You are currently viewing Ahlusunnah – Diantara sikap Ifrath dan Tafrith

Ahlusunnah – Diantara sikap Ifrath dan Tafrith

  • Post author:
  • Post category:Aqidah

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menggurat sebuah garis dengan tangannya seraya mengatakan inilah jalan Allah yang lurus. Setelah itu, di samping kiri dan kanan garis yang digurat tadi, beliau membuat guratan-guratan lain, lantas beliau katakan : Inilah berbagai jalan yang tiada satu jalan pun padanya melainkan setan pasti mengajak kearah jalan itu. Kemudian Nabi membaca surat al An’am ayat ke 153
æóÃóäøó åóÐóÇ ÕöÑóÇØöí ãõÓúÊóÞöíãðÇ ÝóÇÊøóÈöÚõæåõ æóáóÇ ÊóÊøóÈöÚõæÇ ÇáÓøõÈõáó ÝóÊóÝóÑøóÞó Èößõãú Úóäú ÓóÈöíáöåö Ðóáößõãú æóÕøóÇßõãú Èöåö áóÚóáøóßõãú ÊóÊøóÞõæäó. ]ÇáÃäÚÇã: 153[Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (al-An’am: 153).

Al-Hafidz Ibn Katsir menukilnya dari Imam Ahmad saat menafsirkan ayat tersebut dalam kitab tafsirnya yang terkenal Tafsir Al Quran Al Adhim sebagai berikut: Peristiwa di atas adalah berita kenabian yang umat seharusnya mengambil pelajaran daripadanya. Kita diperintahkan untuk berpijak dengan kokoh di atas jalanNya serta sabar untuk tidak tergoda mengikuti jalan yang tidak dibimbing dan diridhai-Nya.

Sungguhpun demikian pada kenyataannya banyak manusia yang tersesat dalam dua kutub ekstrem, Ifrath (berlebih-lebihan) dan Tafrith (lawannya, meremehkan/bermudah-mudahan).

Ifrath adalah sikap berlebih-lebihan dalam menjalankan agama ini. Sedemikian semangatnya, hingga tidak disadari apa yang diamalkan tersebut menambahi apa yang telah dicukupkan Allah dan RasulNya dari agama ini. Ketika menjelang berakhirnya Khulafaur Rasyidin, muncul sekelompok manusia yang tidak puas atas perundingan yang dilakukan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Mereka berdua dituduh tidak berhukum dengan hukum Allah oleh kelompok itu. Kelompok tersebut kemudian memisahkan diri dari kaum muslimin pada saat itu dan berdiam diri di suatu daerah yang bernama Haruri. Mereka meneror kaum muslimin yang berpihak kepada Ali bin Abu Thalib dan Muawiyyah.

Mereka merencanakan pembunuhan kepada keduanya karena telah dianggap kafir dengan alasan tidak berhukum dengan hukum Allah. Jargon mereka saat itu adalah Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan : Kafir, Fasik, Dholim sebagai tertera dalam al-Qur’an:
æóãóäú áóãú íóÍúßõãú ÈöãóÇ ÃóäúÒóáó Çááøóåõ ÝóÃõæáóÆößó åõãõ ÇáúßóÇÝöÑõæäó. ]ÇáãÇÆÏÉ: 44[
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (al-Ma’idah: 44)

æóãóäú áóãú íóÍúßõãú ÈöãóÇ ÃóäúÒóáó Çááøóåõ ÝóÃõæáóÆößó åõãõ ÇáÙøóÇáöãõæäó. ]ÇáãÇÆÏÉ: 45[
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (al-Ma’idah: 45)
dan
æóãóäú áóãú íóÍúßõãú ÈöãóÇ ÃóäúÒóáó Çááøóåõ ÝóÃõæáóÆößó åõãõ ÇáúÝóÇÓöÞõæäó. ]ÇáãÇÆÏÉ: 47[
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (al-Ma’idah: 47)

Namun Ali bin Abi Thalib jeli dan mengomentari ucapan mereka bahwa hal itu adalah kalimat yang haq, tapi yang dimaukan adalah kebatilan. Yakni mereka dengan ayat itu mengkafirkan kaum muslimin yang berbuat dosa besar.

