Ahlusunnah mengimani bahwa Allah Ta’ala di atas Arsy-Nya

Ahlusunnah mengimani bahwa Allah Ta’ala di atas Arsy-Nya

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ayat-ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Maha tinggi di atas ‘Arsy-Nya sangat banyak. Diantaranya firman Allah:

Sesungguhnya Rabb kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia beristiwa’ di atas ‘Arsy… (al-A’raaf: 54 dan Yunus: 3)

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia beristiwa’ di atas ‘Arsy …. (Ar-Ra’d: 2)

Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa’ di atas Arsy…(al-Furqan: 59)

(Yaitu) Ar-Rahman yang beristiwa’ di atas ‘Arsy. (Thaha: 5)

..Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya… (Faathir: 10)

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitungan kalian. (as-Sajdah: 5)

Dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukkan Maha Tingginya Allah di atas ‘Arsy-Nya.

Dengan banyaknya ayat-ayat yang muhkamat (jelas dan tidak tersamar) tersebut, maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah sejak para Shahabat, Tabi’in dan para pengikut mereka dari kalangan ahlul hadits mengimani dengan yakin dan mempersaksikan bahwa Allah ÓÈÍÇäå æÊÚÇáì tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Mereka memahami makna istiwa’ dalam bahasa Arab yaitu “Tinggi, di Atas”. Hanya saja mereka tetap menyatakan bahwa ketinggian Allah ÓÈÍÇäå æÊÚÇáì di atas ‘Arsy-Nya tidak sama dengan mahluk-Nya; tidak seperti seorang raja di atas singgasananya dan tidak pula seperti seseorang di atas kendaraannya. Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa tingginya Allah di atas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kemuliaan-Nya.

Dan mereka tidak mempermasalahkan bagaimana dan seperti apa istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy-Nya. Karena mereka meyakini bahwa dzat Allah tidak sama dengan mahluk-Nya, maka mereka tidak mungkin menerangkan bagaimana istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy-Nya. Apalagi tidak ada satu sumberpun dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang menerangkan tentang kaifiyahnya.

Seperti kisah yang terjadi pada Imam Malik ÑÍãå Çááå sebagaimana dinukil oleh imam ash-Shabuni dalam kitabnya Aqidatus Salaf wa ashhabul Hadits. Imam Malik ketika didatangi oleh seseorang di majlisnya, kemudian bertanya: “Ar-Rahman ‘alal ‘Arsy istawa, bagaimana istiwa’-Nya?”. Beliau ÑÍãå Çááå tertunduk dan marah. Dan tidaklah beliau pernah marah seperti marahnya ketika mendengarkan pertanyaan tersebut. Beliau pun meneteskan butiran-butiran keringat dari dahinya; sementara para hadirin pun terdiam dan tertunduk, semuanya menunggu apa yang akan terjadi dan apa yang akan dikatakan oleh Imam Malik. Beberapa saat kemudian beliau ÑÍãå Çááå pun tersadar dan mengangkat kepalanya, seraya berkata:

“Tentang bagaimananya tidak bisa diketahui dengan akal, tentang makna istiwa’ sudah diketahui; beriman dengannya adalah wajib, dan bertanya tentangnya (tentang kaifiyah) adalah bid’ah. Dan sungguh aku khawatir bahwa engkau adalah orang yang sesat.”
Maka orang itupun diperintahkan untuk diusir dari majlisnya. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 45)

Demikianlah sikap keras para ulama ahlus sunnah terhadap pertanyaan takyif yang tidak mungkin bisa dipikirkan dengan akal, karena masalah dzat Alllah dan sifat-sifat-Nya adalah masalah ghaib yang kita tidak mungkin dapat mengenalinya kecuali melalui al-Qur’an dan sunnah.

Dan para ulama ahlus sunnah pun tidak ada yang berselisih tentang istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy-Nya, dan ‘Arsy-Nya di atas langit. Mereka menetapkan hal ini sesuai dengan apa yang telah Allah  tetapkan; mengimani, membenarkan Allah azza wa jalla dalam berita-berita yang telah disampaikan-Nya dan mengucapkan sesuai dengan apa yang telah Allah ucapkan tentang istiwa’Nya di atas ‘ArsyNya. Mereka melangsungkannya atas dhahir (ayat-ayat)nya dan menyerahkan tentang kaifiyahnya kepada Allah. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal.44)

Ahlus sunnah tidak pula berani menarik makna istiwa kepada makna-makna lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan lafadznya, seperti apa yang dilakukan oleh ahlul bid’ah yang menarik makna “istiwa’” kepada “istaula”. Kalimat ini bukan tafsir, bukan pula makna istiwa’, karena sama sekali tidak berkaitan dengan lafadz maupun maknanya. Perbuatan ini termasuk tahrif yaitu mengganti kalimat al-Qur’an dengan kalimat yang lain yang tidak saling berhubungan, baik secara lafadz maupun secara makna.

