You are currently viewing Khilafah Tidak Mesti Pada Ahlul Bait

Khilafah Tidak Mesti Pada Ahlul Bait

ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Kaum muslimin (baca: para shahabat) telah berijma’ bahwa khalifah pertama pengganti Rasulullah  adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq. Namun ada sekelompok orang yang mengaku sebagai muslimin, tidak menerima keadaan ini. Orang-orang yang mengaku sebagai pecinta Ahlul Bait ini mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi khalifah dibanding Abu Bakr Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang Syi’ah. Uraian berikut mencoba membongkar berbagai kebohongan yang menjadi pijakan sikap mereka.

Ahlul Bait Mengakui Keabsahan Khilafah Abu Bakr Ash-Shiddiq
Syubhat terbesar kaum Syi’ah adalah meragukan keabsahan khilafah Abu Bakr Ash-Shiddik . Mereka menganggap dibai’atnya Abu Bakr adalah tidak sah, karena Ali dan keluarganya atau Ahlul Bait tidak diajak musyawarah, padahal Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakr atau Umar . Demikianlah syubhat Syi’ah yang mereka hembuskan di mana-mana, dengan kalimat yang sama dari tokoh Syi’ah  yang berbeda-beda, bagaikan satu kaset yang diputar berulang-ulang.

Pemahaman sesat dari orang-orang Persia ini selalu mengatasnamakan Ahlul Bait dan menganggap pemahamannya sebagai “madzhab Ahlul Bait”. Sehingga yang paling mudah terbawa dengan pemahaman Syi’ah ini adalah orang-orang yang mengaku sebagai turunan Ali atau Alawiyyin, kecuali yang Allah rahmati. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa Ahlul Bait terdzalimi bangkitlah emosi kekeluargaannya. Padahal apa yang disampaikan oleh kaum Syi’ah -yang merupakan jelmaan kaum Majusi Persia- adalah kedustaan yang nyata dan tidak memiliki bukti yang otentik.

Biasanya mereka mengambil riwayat-riwayat tersebut dari kitab yang paling terkenal di kalangan mereka yaitu Nahjul Balaghah, yang berisi ucapan-ucapan, khutbah-khutbah dan sya’ir-sya’ir yang semuanya diatasnamakan Ali bin Abi Thalib. Penulis buku tesebut mengesankan bahwa seakan-akan Ali tidak terima dengan keputusan para shahabat memilih Abu Bakr sebagai khalifah. Bahkan dinukil bahwa Ali mencaci dan mencerca Abu Bakr, Umar dan para shahabat yang lain. Namun sayang penulis buku tersebut tidak membawakan ucapan-ucapan Ali tersebut dengan sanadnya (rantai para rawi) sehingga tidak dapat diperiksa keotentikannya secara ilmiah dengan standar ilmu hadits.

Kitab ini -yang di kalangan kaum Syi’ah sejajar dengan Al-Qur’an- ternyata disusun dan dikarang oleh seorang tokoh sesat dari kalangan Syi’ah Imamiyyah Rafidah yang bernama Al-Murtadla Abi Thalib Ali bin Husain bin Musa Al-Musawi (meninggal th. 436 Hijriyah). Yang telah dinyatakan  oleh para Ulama Ahlus Sunnah sebagai pendusta atas nama Ali bin Abi Thalib . Al-Imam Adz-Dzahabi berkata ketika membahas biografi orang ini sebagai berikut: “Dia adalah penghimpun kitab Nahjul Balaghah yang menyandarkan kalimat-kalimat yang ada dalam kitab ini kepada Imam Ali tanpa disebutkan sanad-sanadnya. Sebagian kalimat itu batil, meskipun juga di dalamnya ada hal yang benar. Namun ucapan-ucapan palsu yang terdapat dalam kitab ini mustahil diucapkan oleh Al-Imam Ali.” (Siyar A’lamin Nubala`, 17/589-590)

Beliau juga berkata: “…Barangsiapa melihat buku Nahjul Balaghah, maka ia akan yakin bahwa ucapan-ucapan itu adalah dusta atas nama Amirul Mukminin Ali, karena di dalamnya terdapat caci-makian yang sangat jelas terhadap dua tokoh besar shahabat yaitu Abu Bakr dan Umar. Juga tedapat ungkapan-ungkapan yang kaku (menurut kaidah sastra Arab, pen.) bagi orang yang kenal jiwa bangsa Quraisy (dan tingginya bahasa mereka, pen.) dari kalangan para shahabat. Dan orang-orang setelahnya akan mengerti dengan yakin bahwa kebanyakan isi kitab tersebut adalah batil. (Mizanul i’tidal 3/124 Lisanul Mizan, 4/223)

