Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram (Bag Ke-6)

Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram (Bag Ke-6)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

 

MENGUMUMKAN KEMATIAN

447- وَعَنْ حُذَيْفَةَ – رضي الله عنه – – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَنْهَى عَنِ اَلنَّعْيِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ

dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang dari Na’yu (mengumumkan kematian secara Jahiliyyah)(riwayat Ahmad dan atTirmidzi , serta dihasankan olehnya)<< dihasankan oleh Syaikh al-Albany >>

PENJELASAN:

Hadits no 447 ini memberikan pelajaran larangan mengumumkan kematian dengan cara-cara jahiliyyah, yaitu sekedar menyebar berita tentang kematian seseorang ke pintu-pintu rumah dan di pasar-pasar dalam konteks kesombongan menampakkan kedudukan tinggi orang yang meninggal, seperti menyatakan: telah celaka bangsa Arab dengan meninggalnya Fulaan.. tanpa ada maslahat yang diharapkan, seperti supaya lebih banyak yang ikut mensholatkan, mengantarkan jenazah, dsb.

 448- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – نَعَى اَلنَّجَاشِيَّ فِي اَلْيَوْمِ اَلَّذِي مَاتَ فِيهِ, وَخَرَجَ بِهِمْ مِنَ الْمُصَلَّى، فَصَفَّ بِهِمْ, وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kematian Najasyi pada hari kematiannya, dan keluar bersama para Sahabat ke Musholla (tanah lapang), mengatur shof dan bertakbir untuknya 4 kali (sholat Ghaib)(Muttafaqun alaih)

PENJELASAN:

Hadits yang ke-448 ini menunjukkan bolehnya mengumumkan kematian jika diharapkan adanya maslahat, seperti ikut menyelenggarakan jenazah, mensholatkan, dan semisalnya. Seperti yang dilakukan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kematian Najasyi (raja Habasyah) yang meninggal sebagai muslim di tengah-tengah orang kafir Nashrani di negerinya Habasyah.

Beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini:

  1. Disunnahkan untuk melakukan sholat ghaib terhadap saudara kita muslim yang meninggal di suatu tempat yang tidak ada seorangpun yang mensholatkan jenazahnya. Seperti keadaan Najasyi. Hal ini berlaku juga jika ada seorang muslim yang meninggal hilang karena tenggelam, hilang dimakan binatang buas, dan semisalnya sehingga tidak ada yang mensholatkan jenazahnya secara langsung. Pada saat itu, muslim lain yang mengetahui tentang kematiannya bisa melakukan sholat ghaib, yaitu sholat tanpa ada jenazah di hadapannya.
  2. Di masa Nabi, sholat jenazah lebih sering dilakukan tidak di masjid. Namun di musholla (tanah lapang).
  3. Takbir sholat ghaib atau jenazah adalah 4 kali.

KEUTAMAAN JENAZAH YANG DISHOLATKAN OLEH ORANG YANG BERTAUHID

449- وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا: سَمِعْتُ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: – مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ, فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا, لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا, إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidaklah seorang lelaki muslim meninggal, kemudian disholatkan jenazahnya oleh 40 laki-laki yang tidak mensekutukan Allah dengan suatu apapun kecuali Allah akan memberikan syafaat mereka kepadanya (riwayat Muslim)

PENJELASAN:

Hadits ini menunjukkan pentingnya berteman dengan orang-orang sholih yang senantiasa mentauhidkan Allah, tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun. Karena jika seseorang meninggal dan disholatkan oleh seseorang yang mentauhidkan Allah, maka Allah akan mengampuninya dengan sebab syafaat sholat dari orang yang mentauhidkan Allah tersebut. Dalam hadits ini disebutkan jumlah 40 orang, sedangkan dalam hadits lain disebutkan jumlah 100 orang dan sebagian riwayat menyatakan 3 shaf.

