KAJIAN SYARH ARBAIN ANNAWAWIYYAH HADITS KE-38: BARANGSIAPA MEMUSUHI WALI ALLAH, ALLAH UMUMKAN PERANG TERHADAPNYA (bag ke-1)

KAJIAN SYARH ARBAIN ANNAWAWIYYAH HADITS KE-38: BARANGSIAPA MEMUSUHI WALI ALLAH, ALLAH UMUMKAN PERANG TERHADAPNYA (bag ke-1)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

ditulis oleh al ustadz Abu Utsman Kharisman

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيْذَنَّهُ [رواه البخاري]

Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibandingkan ia melakukan hal yang Aku wajibkan terhadapnya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah (nafilah) kecuali Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku adalah (yang menolong) pendengarannya saat ia mendengar, penglihatannya saat ia melihat, tangannya saat ia memukul, dan kakinya saat ia melangkah. Jika ia meminta kepadaKu, sungguh Aku akan memberikannya. Jika ia memohon perlindungan kepadaKu, Aku akan melindunginya (H.R al-Bukhari)

✅Sekilas tentang Sahabat yang Meriwayatkan Hadits

Penjelasan ringkas tentang Abu Hurairah, Sahabat yang meriwayatkan hadits ini bisa dilihat kembali pada hadits ke-9.

✅Siapakah Wali Allah?

Wali secara makna bahasa adalah pihak yang dekat, mencintai, dan siap menolong (disarikan dari Tafsir Ruuhul Ma’aniy karya al-Aluusiy dan penjelasan Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalusy Syaikh dalam syarh Arbain anNawawiyyah)

Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Allah Ta’ala berfirman:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)

Ingatlah, sesungguhnya Wali-Wali Allah tidaklah mengalami takut maupun bersedih. Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa (Q.S Yunus ayat 62-63)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:

فَكُلُّ مَنْ كَانَ مُؤْمِنًا تَقِيًّا كَانَ لِلَّهِ وَلِيًّا

Setiap orang yang beriman dan bertakwa, dia adalah Wali Allah (Majmu’ Fataawa Ibnu Taimiyyah)

Kutipan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tersebut juga dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, namun dengan tidak menyebutkan kata ‘orang yang beriman’ (Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat Yunus ayat 62).

Salah satu karakter Wali Allah adalah jika mereka dilihat, memancing orang yang melihatnya untuk mengingat Allah Ta’ala. Mereka pun mengajak orang untuk mengingat Allah Ta’ala dengan cara yang sesuai dengan bimbingan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam.

أَوْلِيَاءُ اللهِ الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوْا ذُكِرَ الله

Para Wali Allah adalah yang ketika mereka dilihat, membuat Allah diingat (H.R al-Marwaziy dalam Zawaaid az-Zuhud, atThobaroniy, Abu Nuaim, Dhiyaa’ al-Maqdisiy, dishahihkan Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah as-Shahihah no 1733)

Para Wali Allah adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ مِنَ الْعِبَادِ عِبَادًا يَغْبِطُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ» قِيلَ: مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِرُوحِ اللهِ عَلَى غَيْرِ أَمْوَالٍ وَلَا أَنْسَابٍ، وُجُوهُهُمْ نُورٌ – يَعْنِي عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ، لَا يَخَافُونَ إِنْ خَافَ النَّاسُ، وَلَا يَحْزَنُونَ إِنْ حَزِنَ النَّاسُ» ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ {أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ} [يونس: 62]

Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: << Sesungguhnya di antara hamba Allah ada orang-orang yang diinginkan (dipuji) oleh para Nabi dan para syuhada’. Ada Sahabat yang berkata: Siapakah mereka wahai Rasulullah? Nabi bersabda: << Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan alQuran, bukan karena harta atau nasab. Wajah mereka bercahaya – di atas mimbar-mimbar dari cahaya-. Mereka tidak takut saat manusia ketakutan. Mereka tidak bersedih saat manusia bersedih. Kemudian Nabi membaca ayat ini:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Ingatlah, sesungguhnya para Wali Allah mereka tidak takut dan tidak bersedih (Q.S Yunus ayat 62)(H.R anNasaai, dishahihkan oleh Syaikh al-Albaniy dalam Shahih atTarghib, dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih mimma Laysa fis Shahihayn)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:

فَطَرِيْقُ الْوِلَايَةِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ هُوَ الْمُحَافَظَةُ عَلَى الْفَرَائِضِ وَالْحِرْصِ عَلَى النَّوَافِلِ، وَالتَّحَقُّق بِمَقَامَاتِ الْإِيْمَانِ، وَالتَّزَيُّنِ بِلِبَاسِ التَّقْوَى

Jalan untuk menjadi Wali (Allah) dalam alQuran dan Sunanh adalah dengan menjaga kewajiban-kewajiban dan bersemangat mengerjakan amalan nafilah (sunnah), benar-benar beriman dan berhias dengan pakaian ketakwaan (al-Furqoon Bayna Awliyaair Rahmaan wa Awliyaaisy Syaithaan (1/40)).