Pada akhirnya Imam Ali menumpas mereka semua. Namun sebelumnya beliau mengutus Abdullah bin Abbas, seorang sahabat yang dikenal alim. Didapati oleh Ibnu Abbas orang-orang tersebut kurus karena seringnya berpuasa, kuning pucat karena banyaknya terjaga (sholat) di malam hari dan jidatnya hitam legam dari banyaknya mereka bersujud. Setelah berdialog dengan Ibnu Abbas, sebagian besar di antara mereka sadar dan kembali pada barisan kaum muslimin dan sebagian yang lainnya tetap dengan keyakinannya. Ali bin Abi Tholib memimpin sendiri penyerbuan ke kampung tersebut dan tidak dibiarkan hidup satu orangpun di antara mereka.

Ada yang mengagetkan Ali bin Abi Tholib dalam peristiwa tersebut, yaitu ciri-ciri mereka ternyata sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Nabi dulu, saat berlangsungnya pembagian pampasan perang paska Fathu Makkah. Saat itu ada kericuhan yang dipicu oleh protesnya seseorang yang bernama Dzul Khuwaisirah kepada Nabi agar Nabi berbuat adil. Kekurangajaran orang tersebut kepada Nabi memancing Umar bin Khattab menghunus pedang untuk membunuhnya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalammelarangnya, tapi beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam mentahdzir (memperingatkan umat) bahwa pada keturunan orang ini kelak akan ada sekelompok manusia yang membaca al-Quran hanya sebatas tenggorokannya saja.

Mereka keluar dari Islam seperti anak panah yang tembus keluar dari binatang buruannya, yakni masuk dari satu sisi keluar dari sisi lain. Juga disebutkan ada tanda tertentu pada ketiak mereka. Ketika tanda-tanda tersebut didapati oleh Ali bin Abi Thalib pada mereka, beliau kata-kan: “Ini adalah sejelek-jelek bangkai di kolong langit!” Itulah golongan khawarij, ke-lompok ekstem pertama pada masa permulaan Islam.

Ditumpas habisnya kelompok ini bukan berarti hilang sama sekali keberadaannya. Pemikirannya terus berkembang seiring dengan berubahnya zaman. Ketika kekecewaan menggumpal melihat kinerja pemerintah, kesewenang-wenangan menjadi kenyataan hidup, ketidakadilan merupakan bagian dari penegakan hukum dan ketika memahami agama Allah tidak seperti yang diamalkan oleh para pendahulu umat ini, embrio Khawarij akan berkembang seperti cendawan pada musim hujan. Kita tidak perlu menutup-nutupi karena kenyataan itu ada di tengah-tengah umat ini.

Ketika orang-orang yang bukan kelompoknya dianggap kafir, pemerintahan yang berbuat korup, melegalkan kemaksiatan, dan tidak menjadikan hukum Allah sebagai satu-satunya hukum dianggap kafir, maka yang terjadi adalah melakukan perlawanan dan menghalalkan darah kaum muslimin. Bagi kelompok ini, merampas harta kaum muslimin yang bukan kelompoknya, mencederai mereka, meledakan bom di tengah-tengah mereka adalah tindakan yang halal.

Sedangkan berjuang untuk kesemuanya itu, atau bahkan mati di dalamnya adalah aksi syahid yang heroik dan membanggakan. Jangan harap ada rasa bersalah pada mereka, yang ada adalah penuh percaya diri seraya mengepalkan tinju ke langit sambil berteriak: Allahu Akbar!

Bagaimana sesungguhnya sikap kita yang benar terhadap pemerintahan kaum muslimin yang tidak menegakkan hukum Islam sebagai satu-satunya hukum bagi rakyatnya?

