Betapa dakwah yang tersebar di masa kini, banyak jumlah da’inya, akan tetapi sayang sekali, seorang demi seorang gugur dan terjungkal dalam penyimpangan aqidah dan manhaj yang jauh dari apa yang pernah diamalkan oleh para pendahulu yang shaleh dari umat ini.
Ibnul Qayyim menegaskan hal ini dengan menyatakan :
“ adapun fitnah yang menerpa hati manusia adalah salah satu dari sekian sebab sekitnya hati tersebut. Fitnah tersebut berupa fitnah syahwat dan syubhat ( kerancuan) fitnah al ghay ( kesesatan setelah mengetahui kebenaran) dan fitnah dlalal ( kesesatan karena kebodohan) juga fitnah kemaksiatan dan bid’ahan serta fitnah kezaliman dan kebodohan. Adapun yang pertama akan menyebabkan rusaknya tujuan dan niat, sedangkan yang kedua menimbulkan kerusakan ilmu dan keyakinan ( i’tiqad).
Nabi bersabda :
“ Sesungguhnya orang yang pertama yang diputuskan perkaranya pada hati kiamat ialah orang yang syahid (gugur dalam berjihad). Dia dibawa menghadap lalu di tunjukan kepadanya nikmat yang diperolehnya dan dia pun mengenalnya. Allah berkata : “ apa yang kau kerjakan padanya?” orang yang shahid tadi mengatakan : “ saya berperang di jalanMu sampai mati”. Allah mengatakan : “ kamu dusta, kamu berperang agar diberi gelar pemberani, dan sudah di katakan demikian.” Lalu diseret di atas mukanya dan dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian seorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkan dan membaca Al Qur’an. Dia dibawa mengahadap, ditunjukkan kepadanya nikmat yang diperolehnya dan dia mengenalnya. Allah bertanya : “ Apa yang kau kerjakan padanya? “ dia berkata : “ saya mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaaca Al Qur’an karena Engkau.” Allah menjawab : “ kamu dusta, kau melakukannya agar di katakan sebagai orang yang alim (berilmu) dan digelari Qari’ ( ahli baca Al Quran) dan sudah dikatakan demikian. Kemudian dia dibawa dan diseret di atas mukanya dan di lempar ke dalam api neraka. Dan seorang yang telah luaskan kehidupannya dan memberinya berbagai jenis harta yang melimpah. Dia dibawa menghadap, diperkenalkan kepadanya nikmat yang diperolehnya dan dia mengetahuinya. Allah berkata : “ apa yang kau perbuat padanya?” dia berkata : “ tidak ada satu jalan pun yang engkau cintai agar aku berinfaq padanya melainkan saya belanjakan harta saya padanya karena Engkau.” Kata Allah : “ Kau dusta, kamu perbuat demikian adalah agar dikatakan dermawan, dan sudah dikatakan demikian. “ kemudian dia di bawa dan diseret di atas mukanya dan di lempar ke dalam neraka.” [HR. Muslim Kitabul Imara 13/75 no. 1095)
Maka hendaklah seorang muslim takut dan yakin bahwa selalu dalam pengawasan Allah berusaha menghisab dirinya sendiri, menggiatkan untuk memperbaiki niatnya. Tidak akan terwujud hati yang bersih kecuali dengan berjuang keras ( mujahadah ) dalam perjalanannya menuju Allah Subhanahuwata’ala. Ibnul Qayyim berkata :
“ yaitu hati yang selamat dari perbuatan syirik kepada Allah, dalam bentuk apapun. Bahkan telah betu-betul memurnikan pengabdianya hanya kepada Allah Ta’ala, baik dalam niat, cinta, tawakkal, ibabah ( kembali), ikhbat ( tunduk patuh kepada Allah), Khasy yah ( rasa takut kepada Allah di dasari ilmu tentang Allah), raja’ (optimis) , dan bersih amalanya hanya karena Allah. Lebih ringkas dapat di katakan bahwa hati yang selamat adalah hati yang bersih dan selamat dari semua dorongan syahwat menyelisihi perintah dan larangan Allah serta bersih dari berbagai syubhat yang menghadangnya”.
Dari sini, permasalahan ini adalah sangat besar dan berbahaya, ketika pudarnya keikhlasan dalam kehidupan seorang da’i. Dimana akhirnya dia justru akan berangkat untuk mengusahakan kerusakan dan kesesatan akibat hilangnya keikhlasan tersebut dari dalam hatinya. Selanjutnya, kalau dia mencintai sesuatu maka dia mencintainya karena hawa nafsunya.
Semua tujuan dan cita – citanya berdalih dengan apa yang dicetuskan oleh hawa nafsunya. Sama sekali tidak dilandasi kalimat yang haq ketika di ridha ( senang ) dan benci. Hal ini karena adanya keburukan dalam tujuan dan hawa nafsunya serta tidak adanya niat yang ikhlas karena Allah. Ibnul Qayim berkata :
“ tatkala kebanyakan orang yang berbicara dengan kebenaran hanya ketika dia senang ( ridha) dan teryata ketika dia marah, kemarahannya itu di melemparkanya ke dalam kebatilan, bahkan bisa jadi keridhaanya menjerumuskannya kedalam kebatilan.”
