Syar’inya Meninggalkan Majelis Tokoh Tertentu Ahli Bid’ah

Syar’inya Meninggalkan Majelis Tokoh Tertentu Ahli Bid’ah

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

BAB 11
Bolehnya Meninggalkan Tokoh Tertentu Ahli Bid’ah, Majelis Mereka, Dan Menjauhkan Manusia Dari Mereka

109. Farwah bin Yahya biasa duduk dengan Abdul Karim Khashifa, datang kepada mereka Salim Al Afthas dari Iraq lalu berbicara tentang pemikiran Murjiah maka mereka berdiri dari majelis tersebut katanya (rawi) :
“Sering saya lihat dia duduk sendirian tanpa seorang pun yang mendekatinya.” (Al Ibanah 2/452 nomor 418)
110. Seseorang berkata kepada Ibnu Sirin :
“Sesungguhnya si Fulan ingin menemui Anda dan tidak akan berbicara tentang apa pun.”
Katanya : “Katakan kepadanya, tidak! Ia tidak usah menemuiku karena sesungguhnya hati anak Adam itu lemah dan saya takut mendengar satu kata saja dari dia yang menyebabkan hatiku tidak kembali kepada keadaanya semula.” (Ibid 2/446 nomor 399-401)
111. Ma’mar berkata, ketika Ibnu Thawus sedang duduk, datang seorang Mu’tazilah dan mulai berbicara katanya (rawi) lalu ia menutup telinganya dengan jarinya dan berkata kepada anaknya :
“Wahai anakku, tutuplah telingamu dengan jarimu dan keraskanlah dan jangan kau dengar ucapannya sedikitpun.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh baghdad 8/215)
112. Abdur Razzaq berkata, Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya berkata kepadaku –ia seorang Mu’taziliy– :
“Saya lihat kaum Mu’tazilah banyak di sekitarmu?” Saya katakan : “Betul dan mereka menyangka kamu termasuk golongan mereka.” Katanya : “Apakah tidak sebaiknya kamu ikut denganku ke warung ini agar saya berbicara denganmu?” Saya berkata : “Tidak usah.” Ia bertanya : “Mengapa?” Jawabku : “Karena hati manusia itu sangat lemah sedangkan agama itu bukan kepunyaan orang yang menang berdebat.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh Baghdad 8/215)
113. Ibrahim An Nakha’i berkata kepada Muhammad bin As Saib :
“Janganlah kamu mendekati kami selama kamu masih berpegang dengan pendapatmu ini (pemikiran Murjiah). (Karena dia seorang Murjiah, pent.).” (Al Bida’ 59)
114. Abul Qasim An Nashr Abadzy berkata :
“Sampai kepadaku bahwa Al Harits Al Muhasibiy mengucapkan sesuatu tentang Al Kalam (Al Quran) maka Imam Ahmad bin Hanbal menjauhinya, ia pun bersembunyi dan ketika ia mati tidak ada yang mendatanginya kecuali 4 orang.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh Baghdad 8/216)
115. Ketika ditanya tentang Al Muhasibi dan kitab-kitabnya, Abu Zur’ah menjawab :
“Tinggalkan olehmu kitab-kitab ini (karena) ini adalah kitab-kitab bid’ah dan sesat. Berpeganglah dengan atsar Salafus Shalih sebab sesungguhnya akan kamu dapatkan padanya segala sesuatu yang mencukupi kamu. Dan tidak perlu kitab-kitab ini.”
Lalu dikatakan kepadanya : “Di dalam kitab ini ada juga ibrah (pelajaran yang dapat diambil).”
Beliau berkata : “Barangsiapa yang tidak dapat mengambil ibrah dari Kitab Allah maka dia tidak akan mendapatkan ibrah dari sumber yang lain.” Kemudian katanya lagi : “Alangkah cepatnya manusia itu menuju bid’ah.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh Baghdad 8/215)
116. Dengan sanad yang shahih, Al Khathib Al Baghdadi meriwayatkan bahwa Imam Ahmad pernah mendengar ucapan Al Muhasibi maka iapun berkata kepada para shahabatnya :
“Aku belum pernah mendengar tentang perkara hakikat seperti ucapan orang ini akan tetapi saya menganggap tidak perlu kamu bergaul dengannya.” (At Tahdzib 2/117)
117. Daud Al Ashbahani tiba di Baghdad dan dia punya hubungan baik dengan Shalih bin (Al Imam) Ahmad bin Hanbal. Ia meminta Shalih agar berlemah-lembut memintakan izin kepada ayahandanya untuk dirinya. Maka Shalih mendatangi ayahnya lalu berkata :
“Seseorang memintaku agar ia boleh menemui Anda.” Beliau bertanya : “Siapa namanya?” Shalih berkata : “Daud.” Kata beliau : “Asalnya dari mana?” Kata Shalih : “Dari penduduk Ashbahan.” Beliau bertanya lagi : “Apa yang diperbuatnya?” Kata (rawi), Shalih selalu mengelak mengenalkannya kepada ayahandanya dan Imam Ahmad selalu berusaha untuk bertanya sampai akhirnya beliau mengerti betul siapa yang datang. Maka kata beliau : “Tentang orang ini, Muhammad bin Yahya An Naisaburi telah menuliskannya kepadaku lewat surat bahwa ia menganggap bahwa Al Quran adalah muhdats (makhluk) maka janganlah ia mendekatiku.”