Perhatikanlah bagaimana sikap imam Ahlus Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah terhadap pemerintahnya. Beliau ketika dipaksa oleh pemerintahan Al Watsik – yang pada saat itu berideologi Mu’-tazilah – untuk mengatakan Al Qur’an adalah makhluk bukan kalamullah sebagaimana keyakinannya dan keyakinan salafus shalih. Beliau menolak untuk mengucapkan kata-kata tersebut, meskipun beliau harus rela menerima cambukan dan dimasukkan dalam penjara. Apakah beliau melakukan pemberontakan? Tidak. Umat saat itu mulai resah, mereka datang kepada sang Imam meminta izin untuk melakukan pembelaan dan perla-wanan dengan kekuatan yang mereka yakini bisa menggulingkan Al Watsik. Tapi sang Imam tidak bergeming dengan aspirasi yang mereka sampaikan. Sebaliknya Imam Ahmad menasehati mereka dengan nasihat sebagaimana yang diucapkan oleh pendahulunya yakni, Nabi, para sahabat, tabi’in dan para imam setelahnya:
Úóáóì ÇáúãóÑúÁö ÇáúãõÓúáöãö ÇáÓøóãúÚö æóÇáØøóÇÚóÉö ÝöÜúíãóÇ ÃóÍóÈøó æóßóÑöåó ÅöáÇøó Ãóäú íõÄúãóÑó ÈöãóÚúÕöíóÉò ¡ ÝóÅöäú ÃõãöÑó ÈöãóÚúÕöíóÉò ÝóáÇó ÓóãúÚó æóáÇó ØóÇÚóÉó. (ÇÎÑÌå ÇáÈÎÇÑí æ ãÓáã).
Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan ta’at kepada )penguasanya) pada apa yang ia cintai dan ia benci, kecuali jika ia diperintahkan untuk bermaksiat. Jika ia diperintahkan untuk berbuat maksiat, maka janganlah mendengardan taat kepadanya. (HR. Bukhari Muslim)

Imam Ahmad menyadari sepenuhnya tentang betapa pentingnya arti sebuah ketaatan kepada pemerintah. Sebab jika sebuah pemerintahan digulingkan dengan cara-cara yang tidak syar’i, yang akan muncul adalah pemerintahan rapuh tak memiliki wibawa.

Jika itu terjadi, yang paling menderita adalah masyarakat secara luas. Dalam konteks inilah, Imam Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,
áóæú ßóÇäó áöí ÏóÚúæóÉñ ãõÓúÊóÌóÇÈóÉñ ãóÇ ÌóÚóáúÊõåóÇ ÅöáÇøó áöÓõáúØóÇäò.
Jika aku memiliki doa yang dipastikan terkabulnya, niscaya aku akan berdoa untuk kebaikan penguasa.

Dengan baiknya penguasa, niscaya kebaikan itu akan dinikmati masyarakat luas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukilkan sebuah riwayat dalam buku as-Siyasah asy- Syar’iy-yahnya:
ÓöÊøõæúäó ÓóäóÉò ãóÚó ÅöãóÇãò ÌóÇÆöÑò ÃóÕúáóÍõ ãöäú áóíúáóÉò æóÇÍöÏóÉò ÈöáÇó ÓõáúØóÇäò.
Enam puluh tahun dibawah penguasa yang jahat lebih baik dari pada sehari tanpa pemerintahan.

Cara berfikir ulama memang berbeda dengan orang awam apalagi para politikus yang lebih mementingkan diri dan kelompoknya.

Orang-orang besar terdahulu memberikan teladan kepada kita, pemerintahan yang represip, tidak menjalankan hukum Allah, korup dan sebagainya bukan sebuah alasan untuk melegalkan pembangkangan dan memusuhinya. Demikianlah Sikap Ifrath yang terjadi pada kelompok khawarij dan para penerusnya.

Adapun Tafrith, adalah sikap yang bermudah-mudah terhadap perkara agama ini. Sikap ini paduan dari cara berfikir liar dan kemalasan dalam beramal.