Ibnu Sirin menilai bahwa seluruh apa yang mereka (kaum Syi’ah) riwayatkan dari Ali Radhiyallahu’anhu adalah kedustaan. (Al-‘Alamus Syamikh, hal. 237). Juga Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’ (juz 2 hal. 161) telah memberikan isyarat tentang kedustaan kandungan kitab ini.
Syaikhul Islam berkata: “… sebagian besar khutbah-khutbah yang dinukil penyusun kitab Nahjul Balaghah adalah dusta atas nama Ali Radhiyallahu’anhu. Beliau terlalu mulia dan terlalu tinggi kapasitasnya untuk berbicara dengan ucapan seperti itu. Tetapi mereka merekayasa kebohongan dengan beranggapan bahwa hal itu sebagai sanjungan (terhadap Ali, pent.). Sungguh Itu bukanlah kebenaran, apalagi merupakan sanjungan….” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 8/55-56)

Sedangkan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah meriwayatkan dengan sanad dan sanad tersebut telah diteliti keshahihannya secara ilmiah ucapan-ucapan Ali  Radhiyallahu’anhu yang bertentangan dengan apa yang mereka riwayatkan 180 derajat. Di antaranya:
Pertama, riwayat yang menunjukkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu setuju dengan keputusan para shahabat. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ibnu Sirin dari Ubaidah, bahwa ia mendengar Ali Radhiyallahu’anhu mengatakan:

“Putuskanlah sebagaimana kalian putuskan, sesungguhnya aku membenci perselisihan hingga manusia berada dalam satu jamaah atau lebih baik aku mati seperti para sahabat-sahabatku.” (HR. Al-Bukhari kitab Fadha`il Shahabah bab Manaqib Ali z dengan Fathul Bari juz 7 hal 424 no 2707)

Kedua, diriwayatkan pula secara mustafidh (dalam jumlah banyak) dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu sendiri, sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dengan menyebutkan sanadnya sampai kepada Muhammad ibnul Hanafiyah :

“Aku bertanya kepada bapakku (yakni Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu): Siapakah manusia yang terbaik setelah Rasulullah ? Ia menjawab: “Abu Bakr”. Aku bertanya (lagi): “Kemudian siapa?” Ia menjawab: “Umar.” Dan aku khawatir ia akan berkata Utsman, maka aku mengatakan: “Kemudian engkau?” Beliau menjawab: “Tidaklah aku kecuali seorang dari kalangan muslimin.” (HR. Al-Bukhari, kitab Fadha`ilus Shahabah, bab 4 dan Fathul Bari juz 4/20)

Ketiga, Ibnu Taimiyah berkata bahwa riwayat yang seperti ini (yakni riwayat di atas) telah diriwayatkan dari Al-Imam Ali lebih dari 80 riwayat. Dan bahwasanya Ali ibnu Abi Thalib Radhiyallahu’anhu pernah berbicara di mimbar Kufah, mengancam orang-orang yang mengutamakan beliau di atas Abu Bakr dan Umar dengan cambukan seorang pendusta.

“Tidak didatangkan kepadaku seseorang yang mengutamakan aku diatas Abu Bakr dan Umar kecuali akan aku cambuk dengan cambukan seorang pendusta.”
Maka ketika itu seorang yang mengatakan beliau lebih utama dari Abu Bakr dan Umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa, juz 4 hal. 422)

Keempat, Al-Imam Al-Bukhari juga meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung dan shahih sampai kepada Ibnu Abbas bahwa dia pernah menghadiri jenazah Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu’anhu, dia berkata yang artinya:

“Sungguh aku pernah berdiri di kerumunan orang yang bersama-sama mendoakan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu’anhu yang telah diletakkan di atas pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang meletakkan sikunya di kedua pundakku berkata: “Semoga Allah merahmatimu (Umar), dan aku berharap agar Allah menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu (Yakni Rasulullah  dan Abu Bakr) karena aku sering mendengar Rasulullah  bersabda: ‘Waktu itu aku bersama Abu Bakr dan Umar…’ ‘aku telah mengerjakan bersama Abu Bakr dan Umar…’, ‘aku pergi dengan Abu Bakr dan Umar…’. Maka sungguh aku berharap semoga Allah menggabungkan engkau dengan keduanya. Maka aku menengok ke belakangku ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib.” (HR. Al-Bukhari dalam Fadha`ilus Shahabah bab Manaqib Umar bin Al-Khaththab, 7/3685, 3677, dengan Fathul Bari)