Sehingga tidak syah lagi, bahwa tidak adanya niat yang ikhlas akan mengiringi seorang da’i menempuh jalan hawa nafsu dan kerendahan. Akhirnya dia mulai mendorong pemiliknya ( orang yang tidak ikhlas ) ini menelan semua makanan yang sesuai dengan tujuan dan sasarannya, dan selanjutnya menjauhkan dari kebenaran dan perangkatnya.
Adapun da’i yang keihlasan itu berakar kuat dari sanubarinya dalam segenap maksud dan tujuannya, dialah yang selamat dari ghisyawatulqulub ( tertutupnya hati ) yang Allah sendiri tidak ingin membersihkannya. Pada saat seperti itu akhirnya hati akan terjungkal ke dalam gemilang hawa nafsu, penyelewengan dan kehinaan.
Di perjelaskan lagi oleh Ibnul Qayyim rahimahumullah :
“ Hati yang bersih karena cahaya dan hidupnya yang sempurna, bersih dari kekotoran dan kekejian, tidak akan pernah merasa kenyang dari Al Quran. Dia tidak akan pernah menelan sesuatu kecuali hakekat Al Quran. Dia tidak akan pernah menelan sesuatu ketika Al Quran tersebut, tidak akan berobat kecuali dengan obat-obat yang ada dalam Al Quran. Berbeda dengan hati yang tidak disucikan oleh Allah Subhanahuwata’ala, karena hati yang demikian akan senantiasa menelan segala sesuatu yang sesuai dengan keadaan hati tersebut.”
Beliau juga menerangkan satu kalimat agung yang dipetik dari cahaya Al Quran dan nubuwah ( kenabian ) bahwasanya ikhlas dalam beramal dan berdakwah akan menjaga seorang manusia dari cengkeraman kekuasaan syaitan. Beliau menegaskan bahwa tauhid, tawakal dan ikhlas akan menolak cengkeraman kekuasaan syaitan.
Syaikh Al ‘Allamah Asy Syin qity rahimahumullah mengatakan :
“ Allah menegaskan bahwasannya jika jelas di ketahui adanya keikhlasan di dalam hati para hamba-Nya sebagaimana layaknya, maka sebagai buah atau hasil dari keikhlasan itu, mereka akan menguasai dan mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat dari mereka. Karena itulah tatkala Allah Ta’ala mengetahui adanya keikhlasan sebagaimana yang di maukan di dalam hati para sahabat yang mengikuti baiturridlwan ( sumpah setia di Hudaibiah ), dia puji mereka dengan keikhlasan tersebut dengan firmaNya
فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ
“… maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka” ( Al Fath : 18 )
Allah nyatakan tentang buah keihlasan itu ialah bahwa Dia akan di jadikan mereka mampu melakukan sesuatu yang sebelumnya mereka tidak sanggup melaksanakannya. Sebagaiamana firman Allah Ta’ala :
وَأُخْرَىٰ لَمْ تَقْدِرُوا عَلَيْهَا قَدْ أَحَاطَ اللَّهُ بِهَا ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرًا
“ dan ( telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain ( atas negeri – negeri ) yang kamu belum dapat mengusainya yang sungguh Allah telah menentukannya “ ( Al Fath : 21)
Kesimpulannya :
Seorang da’i mengajak manusia kepada Allah, tidak akan pernah mendapatkan buahnya di dunia dan akherat sampai dakwahnya itu bersih dan murni dari segala kekotorannya riya’, sum’ah, dan bid’ah yang menyimpang.”
Imam Al Qurtubi ketika menerangkan firman Allah Ta’ala
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“ sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukaaNya dengan sesuatu pun ( An nisa 36) “
Ayat ini merupakan landasakan pokok dalam ikhlas beramal karena Allah Subhanahuwata’ala membersihkannya dari semu kotoran riya’ dan sebagaimana. Allah Ta’ala berfirman :
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“ barangsiapa mengharap perjumpaan dengan tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya ( Al Kahfi : 110 )
Manhaj ini mendorong untuk kokoh dan baik dalam beramal serta da’i yang haq mengajak kepada islam dengan ucapan dan perbuatanya. Semua itu tidak lain karena keikhlasan yang bernyala-nyala di dalam hatinya.
Seorang da’i yang mukhlis (ikhlas ) ialah da’i yang menjauhkan dakwah kepada islam ini dari semua yang merugikan penyimpangan bid’ah yang membelongkan dakwahnya dari manhaj yang lurus. Seorang da’i dituntut agar memiliki ‘aqidah dan manhaj yang lurus, dengan benar-benar membuktikan manhaj yang lurus, dengan benar-benar membuktikan manhaj Rasulullah yang telah ditempuh oleh para pendahulunya umat ini, mengimani, mengamalkannya dan mendakwahkannya. Demikian sebagaimana yang difirmankan oleh Alla Ta’ala :
وَمَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“ barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang beriman ( An Nisa : 124 )
Dalam ayat ini Allah mensyaratkan adanya iman, aqidah yang bersih sehingga seorang yang beramal betul-betul berada di atas prinsip dan landasan yang kokoh serta bersih. Oleh karena itu, makna ikhlas bukanlah semangat yang hebat yang sama sekali tidak didasari oleh batas-batas syari’at ataupun pedoman – pedoman dari As Sunnah.
( di ambil dari buku, Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al Haura’ )