Pertentangan kelas menjadi doktrin kuat yang dianut oleh para kader Marxisme. Karena prinsip ideologi komunis semacam itu, maka para petani, buruh, nelayan, dan kaum miskin menjadi ladang garap utamanya.
Komunis Uni Soviet membangun kekuatan partai di lingkungan para pekerja (buruh). Adapun komunis Cina membangun garda pertahanan partainya di wilayah berbasis petani. Kalangan fakir, miskin, orang-orang lemah, orang-orang tertindas, menjadi lahan subur bagi tumbuhnya komunisme.
Di Indonesia tak jauh berbeda. Sejarah perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI) tak bisa dipisahkan dari kaum proletar (rakyat jelata, seperti kaum buruh, petani, dan nelayan). Dalam keorganisasian pun, PKI memiliki organisasi sayap, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), dan organisasi berbasis massa lainnya.
Melalui organisasi sayap petani, BTI, PKI melakukan aksi pertentangan kelas. Dengan dalih membela para petani miskin, PKI menuntut dilaksanakannya Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian (UU No. 2/1960) dan Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5/1960).
Sejalan dengan propaganda yang dicanangkan, dalam rangka mempertajam pertentangan kelas sesuai dengan doktrin Marxisme-Leninisme, PKI mengampanyekan pula sikap anti “Tujuh Setan Desa”. Adapun yang dimaksud sebutan “Tujuh Setan Desa” adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pemungut/pengumpul zakat.
Pada 26 Maret 1964, BTI Jawa Tengah melakukan aksi di Desa Kingkang, Kecamatan Wonosari. BTI memprovokasi para petani sehingga terjadi konflik. Atas hasutan BTI, massa anggota BTI melakukan tindak kekerasan terhadap tuan tanah di desa tersebut. Melalui BTI, PKI menumbuhkan saling membenci di antara komponen masyarakat. Bahkan, penganiayaan secara fisik pun terjadi. Masyarakat diadu domba. Doktrin pertentangan kelas menjadi andalan kaum komunis untuk membenturkan antaranak bangsa.
Tanggal 15—16 Oktober 1964 di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, aksi massa BTI pun tak kalah sadis. Tujuh anggota petugas perkebunan milik negara dianiaya oleh massa komunis dari BTI. Sekali lagi, kampanye PKI untuk melakukan aksi pertentangan kelas terus digalakkan saat itu. Akhirnya, berbagai kasus konflik di tengah masyarakat bermunculan, seperti di Kediri (Jawa Timur), Simalungun (Sumatra Utara), dan tempat lainnya. (Lihat Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1994)
Demikianlah orang-orang komunis. Melalui organisasi tani BTI, mereka menghasut anggota dan simpatisannya untuk bertindak onar tanpa kendali. Mereka hendak memaksa pemilik tanah untuk menyerahkan tanahnya dengan dalih melaksanakan undang-undang. Akibat tindakan mereka terjadilah konflik di berbagai daerah.
PKI menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya. Termasuk menggunakan cara adu domba, yang mereka sebut dengan “pertentangan kelas”. Pertentangan antara kelas borjuis (pemilik tanah) dan kaum proletar (rakyat jelata, buruh tani miskin).
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يدْخُلُ الجنَّةَ نَمَّامٌ
“Tidak akan masuk surga, orang yang suka mengadu domba.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Hudzaifah radhiyalllahu ‘anhu). (Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Rifa’i)
www.antikomunisme.com/pertentangan-kelas-adalah-adu-domba/