✅Jangan Memusuhi Wali Allah

Jika seseorang memusuhi dan membenci Wali Allah, ia akan diperangi oleh Allah. Sungguh suatu bencana yang besar. Sebagaimana dalam hadits ini:

مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

Barangsiapa yang memusuhi Wali-Ku, sungguh Aku umumkan perang terhadapnya

Beberapa contoh ancaman bagi orang yang berbuat buruk terhadap orang-orang yang menjalankan ketaatan kepada Allah, di antaranya:

مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِى ذِمَّةِ اللَّهِ فَلاَ يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَىْءٍ فَيُدْرِكَهُ فَيَكُبَّهُ فِى نَارِ جَهَنَّمَ

Barangsiapa yang sholat Subuh, maka ia berada dalam penjaminan Allah. Maka janganlah sekali-kali Allah menuntut kalian dari penjaminanNya dengan sesuatu yang jika itu didapatkan, kalian akan disungkurkan ke Neraka Jahannam (H.R Muslim dari Jundub bin Abdillah)

Sebagian Ulama menjelaskan makna hadits itu bahwa seorang yang melakukan sholat Subuh (berjamaah), ia berada dalam jaminan Allah. Janganlah seseorang mengganggu atau menyakiti sedikitpun orang yang berada dalam jaminan Allah, yang akibatnya terancam akan tersungkur dalam Neraka (disarikan dari Tuhfatul Ahwadziy syarh Sunan atTirmidzi karya al-Mubarokfuriy (6/319)).

Hadits yang lain, ancaman bagi yang mencari-cari aib seorang muslim:

لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ

Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, jangan menyebar aib mereka, jangan mencari-cari kekurangan mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari kekurangan saudaranya muslim, Allah akan mencari-cari aibnya. Barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya, Allah akan permalukan dia, meski ia berada di dalam rumahnya (H.R atTirmidzi dari Ibnu Umar, dinyatakan hasan shahih oleh Syaikh al-Albaniy)

✅Amalan yang Paling Allah Cintai Adalah Amalan yang Wajib (Fardhu)

Dalam hadits ini Allah Ta’ala menegaskan bahwa amalan ibadah yang wajib lebih Allah cintai dibandingkan amalan ibadah nafilah (sunnah):

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ

Tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibandingkan ia melakukan hal yang Aku wajibkan terhadapnya

Dalil lain yang menunjukkan bahwa amalan wajib lebih utama dibandingkan amalan sunnah adalah mafhum dari 2 hadits berikut ini:

فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ

Sesungguhnya yang paling utama bagi seorang laki-laki adalah sholat di rumahnya kecuali sholat wajib (fardlu)(H.R al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit)

فَضْلُ صَلَاةِ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ عَلَى صَلَاتِهِ حَيْثُ يَرَاهُ النَّاسُ، كَفَضْلِ الْمَكْتُوبَةِ عَلَى النَّافِلَة

Keutamaan sholat (sunnah) seseorang di rumahnya dibandingkan sholatnya saat dilihat orang, bagaikan keutamaan sholat wajib dibandingkan sholat nafilah (H.R atThobaroniy, dihasankan Syaikh al-Albaniy dalam Shahih al-Jamius Shaghir)

Bahkan, dalam kondisi tertentu, ibadah sunnah (nafilah) tidak sah jika belum menunaikan ibadah wajib.

Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu anhu juga menyatakan:

وَأَنَّهُ لاَ يُقْبَلُ نَافِلَةٌ حَتَّى تُؤَدَّى الْفَرِيضَةُ

Sesungguhnya tidaklah diterima ibadah sunnah (nafilah) sampai ditunaikan ibadah yang wajib (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf, Abu Nuaim dalam Ma’rifatus Shohaabah, kedua jalur riwayat itu saling menguatkan)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mencontohkan: tidak boleh menegakkan sholat sunnah saat dikumandangkan iqomat (bagi yang akan ikut sholat berjamaah). Tidak boleh menegakkan sholat sunnah saat belum melakukan sholat wajib yang waktunya sudah akan berakhir (Syarhul Umdah (1/238)).

Pengetahuan akan hal ini memberikan faidah kepada kita agar jangan mengejar suatu hal yang nafilah (mustahab/ sunnah), namun menyebabkan terlalaikannya suatu yang wajib.

(dikutip dari naskah buku “42 HADITS PANDUAN HIDUP MUSLIM (Syarh Arbain anNawawiyyah”, Abu Utsman Kharisman)