Tanpa risih anak muda itu mengenakan kaos bersimbol palu arit. Kaos bersimbol Partai Komunis itu dikenakan seakan tanpa beban sejarah. Anak muda di Jombang, Jawa Timur, yang mengenakan kaos bergambar palu arit itu mengungkapkan bila dirinya tak tahu itu lambang Partai Komunis.
Seorang lagi, yang tinggal di Jakarta, menyebutkan, kaos itu berasal dari temannya sebagai cinderamata saat ia kunjung ke Vietnam. Pemakai kaos palu arit itu dengan ringan menepis tuduhan mempropagandakan komunisme. Keduanya mengenakan kaos berlogo palu arit karena ketidaktahuan semata.
Anak-anak muda yang rabun sejarah semacam ini jumlahnya tak sedikit. Keterputusan dari akar sejarah bisa menjadi celah masuknya kepentingan paham kaum komunis. Di sebuah universitas negeri di Jember, salah satu sudutnya ditulisi secara berderet memanjang grafiti palu arit. Aksi spontanitas atau aksi angkatan muda komunis?
Yang jelas, sekian banyak fenomena itu tidak bisa dianggap sepele. Beragam fenomena kebangkitan komunisme dengan tampilan kekinian tetap harus diwaspadai dan dicegah sedini mungkin. Mempertebal jiwa agamis nan lurus merupakan cara ampuh menolak komunisme dengan segala variannya.
Di Pamekasan, Jawa Timur, di tengah keramaian pawai bermunculan simbol-simbol Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak cuma gambar palu arit yang dipertunjukkan. Foto beberapa tokoh PKI pun disertakan dalam pawai itu. Tanpa beban sejarah, anak-anak sekolah itu dengan gagah membawa beragam atribut PKI. Yang lebih memprihatinkan, membawa dan mempertunjukkan foto-foto tokoh PKI dan atribut komunisme lainnya itu atas perintah guru di sekolahnya. Setelah peristiwa itu tersebar di tengah masyarakat, pihak guru pun buru-buru mengklarifikasinya. Namun, apa pun di balik penayangan atribut PKI di depan umum, tentu merupakan insiden yang menodai kehidupan bangsa.
Aku Bangga Menjadi Anak PKI, sebuah buku karya anak seorang tokoh PKI ini sempat mencuatkan polemik di tengah masyarakat. Betapa tidak. Anak PKI yang kini bisa duduk di lembaga legislatif pusat ini bertutur perihal dirinya yang dibesarkan dalam keluarga yang menganut komunisme. Sebuah tuturan tabu bagi masyarakat Indonesia yang telah merasakan pedihnya digasak orang-orang komunis. Pengkhianatan D.N. Aidit dan kawan-kawannya terhadap Republik ini tentu masih sulit dilupakan.
Bahkan jauh sebelumnya, Muso, Amir Sjarifuddin, beserta teman-teman sealirannya, pada tahun 1948 melakukan pemberontakan menentang pemerintahan Republik Indonesia di Madiun, Jawa Timur. Akibat pengkhianatan ini, tak sedikit dari masyarakat Madiun yang menjadi korban keganasan orang-orang komunis. Semua peristiwa itu masih tetap segar dalam ingatan rakyat Indonesia.
Aroma komunisme pun terselip pula di spanduk sebuah partai politik. Angka 43 yang tertera di spanduk direka sedemikian rupa hingga menyisipkan rupa palu arit. Kebijakan menebar spanduk beraroma komunisme itu tak sekadar di tingkat lokal. Terbukti, spanduk serupa bertebaran pula di berbagai kota, seperti Tasikmalaya (Jawa Barat), Magelang, dan Solo. Ketika pemunculan spanduk bermasalah ini mendapat kritik masyarakat, pihak partai pun mengklarifikasinya.
Tuntutan agar Presiden menyampaikan permohonan maaf sempat menguat. Peristiwa ini menjadi sinyal bahwa beberapa anak keturunan PKI masih menyimpan dendam sejarah. Kondisi psikologis semacam ini tentu bisa menjadi bahaya laten bagi kelangsungan hidup berbangsa. Ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah yang mengabaikan permohonan mereka bisa menjadi daya untuk melakukan langkah yang lebih jauh.
Komunisme tetap hidup di dada mereka. Semangat juang para orang tua mereka dalam melawan pemerintah yang dianggap sebagai antek-antek para borjuis (tuan tanah) dan kapitalis (pemegang modal) bisa jadi terus menginspirasi. Dengan ini, semangat untuk menghidupkan paham komunisme pun terus berkobar. Komunisme tak akan pernah mati.
Amatlah keliru jika sebagian kalangan menganggap komunisme hanya sebagai khayalan, ilusi, atau ketakutan yang tidak berdasar. Kaum muslimin harus selalu waspada dan tidak boleh lengah. Ingat, bahaya komunisme selalu mengintai! Waspadalah! (Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Rifa’i)
www.antikomunisme.com/geliat-komunisme-tanah-air/