Pantas kalau dikatakan oleh para ulama, bahwa apa yang dilakukan oleh mereka sama persis seperti yang telah dilakukan oleh kaum Yahudi terhadap kitab mereka. Mereka mengganti kalimat ‘hithah’ menjadi ‘hinthah’.

Sebagaimana Allah Ta’ala kisahkan tentang tahrif mereka ini dalam ayat-Nya:
..
…dan katakanlah: Hiththah (“Bebaskanlah kami dari dosa”), niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik”. Maka orang-orang yang zalim mengganti kalimat yang diperintahkan kepada mereka dengan kalimat lain. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu kehinaan dari langit, karena mereka berbuat fasik. (al-Baqarah: 58-59)

Dijelaskan dalam tafsirnya, bahwa kaum Yahudi mengganti kalimat Hiththah menjadi Hinthah (gandum) untuk memperolok-olok perintah Nabinya.

Seperti inilah tahrif yang dilakukan oleh para penolak sifat terhadap kalimat “istiwa’” yang bermakna “Tinggi di atas” dengan kalimat “istaula” yang bermakna “menguasai” untuk menolak sifat Tinggi-nya Allah dan mendukung keyakinan batil mereka bahwa Allah menyatu dengan hamba-Nya di alam ini. Jika kaum Yahudi menambah huruf ‘nun’ pada Hiththah, sedangkan ahlul bid’ah menambah huruf ‘lam’ pada Istawa’.

Berkata Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash-Shabuni: “Ashhabul hadits meyakini dan mempersaksikan bahwa Allah Ta’ala di atas tujuh lapis langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana Ia sebutkan dalam kitab-Nya”. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal.44)

Berkata Abdullah ibnul Mubarak; “Kami mengenali Rabb kami di atas tujuh lapis langit, tinggi di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari mahluk-Nya. Dan kami tidak berkata seperti ucapan Jahmiyah bahwa Dia ada di sini (sambil menunjuk ke bumi)”. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 46-47)

Berkata Muhammad bin Ishak ibnu Huzaimah: “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwa Allah azza wa jalla di atas ‘Arsy-Nya, tinggi di atas tujuh lapis langit, maka dia kafir kepada Rabb-nya; halal darahnya, diminta taubat kalau mau bertaubat; kalau tidak mau bertaubat, maka dipenggal lehernyaß dibuang jasadnya ke tempat-tempat pembuangan sampah agar tidak mengganggu kaum muslimin dan para mu’ahad dengan busuknya bau bangkai mereka. Hartanya menjadi fa’i (pampasan perang untuk baitul maal). Tidak boleh mewarisinya seorang pun dari kaum muslimin, karena seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir sebagaimana ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu:

Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim. (HR. Bukhari Muslim) (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 47)

Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah berdalil atas tidak bolehnya memerdekakan budak yang kafir untuk kaffarah dengan riwayat dari Mu’awiyah bin Hakam, ketika ia ingin memerdekakan budak perempuan hitam sebagai kaffarah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengujinya dengan bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di langit”. Kemudian beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã bertanya lagi: “Siapa Aku?” Maka budak itu menjawab dengan mengisyaratkan dengan jarinya kepada beliau dan ke langit. Yakni engkau adalah utusan yang di langit. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Merdekakanlah dia, karena dia adalah seorang mukminah. (HSR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Huzaimah).

Dengan riwayat ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan keislaman budak tersebut dengan pernyataannya bahwa Allah Maha Tinggi di atas langit. Dan Imam Syafi’i berdalil dengan hadits ini karena beliau meyakini Allah Maha Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, dan bahwasanya seseorang yang mengikrarkan yang demikian adalah seorang mukmin.
Tidak mungkin seorang seperti imam Syafi’i rahimahullahu, tidak sependapat dengan hadits yang telah diriwayatkannya. Sebagaimana telah dikisahkan dari beliau ketika pada suatu hari beliau meriwayatkan hadits, ada seorang yang bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdillah (kunyah dari Imam Syafi’i –pent.) apakah engkau sependapat dengan hadits ini?” Maka beliau rahimahullahu marah seraya berkata:

Apakah engkau melihat aku (keluar) dari biara atau gereja?! Apakah engkau melihat aku memakai pakaian orang kafir?! Bukankah engkau melihat aku berada dalam masjid kaum muslimin, dengan pakaian kaum muslimin, menghadap kiblat kaum muslimin? Apakah apabila aku telah meriwayatkan hadits dari Nabi kemudian aku tidak sependapat dengannya?! (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 47-48)

Ini adalah bukti kalau imam Syafi’i tentu sependapat dengan hadits ini, bahwa seseorang dikatakan mukmin jika mengikrarkan dan meyakini bahwa Allah Maha Tinggi di Atas tujuh lapis langit di atas ‘Arsy-Nya.
Wallahu a’lam.

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: Edisi: 49/Th. II, tgl 2 Muharram 1426 H/11 Februari 2005 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli “Allah Maha Tinggi di atas Arsy-Nya”. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.)