Syarat Pemimpin adalah Quraisy, Bukan Ahlul Bait
Alasan lain kaum Syi’ah Rafidhah yang menganggap bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah karena Ali termasuk keluarga Rasulullah . Alasan ini seperti alasan Yahudi yang mengatakan bahwa penguasa harus dari keluarga Dawud. Tidak ada satu pun dalil yang menyatakan bahwa kepemimpinan atau khilafah harus dari kalangan Ahlul Bait.
Syarat-syarat seorang untuk layak menjadi pemimpin sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antaranya syarat umum yang harus ada pada seorang pemimpin adalah Islam, baligh, berakal, merdeka (bukan hamba sahaya), laki-laki dan berilmu. Kemudian syarat-syarat khusus yaitu sifat-sifat yang harus ada pada seorang pemimpin yaitu keadilan, kesempurnaan mental, kesempurnaan fisik  seperti ucapan Allah tentang Thalut yang Allah I angkat menjadi pemimpin:

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata:

“Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 247)

Juga harus ada pada seorang pemimpin sifat keshalihan dan ketaqwaan, karena Allah I akan mewarisi bumi ini untuk orang-orang yang shalih:

“Sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur,  sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang shalih.” (Al-Anbiya`: 105)

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Oleh karena itu ketika Allah menjadikan Ibrahim sebagai imam dan Ibrahim meminta keturunannya juga menjadi pemimpin, Allah  menyatakan bahwa kepemimpinan tidak akan diberikan kepada orang-orang dzalim dari keturunannya.

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:

‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.”

Allah berfirman:

“Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dzalim.”  (Al-Baqarah: 124)

Ibnu Katsir t berkata mengutip ucapan Mujahid dalam menafsirkan ayat ini: “Artinya adalah: Adapun orang-orang yang shalih dari mereka maka Aku (Allah) akan jadikan mereka sebagai pemimpin. Adapun orang yang dzalim dari mereka, maka Kami tidak akan menjadikannya sebagai pemimpin dan Kami tidak peduli.” (Tafsir Ibnu Katsir, juz I, hal. 167)
Dengan demikian berarti kepemimpinan itu didapat bukan karena faktor keturunan, tetapi karena faktor keshalihan. Disamping itu, juga sifat yang harus ada agar seseorang layak menjadi pemimpin adalah kesabaran dan keyakinan yang tinggi. Allah  juga berfirman:

“Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah: 24)

Sedangkan syarat terakhir dari seorang pemimpin adalah Qurasyiyah (turunan Quraisy). Tentunya syarat ini adalah setelah syarat-syarat tadi di atas. Maka kalaupun turunan Quraisy, jika memiliki kekurangan-kekurangan dari sifat-sifat di atas, tentunya juga tidak layak menjadi pemimpin atau khalifah. Namun jika ada beberapa orang yang memiliki syarat-syarat di atas dan di antara mereka ada seorang turunan Quraisy , maka tentu saja yang paling layak untuk menjadi seorang pemimpin adalah dari turunan Quraisy .
Rasulullah  menyatakan bahwa  khalifah itu seluruhnya dari kaum Quraisy, sebagaimana dalam hadits:

“Dari Jabir bin Samurah z, ia berkata: Aku masuk bersama ayahku menemui Rasulullah n, maka aku mendengar beliau berkata: “Sesungguhnya urusan ini tidak akan lenyap hingga berakhir di antara mereka dua belas khalifah”. Kemudian beliau berbicara dengan ucapan yang tersamar atasku. Maka aku bertanya kepada ayahku: “Apa yang dikatakan oleh beliau?” Ia menjawab: “Seluruhnya dari kalangan Quraisy.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dengan riwayat yang shahih ini jelaslah bahwa  pemimpin tidak harus dari kalangan Ahlul Bait. Tetapi Rasulullah hanya mengatakan Quraisy. Maka setelah itu para ulama semuanya sepakat bahwa syaratnya hanya Qurasyiyah, baik dari Ahlul Bait ataupun tidak.
Al-Imam Ahmad t berkata: “Khilafah ada pada Quraisy, walaupun manusia hanya tersisa dua orang. Dan tidak seorang pun dari manusia yang berhak untuk merebutnya dari mereka. Tidak keluar dari mereka dan kami tidak menetapkannya untuk selain mereka sampai hari kiamat.” (Thabaqat Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la; Lihat kitab Imamatul ‘Uzhma, Ad-Damiji, hal.  269)
Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i t menetapkan syarat ini dalam kitabnya Al-Umm juz 1, hal. 143.