Kata Shalih : “Wahai ayahanda, ia pun menolak dan mengingkarinya.” Maka kata beliau : “Ucapan Muhammad bin Yahya lebih jujur dari orang ini, jangan izinkan dia mendatangi saya.” (Tarikh Baghdad 8/373,374 dan As Siyar 13/99)
118. Abdullah bin Umar As Sarkhasi berkata, saya pernah makan di sisi seorang ahli bid’ah lalu sampai berita ini kepada Ibnul Mubarak maka katanya :
“Saya tidak akan mengajaknya bicara selama tiga puluh hari.” (Al Lalikai 1/139 nomor 274)
119. Al Faryabi berkata :
“Sufyan Ats Tsauri selalu melarangku duduk (bermajelis) dengan Fulan –yakni seorang ahli bid’ah–.” (Al Ibanah 2/463 nomor 452-456)
120. Dua orang ahli ahwa’ mendatangi Ibnu Sirin lalu berkata :
“Hai Abu Bakr, (bolehkah) kami menyampaikan satu hadits kepadamu?”
Ia berkata : “Tidak.” Keduanya berkata lagi : “Atau kami bacakan ayat Al Quran kepadamu?”
Ia menjawab : “Tidak. Kalian pergi dari saya atau saya yang akan pergi?”
Lalu keduanya keluar maka sebagian orang berkata : “Hai Abu Bakr, mengapa Anda tidak mau mereka membacakan ayat-ayat Al Quran kepadamu?” Beliau menjawab :
“Sesungguhnya saya khawatir ia bacakan kepadaku satu ayat lalu mereka menyelewengkannya sehingga berbekas dalam hatiku.” (Ad Darimy 1/120 nomor 397)
121. Salam berkata, seorang ahli ahwa berkata kepada Ayyub :
“Saya ingin bertanya mengenai satu kalimat kepada Anda.” Ayyub segera berpaling dan berkata : “Tidak perlu meski setengah kalimat walaupun setengah kalimat.” –Ia mengisyaratkan jarinya–. (Al Ibanah 2/447 nomor 402, Al Lalikai 1/143 nomor 291, As Sunnah li Abdillah 1/138 nomor 101, Ad Darimy 1/121 nomor 398)
122. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Jauhilah olehmu duduk dengan orang yang dapat merusak hatimu dan jangan duduk dengan pengekor hawa nafsu karena sesungguhnya saya khawatir kamu terkena murka Allah.” (Al Ibanah 2/462-463 nomor 451-452)
123. Ismail Ath Thusi mengatakan, Ibnul Mubarak berkata kepadaku :
“Hendaknya majelismu itu bersama orang-orang miskin dan berhati-hatilah jangan duduk bersama ahli bid’ah.”
124. Nafi’ menceritakan bahwa Shabigh Al Iraqi mulai bertanya-tanya tentang sesuatu dari Al Quran di tengah-tengah pasukan Muslimin sampai tiba di Mesir lalu Amru bin Al Ash mengirimnya kepada Umar bin Al Khaththab. Maka ketika utusan menemuinya dengan surat dari Amru, Umar bin Al Khaththab segera membacanya, katanya :
“Mana orang itu?” Utusan itu berkata : “Ia di kendaraan.” Kata Umar : “Awasi dia! Kalau dia hilang, kamu akan kena hukuman yang menyakitkan.”
Maka dibawalah Shabigh, kata Umar : “Kamu bertanya-tanya soal yang baru (belum pernah ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).” Lalu Umar minta pelepah kurma yang masih segar dan memukulkannya ke punggung Shabigh sampai remuk kemudian ditinggalkan sampai pulih kembali dan diulangi lagi kemudian ia dipanggil agar menghadap maka kata Shabigh : “Jika Anda ingin membunuhku maka bunuhlah dengan baik kalau Anda ingin mengobatiku maka sungguh demi Allah saya sudah sembuh (dari keinginan bertanya-tanya).”
Kemudian ia diizinkan kembali ke negerinya dan Umar menulis surat kepada Abu Musa Al Asy’ari, jangan ada seorang pun dari kaum Muslimin duduk bersamanya. Akhirnya hal ini terasa sangat berat bagi Shabigh kemudian (setelah ia bertaubat) Abu Musa menulis surat kepada Umar bin Al Khaththab bahwa Shabigh telah baik keadaannya, setelah itu Umar menulis surat kepada Abu Musa agar manusia diizinkan untuk duduk bersamanya. (Ad Darimy 1/67 nomor 148, Al Hujjah 1/194, dan Al Bida’ 63)
125. Salah seorang Salaf berkata :
“Saya pernah berjalan bersama Amru bin Ubaid dan dilihat oleh Ibnu Aun, sejak itu iapun menjauhiku selama dua bulan.” (Al Bida’ 58)

(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed. Diambil dari www.assunnah.cjb.net.)