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ

Tidaklah suatu jenazah disholatkan oleh kaum muslimin yang mencapai seratus orang seluruhnya memberi syafaat (dengan sholat) kepadanya, kecuali ia diampuni (dengan sebab syafaat sholat orang-orang tersebut)(H.R Muslim)

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا أَوْجَبَ

Tidaklah ada seorang muslim yang meninggal kemudian disholatkan oleh 3 shaf kaum muslimin kecuali wajib baginya (surga)(H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Hakim disepakati adz-Dzahaby, dihasankan oleh anNawawy, disepakati oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)

Para Ulama’ menjelaskan bahwa keutamaan itu bisa didapatkan dengan jumlah 3 shaf, 40 orang, atau 100 orang. Tiga shaf adalah batasan minimal, semakin banyak jamaah, semakin baik (Syarh Shahih Muslim karya anNawawy (7/17)). Berapapun jumlah minimal yang tercapai, syaratnya adalah orang yang mensholatkan tidak pernah menyekutukan Allah dengan suatu apapun.

Syarat Diterimanya Syafaat

Dalam hadits ini dinyatakan bahwa orang yang mensholatkan jenazah bisa memberikan syafaat kepada mayit tersebut. Namun, syafaat bisa diterima dengan syarat-syarat yang dijelaskan oleh para Ulama’.

Syafaat bisa diterima dengan 3 syarat:

  1. Allah meridhai sang pemberi syafaat

وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى

Dan betapa banyak para Malaikat di langit yang tidak bisa memberi syafaat kecuali setelah diizinkan Allah kepada yang dikehendaki dan diridlainya (Q.S anNajm:26)

  1. Allah meridhai yang diberi syafaat

…وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى…

Dan mereka (para pemberi syafaat) tidak bisa memberi syafaat kecuali kepada yang diridhai (Allah)(Q.S al-Anbiyaa’:28)

Allah tidak ridha terhadap kekufuran, karena itu seorang yang kafir, musyrik, atau munafiq akbar tidak bisa diberi syafaat kecuali syafaat dari Nabi untuk pamannya Abu Thalib hanya bisa meringankan siksa di neraka.

  1. Izin dari Allah bahwa syafaat tersebut bisa diberikan.

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

…Siapakah yang bisa memberi syafaat di sisiNya kecuali atas idzin dariNya…(Q.S alBaqoroh:255)

يَوْمَئِذٍ لَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلًا

“pada hari itu tidaklah bermanfaat syaat kecuali bagi yang diizinkan oleh ar-Rahman dan diridhai ucapannya (Q.S Thaha:109)

(Majmu’ Fataawa wa Rosaa-il Ibn Utsaimin 3/184)

MENSHOLATKAN SESEORANG YANG MATI SYAHID SELAIN JIHAD DI JALAN ALLAH

450- وَعَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – صَلَّيْتُ وَرَاءَ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِي نِفَاسِهَا, فَقَامَ وَسْطَهَا – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

 

dari Samurah bin Jundab radhiyallahu anhu ia berkata: Aku sholat di belakang Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam yang menyolati wanita yang meninggal dalam keadaan nifas, Nabi sholat (pada posisi) tengah jenazah itu (muttafaqun alaih)

PENJELASAN:

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini:

  1. Seorang yang mati syahid namun bukan karena berjihad di jalan Allah, seperti wanita yang meninggal dalam keadaan nifas, tetap diselenggarakan jenazahnya seperti jenazah lain pada umumnya: dimandikan, dikafani, dan disholatkan.
  2. Jika jenazahnya adalah wanita, posisi Imam yang mensholatkan adalah berada di tengah jenazah.

Jika jenazahnya laki-laki, maka posisi Imam sejajar kepala sebagaimana hadits riwayat atTirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Ghalib yang menyaksikan tata cara sholat jenazah yang dilakukan oleh Anas bin Malik.

Faidah:

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin menyatakan bahwa yang terdapat dalam hadits shohih adalah penjelasan bahwa posisi Imam untuk jenazah wanita berada di tengah. Tidak ada dalil yang mengharuskan apakah kepala jenazah di sebelah kanan atau kiri Imam, yang penting posisi Imam berada di tengah (asy-Syarh al-Mukhtashar ala Bulughil Maram li Ibn Utsaimin (4/47)

Beberapa keadaan mati syahid selain meninggal dalam rangka berjihad di jalan Allah dan meninggal karena melahirkan adalah: meninggal karena tenggelam (dalam air atau tertimbun tanah, dan semisalnya), terbakar, tertabrak, terkena sakit perut, penyakit dzatul janbi (bisul yang tumbuh di sekitar tenggorokan), penyakit paru-paru, wabah penyakit tha’un, membela diri, agama, atau keluarganya, wanita yang meninggal saat janin masih berada dalam kandungannya.