Al-Imam Malik t berkata: “Tidaklah menjadi seorang imam kecuali orang Quraisy.” (Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arabi, juz IV, hal. 1721; lihat Imamatul Udhma, hal. 269)
Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali beberapa kelompok sempalan seperti Khawarij, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Sedangkan kaum Syi’ah Rafidhah menyempitkannya dan menganggap bahwa yang dimaksud Quraisy adalah Ahlul Bait.

Orang-orang Syi’ah Rafidhah dari sekte Imamiyah atau Itsna Atsariyyah meyakini bahwa kepemimpinan setelah Rasulullah  harus dari kalangan Ahlul Bait yaitu Ali bin Abi Thalib, kemudian kepada Al-Hasan, kemudian Al-Husain kemudian terus kepada turunan Al-Husain hingga berakhir dengan Al-Mahdi Al-Muntazhar (Al-Mahdi yang ditunggu) yang dianggapnya Muhammad bin Al-Hasan Al-Askari yang sudah lahir dan masuk gua, kemudian ditunggu keluarnya sampai hari ini. Padahal sekian banyak hadits seluruhnya menyatakan dari Quraisy, dan tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan dari Ahlul Bait.

Tidak Ada Wasiat Khilafah untuk Ali bin Abi Thalib
Di antara alasan kaum Syi’ah menganggap Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah riwayat-riwayat  tentang wasiat.  Padahal Rasulullah n wafat dengan tidak memberikan wasiat apapun, kepada siapapun, kecuali dengan Al-Qur’an.
Diriwayatkan di dalam dua kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Thalhah ibnu Musharrif:

Aku bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa: “Apakah Nabi memberikan wasiat? Beliau menjawab: “Tidak.” Maka saya katakan: “Kalau begitu bagaimana dia menuliskan buat manusia pesan-pesannya atau memerintahkan wasiatnya?” Dia menjawab: “Beliau mewasiatkan dengan Kitabullah.” (HR. Al-Bukhari; Fathul Bari juz 5 hal. 356, hadits 2340; dan Muslim dalam Kitabul Washiyyah juz 3 hal. 1256, hadits ke-16)
Demikian pula diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah yang tentunya sebagai istri Rasulullah, yang beliau meninggal di pangkuannya, tentunya lebih tahu apakah Rasulullah  berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:

“Rasulullah n  tidak meninggalkan dirham; tidak pula dinar, tidak seekor kambing, tidak pula seekor unta dan tidak mewasiatkan dengan apa pun.” (HR. Muslim, dalam Kitabul Washiyyah, juz 3, hal. 256, hadits ke 18)

Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim lainnya dari Aswad bin Yazid, dia berkata:

“Mereka menyebutkan di sisi ‘Aisyah bahwa Ali adalah seorang yang mendapatkan wasiat. Maka beliau (Aisyah) berkata: “Kapan Rasulullah  berwasiat kepadanya, padahal aku adalah sandaran beliau ketika beliau bersandar di dadaku -atau ia berkata:  pangkuanku- kemudian beliau meminta segelas air, tiba-tiba beliau terkulai di pangkuanku, dan aku tidak merasa ternyata beliau sudah meninggal, maka kapan dia berwasiat kepadanya?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikianlah riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga para shahabat seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah Al-Qur’an.
Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah yaitu Ibnu Abbas  menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara Ahlul Bait. Sebagian menyatakan cukup Al-Qur’an karena Rasulullah sedang dalam keadaan sakit yang parah. Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas  berkata:

“Sesungguhnya kerugian dari segala kerugian adalah terhalangnya Rasulullah untuk menulis wasiat kepada mereka, karena perselisihan dan silang pendapat mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Maghazi, bab Maradhun Nabi; Fathul Bari, juz 8, hal. 132 no. hadits 4432; Muslim dalam Kitabul Washiyyah, bab Tarkul Wasiat Liman Laisa Lahu Syai`un Yuushi bihi, juz 3 hal. 1259, no. 22)
Dalam memandang kejadian ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi kepada Ahlul Bait dan keluarga dekat Nabi . Karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau merasa Rasulullah  dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, maka tidak perlu diganggu, sedangkan kaum muslimin sudah memiliki Al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah.

