TIDAK DISUKAI POSISI IMAM LEBIH TINGGI DARI MAKMUM (KECUALI KONDISI TERTENTU UNTUK KEMASLAHATAN ATAU TIDAK BISA DIHINDARI)

TIDAK DISUKAI POSISI IMAM LEBIH TINGGI DARI MAKMUM (KECUALI KONDISI TERTENTU UNTUK KEMASLAHATAN ATAU TIDAK BISA DIHINDARI)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

al-Imam Abu Dawud menuliskan judul bab dalam kitab hadits Sunan Abi Dawud:

بَاب الْإِمَامِ يَقُومُ مَكَانًا أَرْفَعَ مِنْ مَكَانِ الْقَوْمِ

Bab Imam berdiri di tempat yang lebih tinggi dari kaum (para makmum)

Beliau meriwayatkan 2 hadits:

✅Hadits pertama:

عَنْ هَمَّامٍ أَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ بِالْمَدَائِنِ عَلَى دُكَّانٍ فَأَخَذَ أَبُو مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَبَذَهُ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يُنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ قَالَ بَلَى قَدْ ذَكَرْتُ حِينَ مَدَدْتَنِي

Dari Hammaam bahwasanya (Sahabat Nabi) Hudzaifah pernah menjadi imam shalat di Madaa-in, posisi beliau di atas dipan (tempat duduk panjang, sedangkan makmum di bawah, pent). Kemudian (Sahabat Nabi) Abu Mas’ud menarik gamis Hudzaifah. Ketika selesai shalat, Abu Mas’ud berkata (kepada Hudzaifah): Bukankah engkau tahu bahwa mereka (para Sahabat Nabi) dilarang seperti itu (posisi imam lebih tinggi dari makmum, pent)? Hudzaifah menjawab: Ya. Aku baru ingat saat engkau menarikku tadi (H.R Abu Dawud)

Hadits ini dishahihkan oleh sekian banyak Ulama, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahabiy. anNawawiy dan al-Albaniy menyatakan sanadnya shahih.

✅Hadits kedua:

عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ حَدَّثَنِي رَجُلٌ أَنَّهُ كَانَ مَعَ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ بِالْمَدَائِنِ فَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَتَقَدَّمَ عَمَّارٌ وَقَامَ عَلَى دُكَّانٍ يُصَلِّي وَالنَّاسُ أَسْفَلَ مِنْهُ فَتَقَدَّمَ حُذَيْفَةُ فَأَخَذَ عَلَى يَدَيْهِ فَاتَّبَعَهُ عَمَّارٌ حَتَّى أَنْزَلَهُ حُذَيْفَةُ فَلَمَّا فَرَغَ عَمَّارٌ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ لَهُ حُذَيْفَةُ أَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا أَمَّ الرَّجُلُ الْقَوْمَ فَلَا يَقُمْ فِي مَكَانٍ أَرْفَعَ مِنْ مَقَامِهِمْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ قَالَ عَمَّارٌ لِذَلِكَ اتَّبَعْتُكَ حِينَ أَخَذْتَ عَلَى يَدَيَّ

Dari Adi bin Tsabit al-Anshariy ia berkata: telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki yang bersama Ammaar bin Yasir di al-Madaa-in. Ketika dikumandangkan iqomat, majulah Ammaar naik ke atas dipan (menjadi Imam) sedangkan orang-orang berada di bawah beliau. Kemudian majulah Hudzaifah memegang tangan Ammar menariknya mundur dan diikuti oleh Ammaar hingga turun ke bawah. Ketika Ammaar selesai shalat, Hudzaifah berkata kepadanya: Tidakkah engkau mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Jika seseorang mengimami suatu kaum, janganlah berdiri di tempat yang lebih tinggi dari tempat (berdiri) mereka. Atau dengan kalimat semakna dengan itu? Ammaar berkata: Karena itu, aku mengikuti (mundur untuk turun ke bawah) ketika engkau menarik tanganku tadi (H.R Abu Dawud)

Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albaniy dengan penguat dari hadits pertama tadi. Namun kejadian yang benar adalah seperti yang disebutkan pada hadits pertama, bahwa yang menjadi imam adalah Hudzaifah, sedangkan yang menariknya adalah Sahabat Abu Mas’ud radhiyallahu anhuma.

Dalam kondisi tertentu, karena tujuan kemaslahatan, posisi imam boleh lebih tinggi dari makmum. Seperti ketika Nabi sempat naik ke atas mimbar saat shalat, dengan tujuan menunjukkan tata cara shalat yang benar.

Sahabat Nabi Sahl bin Sa’ad as-Saa’idiy radhiyallahu anhu menyatakan:

وَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَيْهِ فَكَبَّرَ وَكَبَّرَ النَّاسُ وَرَاءَهُ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ رَفَعَ فَنَزَلَ الْقَهْقَرَى حَتَّى سَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ ثُمَّ عَادَ حَتَّى فَرَغَ مِنْ آخِرِ صَلَاتِهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِي وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي

Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tersebut kemudian bertakbir dan manusiapun bertakbir di belakang beliau. Kemudian beliau bangkit (dari ruku’) dan berikutnya turun ke belakang hingga sujud di dasar mimbar. Kemudian kembali hingga selesai sholat. Setelah itu beliau menghadap manusia dan bersabda: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku melakukan hal ini agar kalian mengikuti aku dan mempelajari (tata cara) sholatku (H.R al-Bukhari dan Muslim, lafadz sesuai riwayat Muslim)

Sebagian Ulama memberikan keringanan jika posisi imam lebih tinggi sedikit (tidak banyak) dibandingkan makmum, misalnya paling banyak seukuran 1 hasta (https://binbaz.org.sa/fatwas/1320/ حكم-ارتفاع-الامام-عن-المامومين-والحديث-في-ذلك ). Atau, posisi imam dan beberapa makmum berada di posisi yang sama tinggi, sedangkan sebagian makmum lainnya di bagian yang lebih rendah (Majmu’ Fataawaa wa Rosaail Syaikh Ibn Utsaimin (43/13)).

Wallaahu A’lam