Di Tulis Oleh Al Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Saat mulai tumbuh, seorang anak memerlukan interaksi dengan sesamanya. Proses interaksi ini pun berkembang seiring bertambah usia. Berawal sebatas anggota keluarga; ibu, ayah dan saudara-saudaranya. Maka, dengan usia yang bertambah, area interaksi pun melebar. Sekira usia lima tahun, anak mulai tumbuh keinginan berteman. Anak mulai bercerita tentang apa yang terjadi bersama temannya. Bahkan, pada usia sekira empat tahun seorang anak sudah berceloteh meniru apa yang diucapkan gurunya di tempat belajar. Proses imitasi (meniru) yang terjadi pada anak menunjukkan interaksi sosial anak mulai mengembang. Tak sebatas pada anggota keluarga semata.
Sebagai seorang hamba Allah yang memiliki sifat sosial, maka anak memerlukan interaksi sosial yang sehat. Interaksi sosial yang sehat itu ditandai dengan bentuk pertemanan yang tidak melalaikannya dari mengingat Allah, berupaya menghidupkan sunnah Nabi-Nya, menumbuhkan jiwa tauhid, membenci kesyirikan dan pelaku kesyirikan, mencintai sunnah dan membenci bid’ah dan pelaku bid’ah. Dengan kata lain, pertemanan yang sehat akan memberikan daya dorong pada anak untuk menjaga keselamatan agamanya. Dari pertemanan itu akan memberikan kontribusi bagi kebaikan dunia dan akhiratnya. Inilah yang digambarkan dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):
“Sesungguhnya perumpamaan teman duduk yang baik dengan teman duduk yang jelek seperti seorang pembawa minyak misk (parfum) dengan pandai besi. Maka, pembawa misk bisa jadi ia akan memberimu (misk), bisa jadi engkau akan membeli (misk) darinya dan bisa jadi pula engkau hanya membau aromanya (yang harum). Adapun pandai besi, bisa jadi pakaianmu yang (terpeciki api) terbakar dan bisa jadi engkau memperoleh baunya yang tak sedap.” (Al-Bukhari dan Muslim)
Betapa kuat pengaruh pertemanan ini, sehingga para ulama menjadikannya barometer keadaan agama seseorang. Al-Imam Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah menyebutkan kisah Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri saat tiba di Kota Bashrah, Irak. Al-Imam Sufyan Ats-Atsauri melihat kedudukan seorang yang bernama Ar-Rabi’ bin Shubaih di tengah umat. Lantas Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri bertanya kepada orang-orang tentang mazhab (pemahaman) yang dianut Ar-Rabi’. Jawab mereka, “Tiada lain mazhabnya adalah As-Sunnah.” Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri bertanya lebih lanjut, “Siapa temannya?” Mereka pun menjawab, “Orang-orang Qadariyah (yang ingkar terhadap takdir).” Kata Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, “Kalau begitu, dia seorang qadari (penganut anti takdir).”(Lihat Majalah Asy-Syariah, no.86 hlm.21).
Maka, orang tua yang baik pasti akan memilihkan lingkungan yang baik bagi anaknya. Lingkungan tempat belajarnya, lingkungan bermainnya, dan lingkungan pergaulannya. Orang tua yang baik akan fokus untuk senantiasa menjaga fitrah yang ada pada anak agar tetap terjaga. Fitrah untuk senantiasa bertauhid dan mencintai As-Sunnah, membenci kesyirikan dan bid’ah serta pelakunya.
Orang tua yang baik tentu tak sekadar mengamankan anaknya dari rokok, minuman keras atau narkoba. Tapi lebih dari itu, sebagai orang tua harus mengamankan anaknya dari berbagai pemahaman agama yang menyimpang. Akibat salah menempatkan sang anak di tempat belajar, orang tua tiba-tiba dikejutkan oleh anaknya yang mengusung pemahaman khawarij. Anaknya terlibat aksi terorisme. Atau, anaknya menjadi seorang berpemahaman materialisme; cuma pandai mengejar dunia, akhirat dilalaikan. Atau, anaknya menjadi seorang berpemahaman liberal. Suka mengacak-acak pemahaman agama kaum muslimin dan membuat gaduh dakwah. wal-‘iyadzu billah, kita berlindung kepada Allah dari hal itu.
Semoga Allah merahmati orang tua yang senantiasa memperhatikan keselamatan agama anak-anaknya. Amin. Allahu ‘a’lam.