Sebaliknya, kaum Syi’ah Rafidhah  menjadikan riwayat ini sebagai ajang pencaci-makian terhadap para shahabat. Mereka mengira bahwa perbuatan para shahabat adalah untuk menghalangi wasiat kepada Ali bin Abi Thalib dan untuk merebut tampuk kepemimpinan, untuk kemudian diberikan kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq. Ucapan mereka jelas batil dan dusta, karena Abu Bakr sendiri ketika itu tidak ada di sana, beliau berada di daerah Sunh -di pinggiran kota Madinah- yaitu di rumah salah satu istrinya.  Bahkan ucapan mereka ini justru mencerca dan mencela Ahlul Bait sendiri, karena yang berkumpul di sana ketika itu kebanyakan adalah keluarga dekat beliau. Maka mereka tidak pantas disebut pecinta Ahlul Bait. Lihatlah dalam riwayat yang lebih lengkap sebagai berikut:

Dari Ibnu Abbas , bahwasanya Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu keluar dari sisi Rasulullah ketika sakitnya beliau menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan (yakni Ali), bagaimana keadaan Rasulullah ?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah, baik.” Maka Abbas bin Abdil Muththalib (paman Rasulullah ) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau demi Allah setelah tiga hari menjadi orang yang dipimpin. Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah  akan wafat dalam sakitnya ini, karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muththalib ketika akan wafatnya. Mari kita menemui Rasulullah  untuk menanyakannya, kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun untuk selain kita maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan memberikan wasiatnya.” Maka Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah kemudian tidak beliau berikan kepada kita, maka manusia tidak akan memberikan kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah n.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Maghazi, bab Maradhun Nabiyyi wa wafatihi; Fathul Bari, 8/142, no. 4447)

Dr. Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihi berkata: “Tidak cukupkah nash ini untuk membantah Rafidhah  yang mengatakan bahwa Rasulullah mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan khilafah? Kedustaan mereka jelas dengan hadits ini dari beberapa sisi:
Pertama, penolakan Ali untuk meminta khilafah atau menanyakannya.
Kedua, bahwa kejadian tersebut pada waktu wafatnya Rasulullah  (yang membuktikan beliau tidak berwasiat).
Ketiga, kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali  tentu dia akan menjawab kepada Abbas z, “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini, padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?” (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidhah, Abu Nu’aim Al-Ashbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihi dalam footnote-nya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidhah  bil Yahuud, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili)

Sungguh sangat jelas sekali dengan riwayat ini, bahwa yang menolak untuk meminta wasiat justru Ali bin  Abi Thalib  sendiri. Tentunya banyak riwayat-riwayat lain tentang kejadian ini dan memang ketika itu beberapa hadirin ikut berbicara sehingga suasana menjadi ramai dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah dengan tidak memberikan wasiat apapun tentang khilafah kepada siapa pun.
Bahkan diriwayatkan dari Aisyah kalau pun Rasulullah n memberi wasiat, niscaya beliau akan mewasiatkan penggantinya kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq :

“Dari ‘Aisyah, ia berkata; Rasulullah  berkata kepadaku: “Panggillah Abu Bakr, ayahmu dan saudaramu, sehingga aku tulis satu tulisan (wasiat). Sungguh aku khawatir akan ada seseorang yang menginginkan (kepemimpinan, -pent.), kemudian seseorang berkata: “Aku lebih utama.” Kemudian beliau bersabda: “Allah dan orang-orang beriman tidak meridhai kecuali Abu Bakr.” (HR. Muslim 7/110 dan Ahmad (6/144); Lihat Ash-Shahihah, juz 2, hal. 304, hadits no. 690)
Terus bagaimana mereka -kaum Syi’ah tersebut- menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika di Ghadir Khum? Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib sendiri, padahal mereka mengaku pecinta Ahlul Bait?!
Kalau mereka benar-benar cinta kepada Ahlul Bait dan mengaku pengikut setia Ahlul Bait khususnya Ali bin Abi Thalib z, maka dengarkanlah riwayat-riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Abu Thufail bahwa Ali z ditanya apakah Rasulullah n mengkhususkanmu dengan sesuatu? Maka Ali berkata: “Rasulullah n   tidak menghususkan aku dengan sesuatu pun yang beliau tidak menyebarkannya kepada manusia, kecuali apa yang ada di sarung pedangku ini. Kemudian beliau mengeluarkan lembaran dari sarung pedangnya yang tertulis padanya: Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah… “ (HR. Muslim)
Wallahu a’lam.


1 Ahlul bid’ah biasa mencampurkan kebenaran dengan kebatilan untuk menipu kaum muslimin. Maka kebenaran yang ada dalam buku tersebut merupakan umpan agar diterima kedustaan-kedustaan yang ada di dalamnya, pen.

sumber http://asysyariah.com/khilafah-tidak-mesti-pada-ahlul-bait.html