqidah ini, memberikan wala’ (loyalitas) kecintaan kepada ahlinya dan memberikan sikap bara’ (antipati) kebencian terhadap musuh-musuhnya.
Maka wajib mencintai ahli Tauhid dan ikhlas dan menolong mereka serta membenci ahli syirik dan memusuhinya. Yang demikian itu adalah milahnya (jalan yg ditempuh) Ibrahim ‘alaihis salam dan orang-orang yang bersamanya di mana kita diperintah untuk mengikutinya.
Allah berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari kekafiranmu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS Al Mumtahanah: 4).
Sikap ini juga diajarkan dalam diennya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS Al Maidah: 51).
Dan Allah juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS Al Mumtahanah: 1). Bahkan Allah telah mengaharamkan kaum muslimin berloyalitas kepada orang-orang kafir walaupun mereka kerabat dekatnya. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudaramu pemimpin-pemimpinmu. Jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zholim.” (QS At Taubah: 23).
Allah berfirman, “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapaknya atau anak-anaknya atau saudara-saudaranya ataupun keluarganya.” (QS Al Mujaadilah: 22).
Sungguh telah banyak dari kaum muslimin yang bodoh akan prinsip yang agung ini, bahkan sebagian yang menisbatkan dirinya pada ilmu dan da’wah sekalipun! Dengan alasan kemaslahatan agama dan persamaan kemanusiaan serta segudang alasan-alasan lainnya mulai terjerumus untuk menyerukan persamaan dan penyatuan agama, innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Perhatikanlah beberapa bahaya yang akan menimpa kaum muslimin dari seruan syaithon ini:
Pertama: menghalalkan persaudaraan dengan Yahudi dan Nashrani.
Kedua: menahan tulisan-tulisannya kaum muslimin dan lisan-lisannya dari mengkafirkan Yahudi dan Nashrani dan yang lainnya yang telah dikafirkan Allah dan rasul-Nya.
Ketiga: menggugurkan hukum-hukum Islam yang diwajibkan atas kaum muslimin di hadapan kaum kafirin dan yang lainnya yang tidak beriman dengan Islam.
Keempat: meninggalkan jihad yang ia sebagai puncak ketinggian Islam.
Kelima: menghancurkan kaidah Islam dan pondasinya yakni al Wala’ dan al Bara’ serta masih banyak lagi yang lainnya.
Oleh karena itu dengan bahayanya seruan ini bagi Islam dan muslimin, maka Lembaga Fatwa dari kalangan para ulama yang diketuai ketika itu oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah mengeluarkan fatwa bernomor 19402 pada tanggal 25/1/1418 H. Yang isinya kurang lebih, “Sesungguhnya seruan kepada penyatuan agama jika muncul dari seorang muslim maka berarti ia telah murtad dengan kemurtadan yang jelas karena telah melabrak pokok-pokok Aqidah, ridha dengan kekufuran terhadap Allah dan menggugurkan kebenaran Al Quran serta menolak bahwa Al Quran telah menghapus seluruh syariat dan ajaran sebelumnya, berdasarkan atas hal itu maka ia adalah fikroh (pemikiran) tertolak secara syariat, diharamkan secara pasti dengan seluruh dalil-dalil baik Al Quran, Sunnah, maupun ijma’.”
Seperti halnya Allah telah mengharamkan memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir, Allah juga mewajibkan memberikan loyalitas kepada orang-orang mu’min. Allah berfirman, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk kepada Allah. Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang.” (QS Al Maidah: 55-56).
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS Al Fath: 29). “Sesunggunya orang-orang Mu’min adalah bersaudara.” (QS Al Hujurat: 10).
Maka orang-orang yang beriman adalah bersaudara dalam agama dan aqidah walaupun berjauhan nasab, tempat, dan zaman. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Hasyr: 10).
Wal hamdulillahi robbil ‘alamin.
(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf, bulletin Al Wal wal Bara Edisi ke-12 Tahun ke-1 / 07 Maret 2003 M / 04 Muharrom 1424 H, judul asli Al Wala’ Wal Bara’ Sebuah Keharusan. Url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/12.htm#sub2) http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/12.htm#sub2)