Sikap tafrith inilah yang mengantarkan pada sebuah prinsip liberal: “Cara pandang umat Islam pada agamanya harus seperti cara Barat dalam memahami agama mereka”, yaitu mereka memandang agamanya dengan mendahulukan keraguan akan keotentikan teks-teks agama mereka. Inilah yang dijejalkan orientalis kepada umat Islam yang kemudian diamini oleh para pengikutnya di kalangan umat Islam. Hal lainnya adalah bagaimana agar Barat dan komunitas non-Islam tidak merasa terganggu dengan keislaman kita.

Islam yang ingin ditampilkan adalah Islam yang toleran, tidak marahan dan Islam kalahan. Ketika barat membicarakan kesetaraan gender, para ahlut Tafrith sibuk mencari dalil yang dimaukan kendati harus menggusur prinsip-prinsip agama ini. Ketika Barat gerah dengan semakin banyaknya umat Islam yang konsekuen untuk beramal dengan agamanya, mereka melemparkan wacana normatif dan esensial.

Mereka mencontohkan tetang Jilbab, sholat atau nikah sesama muslim itu kan normatif, yang penting kan hatinya. Yang terjadi kemudian adalah pembolehan terhadap semua yang dianggap normatif. Kesibukan berdiskusi hingga meninggalkan sholat, atau adanya sebuah Yayasan Wakaf di Jakarta yang memprakarsai bahkan sekaligus tempat penyelenggaraan kawin-campur antar agama. Masih belum puas, diluncurkanlah buku yang bertajuk fikih lintas agama dengan tujuan itu tadi, supaya bisa diterima oleh komunitas non muslim.

Sebagai sebuah agama, Islam telah lengkap dan sempurna. Keberadaannya tidak perlu ada penambahan dan pengurangan. Dalam amar maruf nahi munkar, penegakan syariat dan prinsip utama lainnya semuanya telah ada contoh dan bimbingan yang sempurna.

Adalah kewajiban setiap muslim untuk menegakan syariat agama ini pada dirinya, lingkungannya, masyarakatnya dan negeri-nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
…Çáúíóæúãó ÃóßúãóáúÊõ áóßõãú Ïöíäóßõãú æóÃóÊúãóãúÊõ Úóáóíúßõãú äöÚúãóÊöí æóÑóÖöíÊõ áóßõãõ ÇáúÅöÓúáóÇãó ÏöíäðÇ… ]ÇáãÇÆÏÉ: 3[
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (al-Ma’idah: 3)
æóãóäú íóÈúÊóÛö ÛóíúÑó ÇáúÅöÓúáóÇãö ÏöíäðÇ Ýóáóäú íõÞúÈóáó ãöäúåõ æóåõæó Ýöí ÇúáÂÎöÑóÉö ãöäó ÇáúÎóÇÓöÑöíäó. ]Çá ÚãÑÇä: 85[
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran: 85)

Sungguhpun demikian, itu bukan segala-galanya. Tujuan utama hidup ini adalah beribadah kepadaNya dan tidak menyembah selainNya. Inilah misi dakwah para Nabi tatkala mereka diutus oleh Allah di muka bumi. Kaidah ushul mereka yang berujung pada makna “Tidak akan bisa syariat ditegakkan, kecuali dengan merebut kekuasaan dan memegang tampuk kepemimpinan”, hanya akan berakhir pada kesia-siaan, jika umat dalam keadaan terpuruk pada kesyirikan dan penyembahan kepada selain Allah. Jika umat dalam keadaan menerima tauhid secara utuh, maka dengan sendirinya mereka akan memilih pemimpin yang baik, bukan pemimpin yang rakus, apalagi rakus kedudukan yang mengatasnamakan agama dan keadilan.

Inilah jalan tengah yang dikehendaki Allah yang kita wajib mengikutinya. Jalan ini steril dari kepentingan apapun kecuali untuk mengikuti bimbingan-Nya. Bersih dari tendensi kekuasaan dan tegak bukan untuk menyenangkan komunitas di luar Islam.

Dengannya tereliminir perpecahan yang saat ini memang sedang getol dibangun para politikus kita. Wallahu a’lam.

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf edisi 11/Tahun I tgl 14 November 2003, penulis Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli “Ahlussunnah, diantara Ifrath dan Tafrith”. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.)