BOLEHNYA SHOLAT JENAZAH DI MASJID

451- وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – وَاَللَّهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى ابْنَيْ بَيْضَاءَ فِي اَلْمَسْجِدِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

dari Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata: Demi Allah, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam telah mensholatkan 2 putra wanita yang putih di masjid (riwayat Muslim)

PENJELASAN:

‘Wanita putih’ yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah Da’d bintu Jahdam bin ‘Amr. Ia memiliki 3 orang putra yang bernama Sahl, Suhail, dan Shofwan. Yang meninggal dalam hadits itu adalah Suhail dan Shofwan. Keduanya pernah ikut perang Badr (Kasyful Musykil min Hadiitsi as-Shahihain karya Ibnul Jauzi (1/1255).

Hadits ini menjadi dalil bolehnya sholat jenazah di masjid. Dengan catatan, perlu dijaga agar tidak sampai mengotori masjid.

Hadits ini juga merupakan dalil bahwa mayat seorang muslim adalah suci (Syarh Shahih Muslim karya anNawawy (7/40)). Karena, jika tidak suci, maka tidak boleh disholatkan di masjid.

Tidak ada keutamaan khusus antara sholat jenazah di masjid dengan di luar masjid dalam hal tempat. Sholat jenazah di masjid hukumnya adalah sekedar boleh, bukan suatu hal yang mustahab (disukai) atau wajib.

Bahkan, sebagian besar para Sahabat sebelumnya menganggap bahwa mensholatkan jenazah di masjid adalah tidak boleh. Ketika Sa’d bin Abi Waqqash meninggal dunia, Aisyah berkata: Masukkan jenazahnya ke masjid agar aku juga bisa ikut mensholatkan. Para Sahabat mengingkari hal itu. Akhirnya kemudian Aisyah menyampaikan hadits ini bahwa dulu di masa hidup Nabi hal itu pernah dilakukan. Nabi pernah mensholatkan di masjid jenazah 2 orang putra wanita yang putih (H.R Muslim no 1617)

JUMLAH TAKBIR SHOLAT JENAZAH

452- وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ: – كَانَ زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ يُكَبِّرُ عَلَى جَنَائِزِنَا أَرْبَعًا, وَإِنَّهُ كَبَّرَ عَلَى جَنَازَةٍ خَمْسًا, فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُكَبِّرُهَا – رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالْأَرْبَعَةُ

 

dari Abdurrahman bin Abi Laila beliau berkata: Adalah Zaid bin Arqam radhiyallaahu anhu bertakbir terhadap jenazah-jenazah kami 4 kali , dan ia pernah bertakbir 5 kali terhadap satu jenazah, kemudian aku bertanya kepadanya. Ia mengatakan: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam (pernah) bertakbir demikian (riwayat Muslim dan Imam yang Empat)

453- وَعَنْ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – – أَنَّهُ كَبَّرَ عَلَى سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ سِتًّا, وَقَالَ: إِنَّهُ بَدْرِيٌّ – رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ. وَأَصْلُهُ فِي “اَلْبُخَارِيِّ

dari Ali radhiyallahu anhu bahwasanya ia bertakbir terhadap jenazah Sahl bin Hunaif sebanyak 6 kali dan berkata: sesungguhnya ia adalah Sahabat yang ikut perang Badr ( riwayat Said bin Manshur dan asalnya di riwayat alBukhari)<<dishahihkan oleh al-Burqany>>

PENJELASAN:

Hadits ke-452 dan 453 ini menunjukkan bahwa para Sahabat Nabi pernah sholat jenazah dengan jumlah takbir 4 kali, 5 kali, dan 6 kali. Dalam beberapa riwayat lain, Nabi pernah mensholatkan Hamzah yang gugur pada perang Uhud dengan 9 kali takbir (riwayat atThohaawy dalam Syarh Ma’aani al-Atsar dari Abdullah bin az-Zubair, rujukan dari Shahih Fiqh as-Sunnah karya Abu Maalik Kamaal bin as-Sayyid Salim (1/654)).

