Kekuatan ‘super power’ Romawi yang dahsyat (kala itu), bukannya membuat semangat jihad para sahabat berkurang. Mereka justru berlomba-lomba datang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta agar dibawa serta dalam jihad tersebut. Namun, sebagiannya terpaksa harus kembali sambil bercucuran air mata, karena mereka tidak memiliki sesuatu yang dapat mereka berikan untuk berjihad di jalan Allah Subhanahuwata’ala ini.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman menceritakan kesedihan mereka, padahal Dia telah memberi keringanan bagi mereka untuk tidak berangkat:
لَّيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَىٰ وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ () وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوا وَّأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنفِقُونَ
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit, dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang, dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu’, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (At-Taubah: 91-92)
Keadaan yang sulit, panas menyengat, dan perbekalan yang tidak memadai menurut hitungan matematika manusia, tidak membuat luntur keinginan mereka memperoleh kesyahidan.
Beberapa orang hartawan di kalangan sahabat berlomba-lomba menginfakkan hartanya membiayai jaisyul ‘usrah (Pasukan Kesulitan).
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu menuturkan: “Inilah saatnya, aku akan mengalahkan Abu Bakr Ash-Shiddiq (dalam kebaikan).”
Esok harinya, dia berangkat menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membawa separuh hartanya untuk membiayai jaisyul ‘usrah ini.
Rasulullah n bertanya kepadanya: “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai ‘Umar?”
“Masih ada separuhnya buat mereka, wahai Rasulullah,” jawab ‘Umar.
Tak berapa lama datanglah Ash-Shiddiq Al-Akbar radhiyallahu anhu. Dia datang menyeret hartanya yang cukup banyak dan menyerahkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Melihat harta yang cukup banyak itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya pula: “Apa yang engkau tinggalkan buat keluargamu, wahai Abu Bakr?”
Abu Bakr menjawab: “Allah dan Rasul-Nya, yang aku tinggalkan untuk mereka.”
Mendengar jawaban yang penuh keyakinan ini, ‘Umar radhiyallahu anhu berkata: “Demi Allah, aku tidak akan berlomba lagi dalam hal apapun denganmu selama-lamanya, wahai Abu Bakr.”[1]
Kemudian, datanglah ‘Utsman membawa seribu dinar lalu mencurahkannya di pangkuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Melihat harta tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membolak-balikkan dinar yang ada di tangan beliau, seraya berkata: “Tidak merugikan ‘Utsman, andaikata dia tidak beramal sesudah hari ini.”[2]
Demikianlah apabila iman sudah tertanam kokoh dalam sanubari setiap muslim. Membelanjakan harta di jalan Allah Subhanahuwaa’ala, bukanlah sesuatu yang berat, sebesar apapun. Padahal watak asli manusia sangatlah cinta kepada harta. Sebagaimana Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” (Al-‘Adiyat: 8)
Juga firman-Nya:
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (Al-Fajr: 20)
Bahkan Allah Subhanahuwata’ala memberi syarat, bahwa seseorang akan mencapai tingkatan al-birr (kebajikan, ketakwaan) apabila dia sanggup membelanjakan harta yang dicintainya:
لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai…” (Ali ‘Imran: 92)
Sementara, sebagian orang kaya dari kalangan munafik, justru mencari-cari alasan agar tidak ikut serta dalam peperangan ini. Begitu pula orang-orang baduinya. Tapi Allah Subhanahuwata’ala tidak menerima uzur mereka.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَن يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنفِرُوا فِي الْحَرِّ ۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا ۚ لَّوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ () فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلًا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.’ Katakanlah: ‘Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)’, jikalau mereka mengetahui. Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis yang banyak, sebagai balasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (At-Taubah: 81-82)
Menuju Tabuk
Dengan kekuatan 30.000 personil, bertolaklah jaisyul ‘usrah menghadang tentara Romawi yang ingin memadamkan cahaya agama Allah Subhanahuwata’ala.
Pasukan berangkat di bawah terik matahari yang membakar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhusebagai wakil beliau mengurus keluarga beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengangkat Muhammad bin Maslamah Al-Anshari sebagai pengganti beliau di Madinah.
Melihat ‘Ali tertinggal, beberapa kaum munafik mencemoohnya: “Dia ditinggal karena memberatkan dan agar ia menjadi lebih ringan.”
Mendengar ejekan tersebut, ‘Ali bergegas mengambil senjatanya dan menyusul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang ketika itu sudah tiba di Jurf.[3] Kemudian ‘Ali menceritakan bahwa orang-orang munafik mengejeknya karena tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka dusta. Kamu aku tinggalkan karena orang-orang yang ada di belakangku. Kembalilah, gantikan aku dalam mengurus keluargaku dan keluargamu. Tidakkah engkau ridha, kedudukanmu di sisiku seperti Harun dengan Musa. Hanya saja, tidak ada lagi nabi sesudahku.”[4]
Dengan patuh, ‘Ali radhiyallahu anhu kembali ke Madinah.
Kondisi yang berat, membuat wajar saja jika sebagian orang tertinggal sebetulnya. Tapi, itulah serangkaian ujian karena mereka telah menyatakan beriman dan taat kepada Allah Subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya. Sehingga mau tidak mau, halangan apapun, harus mereka singkirkan dan mendahulukan seruan Allah Subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya untuk berjihad.
Abu Khaitsamah radhiyallahu anhu dan Abu Dzar radhiyallahu anhu sempat tertinggal
Beberapa hari setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat, Abu Khaitsamah pulang menemui keluarganya. Dia dapati kedua istrinya sedang berada di dalam kebun. Masing-masing istrinya telah mempersiapkan tempat berteduh dan menyediakan makanan serta air yang sejuk untuk mereka.
Ketika Abu Khaitsamah masuk, dia tertegun di ambang pintu tenda. Dia memandang kedua istrinya dan memerhatikan apa yang mereka lakukan. Sambil bergumam, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang kepanasan di bawah terik matahari, diterpa angin gurun. Sementara Abu Khaitsamah berada di bawah naungan yang teduh, makanan yang terhidang, istri-istri yang cantik, dan di tengah-tengah hartanya? Sungguh, ini tidak adil.”
Memang. Alangkah tidak adilnya seandainya seseorang membiarkan kekasihnya dalam keadaan menderita sementara dia bersenang-senang. Terlebih lagi kekasih itu adalah manusia paling utama, dimana ketaatan kepadanya adalah kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.
Abu Khaitsamah tidak rela melihat sikapnya seperti itu terhadap kekasih dan junjungannya. Dengan tegas dia berkata: “Demi Allah. Aku tidak akan masuk tenda salah seorang dari kamu berdua sampai aku berhasil menyusul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka siapkan bekalku.”
Kedua wanita yang taat dan mencintai suaminya itu dengan segera menyiapkan kebutuhan sang suami. Akhirnya, Abu Khaitsamah berangkat menyusul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di tengah perjalanan, Abu Khaitsamah bertemu dengan ‘Umair bin Wahb Al-Jumahi yang juga ingin menyusul Rasulullah n. Mereka pun berangkat bersama.
Menjelang dekat dengan Tabuk, Abu Khaitsamah berkata kepada Wahb: “Aku telah berdosa. Maka tidak ada salahnya engkau meninggalkanku sampai aku bertemu Rasulullah.”
Wahb pun menerimanya.
Kemudian, tatkala telah mendekati tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang singgah di Tabuk. Sebagian pasukan berseru: “Ada kendaraan di tengah jalan menuju kemari.”
Mendengar itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu tentu Abu Khaitsamah.”
Kata mereka: “Demi Allah. Dia memang Abu Khaitsamah, wahai Rasulullah!”
Setelah menambatkan untanya, dia menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberi salam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “(Ini) lebih utama bagimu, wahai Abu Khaitsamah.”
Kemudian, Abu Khaitsamah menceritakan keadaan dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mendoakan kebaikan untuknya.[5]
Sebelum tiba di Tabuk, rombongan pasukan melintasi daerah Hijr, wilayah pemukiman bangsa Tsamud. Sambil menutupkan kain ke wajahnya dan memacu kendaraannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
لَا تَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ، لَا يُصِيبُكُمْ مَا أَصَابَهُمْ
“Janganlah kamu memasuki negeri orang-orang yang disiksa ini, kecuali dalam keadaan menangis. Kalau kamu tidak menangis, janganlah memasukinya, agar kamu tidak terkena azab seperti yang telah menimpa mereka.”[6]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingatkan:
سَتَهُبُّ عَلَيْكُمُ اللَّيْلَةَ رِيحٌ شَدِيدَةٌ، فَلَا يَقُمْ فِيهَا أَحَدٌ مِنْكُمْ، فَمَنْ كَانَ لَهُ بَعِيرٌ فَلْيَشُدَّ عِقَالَهُ. فَهَبَّتْ رِيحٌ شَدِيدَةٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَحَمَلَتْهُ الرِّيحُ حَتَّى أَلْقَتْهُ بِجَبَلَيْ طَيِّئٍ
“Akan berembus angin kencang malam ini. Maka janganlah seorang pun dari kalian berdiri. Siapa yang mempunyai unta, hendaklah dia kencangkan ikatannya.”
Bertiuplah angin kencang itu. Ada seseorang yang berdiri, maka dia diterbangkan angin itu sampai jatuh di (dua???) bukit Thayyi’.[7]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga berpesan kepada pasukan agar jangan menggunakan air dari sumur yang ada, baik untuk berwudhu ataupun makan. Tapi hendaknya menggunakan air yang dahulu menjadi tempat minum unta Nabi Shalih q. Kalau ada yang hendak pergi buang hajat, hendaknya berangkat disertai temannya.
Sebelum tiba di Tabuk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga sempat berpesan:
إِنَّكُمْ سَتَأْتُونَ غَدًا إِنْ شَاءَ اللهُ عَيْنَ تَبُوكَ، وَإِنَّكُمْ لَنْ تَأْتُوهَا حَتَّى يُضْحِيَ النَّهَارُ، فَمَنْ جَاءَهَا مِنْكُمْ فَلَا يَمَسَّ مِنْ مَائِهَا شَيْئًا حَتَّى آتِيَ. فَجِئْنَاهَا وَقَدْ سَبَقَنَا إِلَيْهَا رَجُلَانِ وَالْعَيْنُ مِثْلُ الشِّرَاكِ تَبِضُّ بِشَيْءٍ مِنْ مَاءٍ. قَالَ: فَسَأَلَهُمَا رَسُولُ اللهِ n: هَلْ مَسَسْتُمَا مِنْ مَائِهَا شَيْئًا؟ قَالَا: نَعَمْ. فَسَبَّهُمَا النَّبِيُّ وَقَالَ لَهُمَا مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُولَ، قَالَ: ثُمَّ غَرَفُوا بِأَيْدِيهِمْ مِنَ الْعَيْنِ قَلِيلًا قَلِيلًا حَتَّى اجْتَمَعَ فِي شَيْءٍ. قَالَ: وَغَسَلَ رَسُولُ اللهِ فِيهِ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ أَعَادَهُ فِيهَا فَجَرَتِ الْعَيْنُ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ -أَوْ قَالَ: غَزِيرٍ؛ شَكَّ أَبُو عَلِيٍّ أَيُّهُمَا قَالَ- حَتَّى اسْتَقَى النَّاسُ ثُمَّ قَالَ: يُوشِكُ يَا مُعَاذُ، إِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ أَنْ تَرَى مَا هَاهُنَا قَدْ مُلِئَ جِنَانًا
“Sesungguhnya besok, kamu akan mendekati mata air Tabuk, Insya Allah. Kamu tidak akan memasukinya kecuali sampai masuk waktu dhuha. Maka siapa di antara kamu yang sampai padanya, janganlah dia menyentuh airnya sedikitpun, hingga aku datang.” Tapi ada dua orang yang mendahului kami sampai di tempat itu, sedangkan airnya menetes sangat sedikit.
Kata perawi: Rasulullah n bertanya kepada keduanya: “Apakah kamu berdua sudah menyentuh air ini?”
Keduanya berkata: “Ya.” Mendengar ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mencela keduanya sedemikian rupa dan mengucapkan kata-kata menurut apa yang Allah kehendaki.
Kemudian mereka menciduk air itu dengan tangan mereka sedikit demi sedikit hingga terkumpul dalam satu wadah.
Rasulullah n pun membasuh kedua tangan dan wajahnya, lalu mengembalikannya ke tempat itu. Seketika memancarlah air yang berlimpah atau sangat banyak. (Abu ‘Ali ragu-ragu mana yang disebutkan perawi). Akhirnya pasukan itu memperoleh air minum.
Kemudian beliau berkata: “Wahai Mu’adz, andaikata panjang usiamu, sungguh akan engkau lihat di sini akan penuh dengan kebun-kebun.”[8]
Itulah sebagian mukjizat beliau dan sekarang telah menjadi kenyataan.
Setelah tiba di Tabuk, beliau mengistirahatkan pasukan dan menetap beberapa hari di sana.
Tak lama, datanglah penguasa negeri Aylah. Dia mengajak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdamai dan bersedia menyerahkan jizyah (upeti).
Beberapa hari menetap di Tabuk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukan menjamak shalat mereka. Melihat pasukan Romawi tidak muncul, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersiap-siap hendak kembali. (Insya Allah bersambung)
[1] Lihat Shahih Abu Dawud (5/366) dan At-Tirmidzi (3676), beliau mengatakan: “Hasan shahih.”
[2] HR. At-Tirmidzi (no. 3634) dan kata beliau: “Hadits ini hasan gharib.” Lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2920.
[3] Kira-kira 30 mil dari Madinah.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (8/86) dan Muslim (no. 2404), lihat Zadul Ma’ad 3/530.
[5] Sirah Ibnu Hisyam (2/520-521), dalam Zadul Ma’ad (3/530-531).
[6] HR. Imam Al-Bukhari (8/288) dan Al-Imam Muslim (no. 2980), dalam Zadul Ma’ad (3/532).
[7] Diriwayatkan oleh Muslim (4/1785), lihat Zaadul Ma’ad (3/531).
[8] HR. Muslim (706).