Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhuma-, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
((لاَ تُصَلِّي إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْن))
“Janganlah kalian shalat, kecuali menghadap sutrah dan janganlah kalian membiarkan seorangpun lewat di hadapanmu, jika dia menolak hendaklah kamu bunuh dia, karena sesungguhnya ada syetan yang bersamanya.“[1]
Dari Abu Sa’id al-Khudri -radhiyallahu ‘anhuma-, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-” bersabda:
((إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ))
“Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorangpun lewat di antara engkau dengan sutrah. Jika ada seseorang melewatinya, hendaklah engkau membunuhnya, karena sesungguhnya dia itu syetan.”[2]
Dalam satu riwayat: “Maka sesungguhnya syetan melewati antara dia dengan sutrah.” Dari Sahl bin Abu Hitsmah -radhiyallahu ‘anhu-: Dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau berkata:
((إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ، فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَيَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ))
“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekatinya, sehingga syetan tidak memutus atas shalatnya.”[3]
Dalam satu riwayat:
((إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ، وَلْيَقْتَرِبْ مِنَ السُّتْرَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ))
“Jika salah seorang dari kalian shalat, maka hendaklah dia memakai sutrah dan mendekatinya, karena sesungguhnya syetan akan lewat di hadapannya.”[4]
Asy-Syaukani berkata sebagai komentar atas hadits Abu Sa’id yang lalu: “Dalam hadits tersebut mengandung dalil, bahwa membuat sutrah dalam shalat adalah wajib.”[5]
Dia (asy-Syaukani) berkata: “Kebanyakan hadits yang mencakup perintah membuat sutrah, dan dhahir dari perintah itu menunjukkan wajib. Jika didapati suatu dalil yang memalingkan perintah wajib ini kepada sunnah, maka hukumnya menjadi sunnah. Tidaklah benar untuk dijadikan sebagai dalil yang memalingkan, yaitu sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Maka sesungguhnya sesuatu yang lewat di hadapannya tidak membahayakannya.” Karena seseorang yang shalat itu wajib menjauhi sesuatu yang membahayakannya dalam shalat atau menjauhi sesuatu yang bisa menghilangkan sebagian pahalanya.[6]
Di antara hal yang menguatkan wajibnya membuat sutrah:
“Sesungguhnya sutrah itu sebab yang syar’i, yang dengannya shalat seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang wanita yang baligh, keledai atau anjing hitam, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih. Dan untuk mencegah orang yang lewat dihadapannya serta hukum-hukum selain yang berkaitan dengan sutrah.[7]
Oleh karena itu, salafus shalih -semoga Allah meridhai mereka- sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat. Sehingga datanglah perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan, bahwa mereka sangat gigih dalam mendorong menegakkan sutrah dan memerintahkannya serta mengingkari orang yang shalat yang tidak menghadap kepada sutrah, sebagaimana yang akan engkau lihat.
Dari Qurrah bin ‘Iyas, dia berkata: “‘Umar telah melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia berkata: “Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya.””[8]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Dengan itu ‘Umar menginginkan agar dia shalat menghadap ke sutrah.”[9]
Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: “Jika salah seorang dari kalian shalat, hendaklah dia shalat menghadap ke sutrah dan mendekatinya, supaya syetan tidak lewat di depannya.”[10]
Ibnu Mas’ud berkata: “Empat perkara dari perkara yang sia-sia: “Seseorang shalat tidak menghadap ke sutrah… atau dia mendengar orang yang adzan, tetapi dia tidak memberikan jawaban.”[11]
Wahai saudaraku pembaca, perhatikanlah -semoga Allah memberikan petunjuk kepadaku dan engkau- bagaimana perintah-perintah itu datang dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, yang kalau mentaatinya berarti mentaati Allah. Tidaklah beliau berbicara dari hawa (nafsu)-nya, melainkan dari wahyu yang diturunkan. Bagaimana para sahabatnya memerintahkan dengan sesuatu yang beliau perintahkan, sehingga ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- khalifah yang lurus, dialah yang mendatangi sahabat yang agung ketika dalam keadaan shalat, maka dia (‘Umar) memegangi tengkuk sahabatnya itu untuk mendekatkannya ke sutrah, sehingga shalatnya menghadap kepadanya. Dan perhatikanlah, bagaimana Ibnu Mas’ud menyamakan antara shalatnya seseorang yang tidak menghadap ke sutrah dengan orang yang tidak memberikan jawaban ketika mendengar adzan.”[12]
Bersambung Insya Allah
WA Ittibaus Sunnah