Yang lebih utama adalah mengikuti pendapat jumhur dan perbuatan akhir Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yaitu 4 kali takbir, namun jika Imam melakukan jumlah takbir lebih dari itu seperti yang pernah dilakukan sebagian Sahabat Nabi, maka makmum mengikutinya. Al-Imam at-Thohawy berpendapat bahwa jumlah takbir lebih dari 4 itu khusus untuk jenazah orang ‘alim atau yang memiliki keutamaan dalam Islam.

454- وَعَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُكَبِّرُ عَلَى جَنَائِزِنَا أَرْبَعًا وَيَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ اَلْكِتَابِ فِي اَلتَّكْبِيرَةِ اَلْأُولَى – رَوَاهُ اَلشَّافِعِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ

dari Jabir radhiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bertakbir terhadap jenazah-jenazah kami 4 kali dan membaca alFatihah di takbir yang pertama (riwayat asySyafi’i dengan sanad yang dhaif).

PENJELASAN:

Hadits ini diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm juz 1 halaman 270 dan dinyatakan sanadnya lemah (dhaif) oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaany – salah seorang Ulama’ bermadzhab asy-Syafi’i-. Sebab kelemahannya adalah karena perawi yang bernama Ibrahim bin Muhammad (bin Abi Yahya al-Aslamy) yang dinyatakan sebagai perawi pendusta oleh para Ulama’ di antaranya Abu Hatim, Yahya bin Ma’in, Ibnu Hibban. Dilemahkan pula oleh Malik, Waki’, Ibnul Mubarok, Ibnu ‘Uyainah, al-Qoththon, Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah. Bisyr bin al-Mufadhdhol menyatakan: saya bertanya kepada para Fuqoha’ Madinah, seluruhnya menyatakan bahwa dia pendusta (Tahdziibul Asmaa’ wallughoot karya anNawawy (1/142).

Ibrahim bin Muhammad ini adalah salah seorang guru al-Imam asy-Syafi’i. Kadang-kadang asy-Syafi’i menyembunyikan keadaannya dengan menyatakan: (haddatsanii man laa attahim) telah mengkhabarkan kepadaku orang yang tidak saya tuduh (berdusta)….adz-Dzahaby menyatakan bahwa hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya al-Imam asy-Syafi’i tidak menganggapnya tsiqah (terpercaya), namun beliau tidak menuduhnya sebagai pendusta (Siyaar A’lamin Nubalaa’ (8/451). Adz-Dzahaby menyatakan: tidak diragukan lagi kelemahannya (Siyaar A’lamin Nubalaa’ (8/454).

MEMBACA ALFATIHAH DALAM SHOLAT JENAZAH

455- وَعَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ: – صَلَّيْتُ خَلَفَ ابْنِ عَبَّاسٍ عَلَى جَنَازَةٍ, فَقَرَأَ فَاتِحَةَ الكْتِابِ فَقَالَ: “لِتَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ” – رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ

Dari Thalhah bin Abdillah bin Auf radhiyallahu anhu ia berkata: Aku sholat di belakang Ibnu Abbas terhadap jenazah, kemudian ia membaca alFatihah dan ia berkata: agar kalian tahu bahwa ini adalah Sunnah (riwayat alBukhari)

PENJELASAN:

Hadits ini menunjukkan bahwa disyariatkan membaca al-Fatihah dalam sholat jenazah. Hukumnya adalah wajib menurut pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan Ahmad, sesuai dengan keumuman hadits: Tidak ada sholat bagi yang tidak membaca alFatihah (riwayat alBukhari dan Muslim). Dalam hadits ini Ibnu Abbas mengeraskan bacaan agar diketahui bahwa perbuatan membaca al-Fatihah adalah sunnah Nabi. Makna ‘Sunnah’ dalam hadits ini adalah tata cara yang dicontohkan oleh Nabi, bukan berarti ‘Sunnah’ yang jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak mengapa. Membaca alFatihah dalam sholat jenazah disyariatkan setelah takbiratul ihram dan membaca ta’awwudz dan basmalah.

Dalam riwayat an-Nasaai dinyatakan bahwa Ibnu Abbas selain membaca al-Fatihah juga membaca suatu surat dalam alQuran. Hal itu menunjukkan bahwa boleh membaca surat dalam sholat jenazah setelah membaca alFatihah.

Dalam sholat jenazah tidak disyariatkan membaca doa istiftah.