You are currently viewing Mengangkat Derajat di Sisi Allah dengan Tawadhu’

Mengangkat Derajat di Sisi Allah dengan Tawadhu’

Oleh: Abu Umar Al Bankawy

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَال ، وَمَا زَادَ اللهُ عَبْداً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزّاً ، وَمَا تَواضَعَ أحَدٌ لله إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ – عز وجل –

“Tidaklah shadaqah itu mengurangi banyaknya harta. Tidaklah Allah itu menambahkan pada diri seseorang sifat pemaaf, melainkan ia akan bertambah pula kemuliaannya. Juga tidaklah seorang itu merendahkan diri karena Allah, melainkan ia akan diangkat pula derajatnya oleh Allah ‘azza wajalla.” (HR. Muslim)

Tawadhu’ adalah lawan dari sombong, mengangkat-angkat diri sendiri. Seorang disebut Tawadhu’ apabila dia tidak mengangkat dirinya di atas orang lain karena ilmu, nasab keturunan, harta, kedudukan, atau kepemimpinan yang dia miliki.

Tawadhu’, bersikap rendah hati adalah sifat yang diperintahkan di dalam Islam. Di dalam Al Qur’an Allah berfirman,

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan rendahkanlah dirimu kepada kaum mu’minin yang mengikutimu.” (Al Hijr: 88)

Allah juga telah menjanjikan balasan surga bagi orang yang senantiasa menjauhi sifat sombong dan selalu merendahkan diri mereka. Allah berfirman,

تِلْكَ الدَّارُ الْآَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا

“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan bagi orang-orang yang tidak berambisi untuk menyombongkan diri di atas muka bumi dan menebarkan kerusakan.” (Al Qashash: 83)

Dan dari sahabat ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,

إنَّ الله أوْحَى إِلَيَّ أنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أحَدٌ عَلَى أحَدٍ ، وَلاَ يَبْغِي أحَدٌ عَلَى أحَدٍ

“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, hendaklah kalian itu bersikap tawadhu’, sehingga tidak ada seorang yang membanggakan dirinya di atas orang lain dan tidak pula seorang itu menganiaya orang lain.” (HR. Muslim)

 

Hakikat Tawadhu’

Tawadhu’ sebagai lawan dari sikap sombong, pada hakikatnya adalah sikap menerima kebenaran dan tidak meremehkan orang lain. Hal ini tergambarkan dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)

Demikian juga para salaf ketika menjelaskan makna tawadhu’ tidaklah mereka keluar dari apa yang didefinisikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah ketika ditanya tentang makna tawadhu’ beliau menjawab, “Merendahkan diri terhadap kebenaran, tunduk kepadanya, dan menerimanya dari orang yang menyampaikannya.”

Dan dikatakan pula,

Tawadhu’ adalah engkau tidak melihat bahwa dirimu ini memiliki harga. Barangsiapa yang melihat bahwa dirinya memiliki harga maka dia tidaklah memiliki sifat tawadhu’.”

Al Junaid bin Muhammad rahimahullah berkata, “Tawadhu’ adalah merendahkan diri, bersikap lembut dan ramah.”

Abu Yazid Al Busthami rahimahullah mengatakan, “Tawadhu’ adalah seseorang tidak memandang bahwa dirinya memiliki kedudukan dan tidak melihat bahwa ada orang lain yang lebih jelek daripada dirinya.”

Ibnu Atha’ rahimahullah berkata, “Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dari siapapun. Kemuliaan itu ada di dalam tawadhu’, barangsiapa yang mencari kemuliaan di dalam kesombongan maka seolah-olah dia mencari air di dalam api.”

Ibrahim bin Syaiban rahimahullah berkata, “Kemuliaan itu ada di dalam tawadhu’, kehormatan itu ada di dalam ketaqwaan, dan kebebasan itu ada di dalam qana’ah (sikap menerima).”

 

Ketawadhu’an Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

 Meski beliau adalah utusan Allah yang memiliki keutamaan yang besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersikap tawadhu’ dan tinggi hati. Hal ini tergambar dalam tutur perilaku beliau.

‘Umar bin Al-Khattab bercerita tentang hadits ila’ (sumpah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap istri beliau dengan tidak mendatangi mereka selama sebulan. Beliau menjauhi istrinya di sebuah ruangan. Tatkala ‘Umar masuk kepada beliau di ruangan tersebut dan tidak didapatkan selain sebungkus makanan dari daun dan kulit serta gandum, beliau berbaring di atas tikar yang jalinannya membekas pada tubuh beliau sehingga Umar menangis. Maka beliau berkata, “Ada apa kamu?” ‘Umar mengatakan, “Wahai Rasulullah, engkau pilihan Allah dari makhluk-Nya, sedangkan pembesar Romawi dan Persia dalam kondisi yang mewah”. Maka beliau duduk dan memerah wajahnya dan bersabda, “Apakah engkau ragu wahai ‘Umar?” Kemudian beliau bersabda, “Mereka adalah kaum yang disegerakan bagi mereka kemewahan-kemewahan di dunia.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dari Al-Aswad bin Yazid An-Nakha’i rahimahullah berkata bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apa yang beliau perbuat di rumahnya. Maka beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ يَكُون في مِهْنَةِ أهْلِهِ – يعني : خِدمَة أهلِه – فإذا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ ، خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ

“Beliau membantu kebutuhan-kebutuhan keluarganya dan jika datang waktu shalat, beliau berwudhu dan keluar menegakkan shalat.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu beliau berkisah,

إن كَانَتِ الأَمَةُ مِنْ إمَاءِ المَدينَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَاءتْ

“Bahwasanya ada seorang hamba sahaya wanita dari golongan hamba sahaya wanita yang ada di Madinah mengambil tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu wanita itu berangkat dengan beliau ke mana saja yang dikehendaki oleh wanita itu.” (HR. Al Bukhari)

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu pula,

أنَّهُ مَرَّ عَلَى صبيَانٍ ، فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ ، وقال : كَانَ النبيُّ – صلى الله عليه وسلم – يفعله

Bahwasanya beliau berjalan melalui anak-anak, kemudian ia memberikan salam kepada mereka ini dan berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga melakukan sedemikian.” (Muttafaq ‘alaih)

Wallahu ta’ala a’lam bisshawab.

Referensi:

–          Madaarijus Saalikin, Al Imam Ibnul Qayyim

–          Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

–          Qutufun min Syamaaili Al Muhammadiyyah, Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu